"Material sintetis itu tercipta dengan konsep, konsep itu yang butuh diubah," ujarnya. "Namun manusia seolah seperti tuhan yang bisa menguasai itu semua tapi belum memikirkan akibatnya."
Dia berjalan menuju sebuah celah Monumen Antroposen sembari menunjuk tempat pembuangan akhir. Sampah yang menggunung itu berasal dari pola pikir kita juga, ungkapnya, pola pikir yang tertuju pada ukuran pencapaian peradaban sekarang.
"Itu seperti satu koin," kata Franziska, "di atasnya seperti apa yang kita pikir untuk mencapainya di abad ini untuk kelihatan sukses. Tetapi, di belakangnya kita tidak memikirkan dampaknya."
"Manusia itu pascaindustrialisasi modern itu tercerabut dengan kemanusiaannya, tercerabut dari alamnya, tercerabut dari mekanisne universe," kata Iwan Wijono menimpali. "Dia destruktif mengeksploitasi apapun hanya untuk manusia tetapi tidak bertanggung jawab berkait efek-efeknya."
Iwan, seniman yang juga pegiat Indonesian Upcycle Forum, menampilkan dua karya yang menggunakan batu plastik. Satu karya relief yang menampilkan tiga orang yang sedang bersemadi. Ketiganya tampak sebagai pertapa yang melepaskan diri dari keduniawian. Pesan Iwan dalam karya ini untuk kita adalah berupaya belajar moksa. "Ini triloka buana," ujarnya. "Jagat alit, jagat ageng, jagat langgeng."
Karya lainnya, Iwan menampilkan enam topeng—hasil cetakan wajahnya sendiri—yang disusun membentuk pola segitiga. Setiap jidatnya terdapat baris rangkaian aksara yang membentuk tulisan: Holocen, Antropocen, dan Enl-art-ment.
Pengolahan sampah plastik melalui ekonomi sirkular merupakan salah satu cara untuk menempatkan pada aspek keberlanjutkan. Meskipun demikian, Iwan mengatakan, "Ekonomi sirkular itu kesadaran yang terlambat setelah alamnya rusak, climate change, dan manusia terancam. Sebetulnya dari tradisi juga sudah ada mikro-makro cosmos, cakra panggilingan, tumpang sari, semua berputar dan manusia menjadi bagian dari itu semua."
Franziska mengatakan, "Ada satu sitilah yang saya pelajari di Indonesia yang sangat membuka pikiran saya seperti hampir meledak: literasi lingkungan." Menurutnya, banyak sekali program pelestarian yang gagal di Planet ini karena hanya menerapkan konsep yang pernah berjalan di satu negara, lalu menerapkannya di negara lain tanpa memikirkan ulang berkait dengan literasi lingkungan di negara tersebut.
Bagian inisiatif bersama
Proyek ini mulai berjalan sekitar dua tahun silam, selama kecamuk masa pandemi. Mereka beruntung karena mendapatkan bantuan dari pemerintah Jerman sehingga mendapat sumber daya segar untuk memulainya.