Monumen Antroposen: Demi Menyembuhkan Relasi Retak Antara Manusia dan Semesta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 2 Agustus 2023 | 16:58 WIB
Relief 'belajar moksa' karya Iwan Wijono, mengisahkan orang bersemadi dalam triloka buana yang dipamerkan dalam pembukaan pra-resmi Monumen Antroposen. Karya seni ini menggunakan media batu plastik yang menjadi bagian dari eksperimen, sekaligus respons seniman terhadap kondisi lingkungan. Material batu plastik ini merupakan hasil pengolahan sampah dari tempat pembuangan akhir di Desa Bawuran, Bantul, Yogyakarta. Monumen Antroposen merupakan buah kerja sama Indonesian Upcycle Forum, Goethe-Institut, Desa Bawuran, dan Kementerian Luar Negeri Jerman. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saya berdiri di depan Monumen Antroposen yang masih dalam penyelesaian. Sebuah bangunan berlantai tiga, namun didesain unik karena mirip candi dan memiliki simbol di setiap lantainya. Setiap lantainya dihubungkan oleh lintasan lereng, sehingga pengunjung seolah harus mengitari bangunan ini apabila hendak menuju puncak.  

"Kita menyadari bahwa zaman Antroposen adalah zaman perusak, jejak-jejak [keburukan] manusia," kata Dhoni Yudanto, arsitek yang menjadi bagian tim kurator.

Dhoni menggunakan konsep arsitektur dari beberapa bangunan monumental di dunia—Candi Sukuh di Indonesia, Candi Shankara di India, dan Piramida Yukatan di Meksiko. Dia mengadopsi dan berupaya mengombinasikan arsitekturnya, sementara untuk interiornya mengacu pada candi-candi di Indonesia yang memiliki ruangan.

"Kita tidak berani menyebut ini 'temple' atau 'candi' karena ini bukan tempat ibadah—meskipun bangunannya mengadopsi tempat-tempat pemujaan. Makanya kita menyebutnya monumen." 

Bangunan ini sebagai ungkapan kerinduan akan kehidupan yang holistik, spiritualitas universal, dan rekonsiliasi internasional untuk menghormati umat manusia. Tiga lantai dalam monumen ini memiliki pesan yang hendak disampaikan Dhoni.

Franziska Fennert memandu ekskursi di Monumen Antroposen, yang masih dalam tahap pembangunan. Tampak Duta Besar Jerman Ina Lepel; Bupati Bantul H. Abdul Halim Muslih; Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien Ingo Schöningh; Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Dian Laksmi Pratiwi; dan Kepala Program Studi Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta Mikke Susanto. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Franziska Fennert dan Iwan Wijono, seniman dan kurator Monumen Antroposen, memaparkan tentang batu plastik sebagai media ekspresi seni kepada Duta Besar Jerman Ina Lepel (tengah). (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Duta Besar Jerman untuk Indonesia Ina Lepel berbincang dengan Ignatia Nilu, kurator Monumen Antroposen. Tampak di latar belakang relief pohon kalpataru pada susunan batu plastik karya mahasiswa Institut Seni Indonesia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Lantai pertama bercerita mengenai epos Holosen, kala sebelum Antroposen, bagaimana manusia dahulu memperlakukan sampah dengan hati-hati. Lantai kedua, bagaimana kita sekarang memperlakukan sampah. Lantai ketiga, bagaimana seharusnya cara kita memperlakukan sampah di masa depan.

"Jadi kita mempunya tiga cerita," imbuhnya. "Kita memiliki pendekatan ke masyarakat lewat edukasi itu."

Rencananya, cerita dalam monumen itu dituturkan dalam relief—layaknya candi. Namun, medianya bukan batu andesit seperti candi pada umumnya, melainkan batu plastik. Batu-batu plastik itu direkatkan dengan sistem kuncian—mirip permainan LEGO—yang membentuk dinding di setiap sisinya. Kelak, seniman-seniman dari berbagai penjuru dunia akan terlibat dalam pembuatan relief pada batu plastik itu.

"Kenapa kita masih memakai beton, karena sejauh ini kita masih membutuhkan struktur untuk bangunan sebesar ini," ujar Dhoni. "Mungkin ke depannya, bila kita bisa meriset lebih jauh, tidak menutup kemungkinan kita bisa membuat struktur dari batu plastik."