"Kajian itu berupa pengkaryaannya, teknisnya, sekaligus bagaimana itu dipetakan dengan praktik seni yang sudah ada, baik seni rupa Indonesia maupun global," ujar Nilu. Atas dasar itulah Nilu dan timnya berkolaborasi dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta karena ia membutuhkan kajian ilmiah tentang media batu plastik. "Artinya secara ekonomi sirkular," imbuh Nilu, "batu plastik yang punya nilai fungsi, tetapi secara karya seni juga."
"Ini adalah wujud kerja sama kita dengan ISI," ujar Nilu sembari menunjuk susunan bata plastik yang menampilkan purwarupa relief pohon kalpataru atau pohon kehidupan. Relief karya mahasiswa Institut Seni Indonesia itu tampak menorehkan ekologi hutan dan makhluk mitologi India, burung berkepala manusia—Kinara Kinari.
Respons seniman terhadap memburuknya lingkungan
Selain menampilkan purwarupa relief pohon kalpataru, peluncuran pra-resmi itu juga menampilkan purwarupa karya Iwan Wijono dan Franziska Fennert—dua perupa yang menginisiasi gagasan Monumen Antroposen. Ketiga seniman itu menggunakan batu plastik, bagian dari eksperiman mereka mengenal karakter sebagai media.
Franziska Fennert, perempuan asal Jerman itu sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. Dia menampilkan karya eksperimennya berupa dua keping relief dari batu plastik yang terinspirasi oleh figur lara blanya simbol kemakmuran dan keberlanjutan dalam tradisi Jawa.
Keping pertama menampilkan hubungan manusia dengan manusia, sedangkan keping lainnya menampilkan hubungan manusia dengan alam. Dia juga menunjukkan relief kala sebagai simbol penjaga hubungan itu di salah satu sisinya, sedangkan relief air mengalir di sisi lainnya.
"Ini konsep yang menjadi basis sebagai keseimbangan alam semesta. Bagaimana kita membangun relasi—dengan sesama manusia dan alam," ujar Franziska.
Menurutnya, kita bisa membuat sesuatu yang lebih bermakna, meski berasal dari sampah.
Dia sangat tertarik dalam eksperimen dengan material ini. Ada bagian batu plastik yang dikerjakannya dengan memahat, namun ada juga bagian yang dikerjakannya dengan melelehkan material dan menyambungkannya lagi. "Itu lucu," ujarnya. "Ibarat budaya yang bisa memulihkan [luka] akibat kapitalisme."
Setiap material tercipta dari konsep, ungkap Franziska. Material alam datang dengan konsep alam, sedangkan material sintesis datang dengan konsep manusia.