Nationalgeographic.co.id—Kaki-kaki penari serempak mengentak Bumi. Laksana penari tandak di medan perang, mereka berlenggak-lenggok dengan kuda lumping bersiap menyerang. Sungguh garang tetapi tetap indah dipandang. Alunan tetabuhan gamelan kian membikin mereka meradang. Berbusana serba berwarna abang, mereka menarikan Jathilan.
Para penari itu adalah anak-anak muda setempat. Nama desa mereka, Bawuran. Berlokasi sekitar 16 kilometer dari jantung Kota Yogyakarta ke arah selatan. Bersama pengiring tetabuhan, mereka menjadi bagian dalam acara peluncuran pra-resmi Monumen Antroposen.
Mereka berpentas di pelataran monumen pada sore yang berpendar. Bangunan berangka beton itu tampak masih menganga menanti rampung. Sebagian sisinya pun masih belum berdinding. Ia seolah menara yang menjulang di punggungan bukit karst yang diratakan, bertepi jurang.
Lokasinya berseberangan dengan tempat pembuangan akhir untuk sampah warga. Sampahnya kian hari kian menggunung sementara ekskavator tampak bekerja berderum-derum di puncaknya. Selain sampah, pertambangan batu kapur juga masih berkecamuk tak jauh dari kompleks itu.
Bagi saya, julukan 'Monumen Antroposen' tampaknya pantas bila kita melihat situasi akibat ulah manusia yang mengubah wajah bukit karst Bawuran itu sendiri.
Antroposen boleh dimaknai sebagai epos ketika peran manusia begitu berpengaruh global pada geologi dan ekologi di Bumi. Paul J. Crutzen dan Eugene F. Stoermer merupakan ilmuwan yang pertama kali menggunakan istilah ini.
Menurut mereka, sejatinya kita sudah tidak lagi berada pada epos Holosen, melainkan kini kita berada pada epos Antroposen. Mereka memaparkannya dalam “The 'Anthropocene'" yang terbit di Global Change Newsletter pada 2000.
Inspirasi arsitektur monumen-monumen dunia
Kompleks monumen ini memiliki luas sekitar enam hektare, yang merupakan bagian dari tanah milik Keraton Yogyakarta. Namun, saat ini pembangunannya baru menempati petak seluas 4.000 meter persegi.
Saya berdiri di depan Monumen Antroposen yang masih dalam penyelesaian. Sebuah bangunan berlantai tiga, namun didesain unik karena mirip candi dan memiliki simbol di setiap lantainya. Setiap lantainya dihubungkan oleh lintasan lereng, sehingga pengunjung seolah harus mengitari bangunan ini apabila hendak menuju puncak.
"Kita menyadari bahwa zaman Antroposen adalah zaman perusak, jejak-jejak [keburukan] manusia," kata Dhoni Yudanto, arsitek yang menjadi bagian tim kurator.
Dhoni menggunakan konsep arsitektur dari beberapa bangunan monumental di dunia—Candi Sukuh di Indonesia, Candi Shankara di India, dan Piramida Yukatan di Meksiko. Dia mengadopsi dan berupaya mengombinasikan arsitekturnya, sementara untuk interiornya mengacu pada candi-candi di Indonesia yang memiliki ruangan.
"Kita tidak berani menyebut ini 'temple' atau 'candi' karena ini bukan tempat ibadah—meskipun bangunannya mengadopsi tempat-tempat pemujaan. Makanya kita menyebutnya monumen."
Bangunan ini sebagai ungkapan kerinduan akan kehidupan yang holistik, spiritualitas universal, dan rekonsiliasi internasional untuk menghormati umat manusia. Tiga lantai dalam monumen ini memiliki pesan yang hendak disampaikan Dhoni.
Lantai pertama bercerita mengenai epos Holosen, kala sebelum Antroposen, bagaimana manusia dahulu memperlakukan sampah dengan hati-hati. Lantai kedua, bagaimana kita sekarang memperlakukan sampah. Lantai ketiga, bagaimana seharusnya cara kita memperlakukan sampah di masa depan.
"Jadi kita mempunya tiga cerita," imbuhnya. "Kita memiliki pendekatan ke masyarakat lewat edukasi itu."
Rencananya, cerita dalam monumen itu dituturkan dalam relief—layaknya candi. Namun, medianya bukan batu andesit seperti candi pada umumnya, melainkan batu plastik. Batu-batu plastik itu direkatkan dengan sistem kuncian—mirip permainan LEGO—yang membentuk dinding di setiap sisinya. Kelak, seniman-seniman dari berbagai penjuru dunia akan terlibat dalam pembuatan relief pada batu plastik itu.
"Kenapa kita masih memakai beton, karena sejauh ini kita masih membutuhkan struktur untuk bangunan sebesar ini," ujar Dhoni. "Mungkin ke depannya, bila kita bisa meriset lebih jauh, tidak menutup kemungkinan kita bisa membuat struktur dari batu plastik."
Batu-batu plastik itu diproduksi di kompleks yang sama. Bahan bakunya dari sampah plastik asal tempat pembuangan akhir. Namun, tidak semua plastik bisa digunakan. Sebelum diolah menjadi batu plastik, sampah plastik harus melalui proses pemilahan terlebih dahulu.
Monumen ini memiliki rangka beton. Dhoni menghimpun batu-batu andesit yang diperolehnya dari sekitar kompleks untuk memperkuat struktur monumen ini. Dia menunjukkan lapisan-lapisan geologi yang tampak pada dinding penampang melintang karst di sebelah monumen. "Saya mengambil batu-batu itu dari sini juga," ujarnya.
Di kesempatan lain, saya mencoba bertanya kepada Awang Satyana, ahli geologi senior di Indonesia. Mengapa batuan karst di kawasan selatan Yogyakarta berkelindan dengan batu andesit, sejenis batuan beku vulkanik? Apakah pernah ada gunung api purba di sini?
Awang mengungkapkan kebenaran temuan tadi. Menurutnya, di kawasan Yogya selatan, kadang-kadang kita memang menemukan batuan vulkanik di bawah batu gamping yang kadang juga sebagai batuan karst.
"Tetapi itu bukan batuan vulkanik dari Merapi," ungkapnya. Batuan itu merupakan batuan vulkanik purba yang umurnya mencapai sekitar 20 juta tahun. Batuan itu juga merupakan bagian dari jalur gunungapi purba di bagian selatan Pulau Jawa, termasuk Yogya selatan. Kemudian Awang menambahkan, "Batu gamping karst nya sendiri berumur lebih muda, 15-10 juta tahun."
Batu plastik, media baru untuk ekspresi seni
"Proyek ini inovasinya ada pada batu plastik," kata Ignatia Nilu, salah satu kurator Monumen Antroposen. Banyak orang tidak melihat sampah plastik sebagai potensi, namun timnya melihat sampah plastik berpotensi menjadi batu plastik yang bisa menjadi karya seni. "Tetapi, pemetaan dan wacananya belum terbentuk."
Nilu menganalogikan ketika awal mula seni instalasi ditemukan. Dahulu wacana itu juga ambigu, apakah bagian seni patung atau bukan? Perkembangan berikutnya munculah istilah baru: seni instalasi. "Mungkin kita ke arah itu."
Berkait dengan rencana pembuatan relief pada Monumen Antroposen, Nilu mengungkapkan apakah berkreasi seni dengan batu plastik merupakan "praktik lama dengan alih wahana", atau sebuah "kajian baru".
"Kajian itu berupa pengkaryaannya, teknisnya, sekaligus bagaimana itu dipetakan dengan praktik seni yang sudah ada, baik seni rupa Indonesia maupun global," ujar Nilu. Atas dasar itulah Nilu dan timnya berkolaborasi dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta karena ia membutuhkan kajian ilmiah tentang media batu plastik. "Artinya secara ekonomi sirkular," imbuh Nilu, "batu plastik yang punya nilai fungsi, tetapi secara karya seni juga."
"Ini adalah wujud kerja sama kita dengan ISI," ujar Nilu sembari menunjuk susunan bata plastik yang menampilkan purwarupa relief pohon kalpataru atau pohon kehidupan. Relief karya mahasiswa Institut Seni Indonesia itu tampak menorehkan ekologi hutan dan makhluk mitologi India, burung berkepala manusia—Kinara Kinari.
Respons seniman terhadap memburuknya lingkungan
Selain menampilkan purwarupa relief pohon kalpataru, peluncuran pra-resmi itu juga menampilkan purwarupa karya Iwan Wijono dan Franziska Fennert—dua perupa yang menginisiasi gagasan Monumen Antroposen. Ketiga seniman itu menggunakan batu plastik, bagian dari eksperiman mereka mengenal karakter sebagai media.
Franziska Fennert, perempuan asal Jerman itu sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. Dia menampilkan karya eksperimennya berupa dua keping relief dari batu plastik yang terinspirasi oleh figur lara blanya simbol kemakmuran dan keberlanjutan dalam tradisi Jawa.
Keping pertama menampilkan hubungan manusia dengan manusia, sedangkan keping lainnya menampilkan hubungan manusia dengan alam. Dia juga menunjukkan relief kala sebagai simbol penjaga hubungan itu di salah satu sisinya, sedangkan relief air mengalir di sisi lainnya.
"Ini konsep yang menjadi basis sebagai keseimbangan alam semesta. Bagaimana kita membangun relasi—dengan sesama manusia dan alam," ujar Franziska.
Menurutnya, kita bisa membuat sesuatu yang lebih bermakna, meski berasal dari sampah.
Dia sangat tertarik dalam eksperimen dengan material ini. Ada bagian batu plastik yang dikerjakannya dengan memahat, namun ada juga bagian yang dikerjakannya dengan melelehkan material dan menyambungkannya lagi. "Itu lucu," ujarnya. "Ibarat budaya yang bisa memulihkan [luka] akibat kapitalisme."
Setiap material tercipta dari konsep, ungkap Franziska. Material alam datang dengan konsep alam, sedangkan material sintesis datang dengan konsep manusia.
"Material sintetis itu tercipta dengan konsep, konsep itu yang butuh diubah," ujarnya. "Namun manusia seolah seperti tuhan yang bisa menguasai itu semua tapi belum memikirkan akibatnya."
Dia berjalan menuju sebuah celah Monumen Antroposen sembari menunjuk tempat pembuangan akhir. Sampah yang menggunung itu berasal dari pola pikir kita juga, ungkapnya, pola pikir yang tertuju pada ukuran pencapaian peradaban sekarang.
"Itu seperti satu koin," kata Franziska, "di atasnya seperti apa yang kita pikir untuk mencapainya di abad ini untuk kelihatan sukses. Tetapi, di belakangnya kita tidak memikirkan dampaknya."
"Manusia itu pascaindustrialisasi modern itu tercerabut dengan kemanusiaannya, tercerabut dari alamnya, tercerabut dari mekanisne universe," kata Iwan Wijono menimpali. "Dia destruktif mengeksploitasi apapun hanya untuk manusia tetapi tidak bertanggung jawab berkait efek-efeknya."
Iwan, seniman yang juga pegiat Indonesian Upcycle Forum, menampilkan dua karya yang menggunakan batu plastik. Satu karya relief yang menampilkan tiga orang yang sedang bersemadi. Ketiganya tampak sebagai pertapa yang melepaskan diri dari keduniawian. Pesan Iwan dalam karya ini untuk kita adalah berupaya belajar moksa. "Ini triloka buana," ujarnya. "Jagat alit, jagat ageng, jagat langgeng."
Karya lainnya, Iwan menampilkan enam topeng—hasil cetakan wajahnya sendiri—yang disusun membentuk pola segitiga. Setiap jidatnya terdapat baris rangkaian aksara yang membentuk tulisan: Holocen, Antropocen, dan Enl-art-ment.
Pengolahan sampah plastik melalui ekonomi sirkular merupakan salah satu cara untuk menempatkan pada aspek keberlanjutkan. Meskipun demikian, Iwan mengatakan, "Ekonomi sirkular itu kesadaran yang terlambat setelah alamnya rusak, climate change, dan manusia terancam. Sebetulnya dari tradisi juga sudah ada mikro-makro cosmos, cakra panggilingan, tumpang sari, semua berputar dan manusia menjadi bagian dari itu semua."
Franziska mengatakan, "Ada satu sitilah yang saya pelajari di Indonesia yang sangat membuka pikiran saya seperti hampir meledak: literasi lingkungan." Menurutnya, banyak sekali program pelestarian yang gagal di Planet ini karena hanya menerapkan konsep yang pernah berjalan di satu negara, lalu menerapkannya di negara lain tanpa memikirkan ulang berkait dengan literasi lingkungan di negara tersebut.
Bagian inisiatif bersama
Proyek ini mulai berjalan sekitar dua tahun silam, selama kecamuk masa pandemi. Mereka beruntung karena mendapatkan bantuan dari pemerintah Jerman sehingga mendapat sumber daya segar untuk memulainya.
Pada awalnya, gagasan utamanya adalah kebutuhan untuk memproduksi batu plastik yang bersumber dari sampah plastik. Aspek keberlanjutan proyek ini terkait masyarakat yang mendapatkan penghasilan dari produksi batu plastik ini dengan menjualnya. Proyek ini pun menjadi ekonomi sirkular, bukan sekadar romantika, sehingga bisa memperbaiki penghidupan masyarakat sekitar.
Ingo Schöningh, Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesien, mengatakan bahwa monumen ini merupakan salah satu cara terbaik untuk menampilkan hubungan antara memajukan budaya keberlanjutan dan keberlanjutan budaya. "Kita menggunakan pendekatan budaya dalam kerja sama dengan negara lain, khususnya Indonesia, untuk mempercepat keberlanjutan dan merawat wacana yang sesungguhnya."
Saya pun bertanya kepada Ingo, kapan proyek panjang ini akan ditargetkan selesai?
"Saya berharap proyek ini tak pernah berakhir," ujarnya. "Ini merupakan proyek berkelanjutan, bahkan ketika kita tidak mendapat pendanaan lebih, maksud saya kita memang memerlukan pendanaan saat ini untuk menyelesaikan bangunan ini. Akan tetapi, kami tidak pernah menganggapnya berakhir."
Monumen yang masih dalam tahap pembangunan ini merupakan purwarupa ekonomi sirkular. Kelak tempat ini menjadi ajang kreativitas, harapan, tantangan untuk masa depan yang lebih baik. "Saya sangat optimistik perihal ini," imbuhnya.
Ina Lepel, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, yang selalu ramah dan berseri-seri, memberikan sambutannya pada acara peluncuran pra-resmi Monumen Antroposen.
"Saya akan memberi penekanan pada istilah ekonomi sirkular yang berkait dengan plastik dan limbah plastik," ujar Ina. "Karena sebagian besar dalam bekerjanya ekonomi sirkular adalah soal perubahan persepsi kita tentang plastik, baik dari sudut pandang produsen maupun konsumen."
Dia menambahkan bahwa monumen ini merupakan bentuk "kerja sama Indonesia dan Jerman di berbagai tingkat dan memiliki inisiatif untuk menyelesaikan tentangan untuk pengelolaan sampah yang lebih efektif. Kita bersama memperbaiki kerangka kerja, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional, kami berinvestasi pada infrastruktur ramah lingkungan."
Ina turut menyampaikan selamat atas gagasan yang luar biasa ini. Harapannya, "Monumen Antroposen mampu dalam membangun pusat ekonomi kreatif dan terbukanya dukungan atas masa depan yang lestari."
Monumen ini mengajak kita untuk menantang mentalitas gaya hidup yang telah kita anut. Pemahaman ini akan mendorong kita untuk kembali ke akar kita, membina hubungan baik dengan alam dan warisan budaya.
"Apa yang kami lakukan di Monumen Antroposen adalah semacam tetenger peradaban, yang mudah-mudahan dampaknya bisa membangun ekonomi berkelanjutan dengan produksi batu [plastik] ini," kata R.M Altiyanto, Ketua Yayasan Monumen Antroposen Yogyakarta. Menurutnya, semua tergantung kepada masyarakat, apakah batu-batu plastik itu untuk kepentingan karya seni atau bagian dari bisnis industrial.
"Tetapi, Monumen Antroposen memang mengarahnya betul-betul didedikasikan kepada seni dan budaya sehingga ruang ini bisa menjadi ruang seni dan edukasi," ujar Alti. "Ya mudah-mudahan bisa dikembangkan sendiri oleh masyarakat."
Menurutnya, masalah sampah telah menjadi problem global yang memiliki dinamika yang pesat belakangan ini. Atas hal ini Alti dan tim kurator mencari strategi pada tahap awal untuk membuat masyarakat bisa peduli dan kemudian berpartisipasi.
"Kita harus bisa meyakinkan dari segi kemanfaatannya pada publik atau masyarakat," ujarnya. "Tentu saja kemanfaatan itu dengan tahapan-tahapan, tidak hanya kerja kreatif tetapi juga bagaimana bisa punya pendekatan sosial yang tentu di setiap lininya berbeda-beda."
Histori dan penanda peradaban
Alti mencoba menyingkap jejak histori Desa Bawuran yang menjadi tempat pembangunan monumen ini. Menurut penelusurannya, kawasan desa ini dan kawasan Piyungan merupakan tanah yang tua dan pernah dilalui aliran sungai purba. Letaknya di lembah sisi selatan Monumen Antroposen.
Hari ini sungai purba itu tak mengalir lagi. Dia menambahkan bahwa sungai purba itu terkait erat dengan keberadaan Candi Ratu Boko, yang menurutnya merupakan tempat perabuan para raja. "Ketika melarung, abu jenazah para raja melalui jalur sungai purba tersebut, salah satunya melewati wilayah Bawuran ini. Itu historinya yang lampau."
Alti juga memaparkan histori yang lebih muda tentang kawasan ini. Kawasan Bawuran dan Piyungan pernah menjadi bagian pusat kota di era ibu kota kerajaan Mataram di Plered.
"Sebetulnya banyak sekali tumpukan peradaban di kawasan ini," kata Alti. "Ketika kali ini ada monumen plastik, saya kira dengan keyakinan bahwa karya seni adalah wajah peradaban, ya mudah-mudah monumen Antroposen juga menjadi penanda peradaban kini."
Setiap peradaban akan menyisakan jejak kebudayaan, yang menurut Alti, peradaban itu bagian dari siklus zaman. Kemudian dia mengungkapkan sebuah paradoks yang menyadarkan kita betapa manusia telah memberi dampak terhadap geologi dan ekologi global. "Jika nenek moyang kita bisa membuat penanda peradaban seperti candi-candi dengan batu, kita sekarang membuat penanda peradaban dalam era plastik."
Saya teringat penari-penari Jathilan yang berlenggak-lenggok seperti penari tandak namun tetap garang seperti laga prajurit di medan perang.
Hari ini Jathilan telah dikemas ulang yang disesuaikan dengan kebutuhan perhelatan—tidak ada atraksi kuda lumping makan beling, penari yang kesurupan, dan lecutan cemeti.
Barangkali inilah kesenian yang menyesuaikan perkembangan zaman supaya tetap langgeng, seperti yang dikatakan Alti bahwa seni adalah wajah peradaban.
Kuda lumping bisa dimaknai sebagai lambang perlawanan terhadap ketidakselarasan atau keserakahan—sisi gelap manusia. Barangkali, perlawanan itu serupa dengan perlawanan kita atas laju memburuknya kualitas lingkungan. Serupa hasrat dalam perlawanan, semuanya harus bermula dari perubahan diri sendiri.
Ketika pentas mereka berakhir, seluruh pengiring tetabuhannya bersama-sama dengan lantang berseru tentang ajakan pelestarian, "Dikemonah sampahe, resik donyane!"—dikelola sampahnya, bersih dunianya.