Nationalgeographic.co.id—Negara-negara Arab kehilangan kawasannya setelah Perang Enam Hari tahun 1967. Mesir kehilangan Semenanjung Sinai lagi, dan Suriah kehilangan Dataran Tinggi Golan. Keinginan mengembalikan kawasan digencarkan dalam Perang Arab-Israel Keempat atau disebut sebagai Perang Yom Kippur atau Perang Ramadan 1973.
Pada September 1967, negara-negara Arab bertemu dalam KTT Arab di Khartoum, Sudan. Delapan negara Arab seperti Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuawit, dan Sudan, mengeluarkan resolusi: melarang negara Arab mana pun untuk berdamai, mengakui, dan bernegosiasi dengan Israel.
Permusuhan setelah Perang Enam Hari meningkat. Presiden Mesir Anwar Sadat pada Desember 1970 memberi isyarat untuk "mengakui hak-hak Israel sebagai negara merdeka" dengan penarikan total dari Semenanjung Sinai.
Ini adalah pertama kalinya negara Arab melakukan perjanjian perdamaian dengan Israel. Tidak berhenti di sana, proposal tersebut memiliki perselisihan tentang perbatasan Israel-Mesir, terutama tentang Jalur Gaza. Israel yang dipimpin Perdana Menteri Golda Meir menolak, walau AS geram dengan tanggapan dingin itu.
Israel mengeklaim bahwa sebenarnya punya keinginan untuk mengembalikan Sinai ke Mesir dan Dataran Tinggi Golan ke Suriah pada 19 Juni, tak lama dari Perang Enam Hari. Pengembalian ini dengan satu syarat: Mesir dan Suriah harus berdamai dengan Israel.
Namun, keputusan ini tidak dipublikasikan dan disampaikan ke negara-negara Arab. Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban mengatakan sudah, tetapi tidak punya bukti kuat.
Kebuntuan ini menegangkan situasi pada 1973. Mesir menyelenggarakan latihan militer antara Mei dan Agustus 1973 di dekat perbatasan. Suriah pun mengikuti menjelang perang pecah di Dataran Tinggi Golan. Aktivitas ini pun diamati oleh intelijen Israel.
Israel mencurgai adanya indikasi peperangan, sebab jumlah unit lapisan baja dari Mesir dan Suriah bertambah. Warga sipil Uni Soviet segera meninggalkan Mesir dan Suriah, membuat Israel semakin terkejut dan yakin bahwa akan terjadi perang.
Siang hari 6 Oktober 1973, militer Mesir yang berada di Terusan Suez menyerang pasukan Israel yang berada di Semenanjung Sinai. Penyerangan ini didukung dengan helikopter untuk menyeberangi terusan.
Tidak mau ketinggalan, Suriah juga melakukan penyerangan terhadap warga Israel di Dataran Tinggi Golan.
Perlu diingat bahwa perang pecah pada hari suci Yom Kippur di saat bersamaan dengan bulan suci Ramdan. Hari raya Yom Kippur, umat Yahudi berpuasa 25 jam lamanya sejak matahari tenggelam pada 10 Tishri dalam kalender mereka. Israel menjadikan Yom Kippur sebagai hari libur, membuat banyak unit tentara yang berada di kediamannya masing-masing.
"Memulai serangan terhadap Yom Kippur, hari paling suci dalam Yudaisme, tampak seperti sebuah strategi yang sangat cerdik yang dilakukan oleh orang-orang Mesir dan Suriah," terang Robert McNamara, penulis sejarah di ThoughtCo.
"Namun hal ini terbukti menguntungkan bagi orang-orang Israel, karena negara tersebut pada dasarnya ditutup pada hari itu. Ketika ada panggilan darurat bagi unit militer cadangan untuk melapor, sebagian besar personel berada di rumah atau di sinagog dan dapat melapor dengan cepat."
Kedatangan Irak di Suriah
Perang Yom Kippur dibuka dengan penyerangan yang berlangsung pada hari ke-10 Ramadan. Tentara Mesir dan Suriah yang mayoritas beragam Islam juga berpuasa, tetapi dengan gigihnya untuk bertempur menghadapi Israel.
Di Dataran Tinggi Golan yang merupakan milik mereka sebelum Perang Enam Hari, Suriah menyerang dari udara dan menggunakan artileri pada barisan depan Israel, kemudian diikuti tank.
Barisan tentara Suriah bagian selatan di Golan akhirnya berhasil menerobos, dan pertempuran berlangsung sengit. Israel terbukti mampu bertahan dan maju melawan Suriah. Sampai pada 10 Oktober, Suriah didorong untuk kembali ke garis gencatan senjata tahun 1967--di luar Golan.
Tidak berhenti di situ, Israel pun melancarkan serangan balik dengan melampaui garis gencatan senjata. Tiba-tiba, tank Irak datang ke tempat kejadian dan langsung menyerang tank-tank Israel. Sontak, serdadu Israel terpaksa mundur dan kehilangan 80 tank.
Di sini, Suriah mendapatkan kembali keunggulan dalam Perang Yom Kippur. Akan tetapi, tentara Israel segera merebut Gunung Hermon yang membuat Dataran Golan dikuasai. Di sini, Israel dapat meletakkan artileri jarak jauh yang punya hulu tembak mencapai pinggiran Damaskus.
Pertempuan Mesir-Israel di Semenanjung Sinai
Sedangkan di Mesir, mereka menggunakan meriam air yang dipasang pada kendaraan lapis baja. Meriam ini digunakan untuk melubangi dinding pasir yang dibangun Israel, sehingga tank dapat lewat pada 6 Oktober. Semua kendaraan perang Mesir berhasil melintasi Teusan Suez dari peralatan Uni Soviet.
Israel sempat mencoba melakukan serangan balik terhadap Mesir, tetapi upaya pertama mereka gagal. Kegagalan ini juga karena tidak dapat didukung oleh pesawat tempur yang sedang mengalami kendala.
Di sini, Israel tidak mampu menahan serangan Mesir, bahkan pertempuran tank berat terjadi. Hal ini membuat AS mengirimkan bantuan ke Israel atas perhatian dari Presiden Richard Nixon terhadap Perang Yom Kippur.
Barulah pada 15 Oktober, Israel melancarkan serangan balik, bahkan melintasi Terusan Suez di selatan. Pada kondisi ini, Tentara Ketiga Mesir terpisah dari pasukan lainnya dan terkepung.
Tentara yang berhasil diselamatkan setelah PBB mengeluarkan kesepakatan gencatan senjata pada 22 Oktober dan menghentikan Perang Yom Kippur. Mesir, Suriah, dan Israel sepakat untuk melakukan gencatan senjata, agar tidak menimbulkan korban jiwa lebih banyak.
Perang Yom Kippur menunjukkan keberhasilan awal perang pada Mesir, walaupun pada akhirnya kalah. Setelah perang selesai, Sadat bertemu dengan para pemimpin Israel untuk membangun perdamaian dalam Perjanjian Camp David tahun 1978.
Akan tetapi, keputusan ini dibenci oleh negara-negara Arab lainnya, kalangan fundamentalis Islam, mahasiswa Mesir, dan para aktivis kemerdekaan Palestina. Keputusannya inilah yang kelak menjadi alasan pembunuhan terhadapnya pada 1981.
"Salah satu aspek yang berpotensi berbahaya dalam Perang Yom Kippur adalah bahwa, dalam beberapa hal, konflik tersebut merupakan proksi dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Israel pada umumnya bersekutu dengan AS, dan Uni Soviet mendukung Mesir dan Suriah," McNamara berpendapat.
"Israel diketahui mempunyai senjata nuklir (meskipun kebijakannya tidak pernah mengakui hal tersebut). Dan ada ketakutan bahwa Israel, jika dipaksakan, akan memanfaatkannya. Perang Yom Kippur, meski penuh kekerasan, tetap tanpa menggunakan nuklir."