Nationalgeographic.co.id—Tahun Enam Kaisar pada 238 M merupakan simbol meningkatnya krisis dan pertikaian yang menandai kemunduran sejarah Kekaisaran Romawi.
Sejarah Kekaisaran Romawi terkenal karena wilayahnya yang luas dan kaisar-kaisarnya yang perkasa. Mereka mengalami serangkaian perubahan kepemimpinan cepat yang tidak biasa dalam satu tahun kala itu.
Enam orang ini adalah Maximinus Thrax, Gordian I, Gordian II, Balbinus, Pupienus, dan Gordian III - naik takhta secara berurutan, masing-masing mengklaim gelar Kaisar yang bergengsi.
Pergantian yang cepat dan tiada henti ini menunjukkan keadaan Kekaisaran Romawi yang penuh gejolak, penuh dengan konflik internal, ancaman asing, dan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan aristokrasi berpengaruh. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di balik krisis Kekaisaran Romawi?
Maximinus Thrax: Pemerintahan dan Kejatuhan
Maximinus Thrax, seorang prajurit biasa yang awalnya sederhana, memerintah sebagai kaisar Romawi dari tahun 235 hingga 238. Dikenal karena kekuatannya yang luar biasa, Thrax adalah sosok yang tangguh.
Pemerintahannya ditandai dengan kampanye militer ekstensif melawan suku-suku Jermanik dan Sarmatians dan pajak yang besar untuk mendanai perang ini. Namun, pemerintahan yang berfokus pada militer, ditambah dengan statusnya sebagai orang rendahan, menimbulkan kebencian di kalangan elit Roma.
Ketidakpuasan yang memuncak memicu pemberontakan. Tahun Enam Kaisar dimulai dengan berakhirnya pemerintahan Maximinus Thrax. Menghadapi pemberontakan di Afrika dan Senat yang memusuhi dia, Maximinus bergerak menuju Roma tetapi dibunuh oleh pasukannya di luar kota pada bulan Juni 238.
Gordian I dan Gordian II: Pemberontakan Berumur Pendek
Di provinsi Afrika, kebencian terhadap pemerintahan Maximinus memicu pemberontakan. Senator tua yang dihormati Gordian I dan putranya, Gordian II, dinyatakan sebagai kaisar pada bulan Maret 238.
Namun kekuasaan bersama mereka tidak bertahan lama. Setelah mendengar pemberontakan tersebut, Maximinus Thrax mengirimkan kekuatan untuk menghancurkannya.
Gordian II terbunuh dalam Pertempuran Kartago, dan ayahnya Gordian I bunuh diri setelah mendengar kematian putranya.
Pemerintahan mereka, meskipun singkat, penting karena menunjukkan besarnya ketidakpuasan terhadap Maximinus Thrax dan menjadi preseden bagi pemberontakan lebih lanjut.
Balbinus dan Pupienus: Pilihan Senat
Setelah kematian keluarga Gordian, senat Romawi dengan cepat memilih dua anggotanya, Balbinus dan Pupienus sebagai kaisar bersama, sebuah langkah yang dilakukan dalam upaya untuk menegaskan kekuasaan dan kendali mereka.
Hal ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat Romawi, yang lebih memilih cucu Gordian I, Gordian III.
Pemerintahan Balbinus dan Pupienus ditandai dengan ketegangan politik dan perebutan kekuasaan. Pemerintahan mereka tiba-tiba berakhir ketika mereka dibunuh oleh Pengawal Praetorian, yang membenci kurangnya pengalaman militer para senator dan ketidakpedulian mereka terhadap pengaruh Pengawal.
Gordian III: Kebangkitan Kaisar Bungsu
Setelah pembunuhan Balbinus dan Pupienus, Gordian III, cucu Gordian I yang berusia 13 tahun, diproklamasikan sebagai kaisar oleh Pengawal Praetorian.
Pemerintahannya menandai berakhirnya Tahun Enam Kaisar yang penuh gejolak. Karena masih di bawah umur, pemerintahannya dikendalikan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk Timesitheus, yang menjadi ayah mertuanya dan penguasa de facto kekaisaran.
Pemerintahan Gordian III berlangsung hingga tahun 244, sebuah periode yang relatif lama mengingat tahun semrawut yang baru saja berlalu.
Apa Penyebab Kekacauan Tahun 238 M?
Iklim sosial-politik di Roma pada tahun 238 M sangat bergejolak dan kompleks. Dinamika kekuasaan di dalam kekaisaran semakin bergejolak, dipicu oleh meningkatnya rasa ketidakpuasan di antara berbagai faksi masyarakat.
Fondasi sistem politik Romawi mendapat tantangan, dan akibatnya adalah tahun pergolakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sentimen publik di Roma ditandai dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kelas penguasa. Pajak Maximinus Thrax yang menindas untuk mendanai kampanye militernya telah menyebabkan kebencian yang meluas di kalangan masyarakat.
Ketidakpuasan ini menimbulkan dukungan terhadap Gordian, yang melambangkan kemungkinan adanya jenis pemerintahan yang berbeda.
Ketika Gordian dikalahkan, dan Senat memilih Balbinus dan Pupienus sebagai kaisar, reaksi masyarakat adalah ketidakpuasan dan keresahan.
Mereka menyukai Gordian III muda, yang mewakili keluarga Gordian yang mereka dukung sebelumnya. Senat, sebaliknya, berusaha mendapatkan kembali otoritas dan pengaruhnya di dalam kekaisaran.
Mereka melihat kerusuhan ini sebagai kesempatan untuk menegaskan kembali kekuasaannya, yang secara bertahap terkikis di bawah pemerintahan prajurit-kaisar Maximinus.
Terpilihnya Balbinus dan Pupienus merupakan upaya Senat untuk menguasai kekuasaan kekaisaran, sebuah tindakan yang pada akhirnya menyebabkan kejatuhan mereka karena permusuhan dari faksi-faksi kekuasaan lainnya.
Tentara memainkan peran penting dalam kekacauan politik. Pembunuhan Maximinus Thrax, dukungan awal untuk Gordian, dan deklarasi terakhir Gordian III sebagai kaisar, semuanya menunjukkan pengaruh besar yang dimiliki tentara.
Pengawal Praetorian muncul sebagai sebuah entitas yang kuat, menyoroti pergeseran dinamika kekuasaan di Roma. Tahun Enam Kaisar diselingi oleh berbagai peristiwa penting dan pertempuran yang membentuk jalannya sejarah Romawi.
Setiap peristiwa, yang ditandai dengan pergeseran dinamika kekuasaan dan perjuangan brutal untuk mendapatkan supremasi, memberikan gambaran sekilas tentang kekacauan dan ketidakstabilan yang menjadi ciri Kekaisaran Romawi pada tahun 238 M.
Pertempuran Kartago
Salah satu pertempuran besar pada periode ini adalah Pertempuran Kartago, yang menandai akhir tragis pemerintahan Gordian I dan Gordian II.
Setelah suku Gordian dinyatakan sebagai kaisar di Afrika, sebuah langkah yang sebagian besar didukung oleh penduduk setempat, berita tersebut dengan cepat sampai ke Maximinus Thrax.
Dia mengirim Capelianus, gubernur provinsi terdekat dan pendukung setianya, untuk memadamkan pemberontakan.
Hasil Pertempuran Kartago jelas menguntungkan pasukan Maximinus. Gordian II, yang memimpin milisi lokal yang tidak siap, tewas dalam pertempuran.
Mendengar kematian putranya, Gordian I bunuh diri. Pertempuran yang menentukan ini mengakhiri pemberontakan di Afrika dan menegaskan kekuatan abadi Maximinus Thrax, meskipun kejatuhannya hanya tinggal beberapa bulan lagi.
Pembunuhan Balbinus dan Pupienus
Pembunuhan Balbinus dan Pupienus menandai peristiwa penting lainnya di tahun yang penuh gejolak ini. Kedua kaisar tersebut dipilih oleh Senat, yang berharap untuk mendapatkan kembali otoritas politik yang terus merosot di bawah kaisar militer.
Namun, penunjukan mereka tidak diterima dengan baik oleh masyarakat Roma, yang lebih menyukai Gordian III, maupun oleh Pengawal Praetorian.
Kelompok terakhir, yang tidak puas dengan upaya Senat untuk mengesampingkan mereka dan tidak terkesan dengan kurangnya kredensial militer kedua senator tersebut, secara brutal membunuh Balbinus dan Pupienus.
Peristiwa ini menandai peralihan kekuasaan yang signifikan dan membuka jalan bagi pemerintahan Gordian III. Dampaknya terhadap masyarakat dan pemerintahan Romawi sangat besar. Suksesi kaisar yang cepat memperlihatkan ketidakstabilan yang melekat pada sistem kekaisaran pada saat itu.
Hal ini menyoroti meningkatnya ketegangan antara faksi-faksi kekuasaan yang berbeda di Roma, yaitu Senat, tentara, dan masyarakat.
Pemerintahan Gordian III berikutnya, meskipun lebih stabil jika dibandingkan sangat dipengaruhi oleh faksi-faksi ini, khususnya Pengawal Praetorian.
Secara lebih luas, peristiwa-peristiwa pada tahun 238 M merupakan awal dari Krisis Abad Ketiga atau juga dikenal sebagai Krisis Kekaisaran, suatu periode kekacauan ekonomi, militer, dan politik yang parah yang hampir menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Romawi.
Perebutan kekuasaan, pergolakan sosial-politik, dan krisis militer yang menandai Tahun Enam Kaisar dapat dilihat sebagai gejala awal dari krisis yang akan datang.