Bagaimana Rasisme Mengakhiri Dominasi Eropa di Kekaisaran Jepang?

By Sysilia Tanhati, Selasa, 7 November 2023 | 14:28 WIB
Pada awal abad ke-20, negara adidaya Rusia berkonflik dengan Kekaisaran Jepang. Dengan pecahnya Perang Rusia-Jepang, dunia akan melihat betapa hebatnya militer Kekaisaran Jepang. (Kuroki Hannosuke)

Nationalgeographic.co.id—Pada awal abad ke-20, Rusia berkonflik dengan Kekaisaran Jepang. Saat itu Kekaisaran Jepang juga baru mengalami kebangkitan terkait kepentingan di Korea dan melemahnya Tiongkok.

Selama beberapa dekade, negara-negara Eropa mendominasi di seluruh dunia. Bahkan kerajaan dan negara kecil seperti Belgia pun menguasai wilayah asing yang tak terhitung jumlahnya. Namun dominasi dan konsekuensi dari rasisme yang mengakar akhirnya mengusik diplomasi dengan Kekaisaran Jepang yang sedang bangkit itu.

Meskipun melakukan diplomasi dengan itikad buruk, Rusia masih yakin bahwa Jepang tidak akan pernah terlibat perang dengan mereka. Dan jika Kekaisaran Jepang melawan, mereka harus menghadapi dukungan “orang kulit putih Eropa” lainnya dalam memerangi “bahaya kuning”.

Rusia terbukti salah. Dengan pecahnya Perang Rusia-Jepang, dunia akan melihat betapa hebatnya militer Kekaisaran Jepang.

Awal mula Perang Rusia-Jepang

Asal mula Perang Rusia-Jepang dapat ditelusuri kembali ke Restorasi Meiji tahun 1868, sekitar empat dekade sebelum konflik tersebut. Sebelumnya, Kekaisaran Jepang berada dalam keadaan isolasionisme dan feodalisme di bawah Keshogunan Tokugawa selama ratusan tahun. Dengan Restorasi Meiji, Jepang berubah menjadi kekaisaran yang sangat modern dan maju hanya dalam sekejap.

Kekaisaran Jepang mengikuti model modernisasi, industrialisasi, dan reformasi politik barat. Hasilnya, mereka dengan cepat memantapkan dirinya sebagai kekuatan regional yang sedang berkembang, bebas dari pengaruh pemerintahan Eropa mana pun.

Dengan perubahan dramatis ini terjadilah perubahan dalam pandangan dunia. Ambisi nasional Kekaisaran Jepang mulai mencerminkan kekuatan-kekuatan besar dunia. Untuk mencapai prestise dan kemajuan dalam skala global, Jepang memerlukan koloni di luar negeri dan sumber daya alam.

Namun rupanya Kekaisaran Jepang terlambat melangkah. Pasalnya, sebagian besar wilayah di dunia telah “diklaim” oleh kekuatan dunia lain. “Pilihan ekspansi mereka pun semakin sedikit,” tulis Turner Collins di laman The Collector.

Oleh karena itu, Kekaisaran Jepang mengalami konflik dengan Rusia. Saat itu Rusia masih mempertahankan daratan luas yang membentang dari Baltik hingga Samudera Pasifik. Juga sedang dalam proses memperkuat kehadirannya di ujung timur perbatasannya.

Baik Kekaisaran Jepang maupun Rusia juga terlibat konflik terkait Korea dan Tiongkok timur laut, yang dikenal sebagai Manchuria. Pada titik ini, sejumlah besar rasisme juga memengaruhi cara pandang kedua negara terhadap wilayah tersebut.

Dalam kasus Rusia, Rusia sering kali menganggap dirinya sebagai benteng bagi Eropa. Hal ini didukung oleh ideologi “Bahaya Kuning” yang sangat rasis. Ideologi ini dianut oleh banyak kerajaan dan negara di Eropa saat itu.

Bahaya Kuning (Yellow Peril)

Perang Rusia-Jepang kemungkinan besar tidak akan terjadi jika tidak karena banyaknya rasisme yang mendasarinya.

Selama paruh akhir abad ke-19, Eropa meningkatkan keterlibatannya di Tiongkok, khususnya melalui kesepakatan dan perjanjian perdagangan yang keras. Eropa tahu bahwa Tiongkok terlalu besar untuk ditaklukkan dan dikuasai secara langsung, tetapi masih banyak kekayaan yang bisa diambil dari Asia Timur.

Hal ini menyebabkan terciptanya “Bahaya Kuning”. Bahaya Kuning adalah sebuah kampanye rasis untuk tidak memanusiakan orang Asia Timur dan membela kepentingan kolonial Eropa di Tiongkok.

Kampanye ini dipelopori oleh Kaiser Wilhelm II dari Jerman. Wilhelm II memanfaatkan kedekatannya dengan Tsar Nicholas II dari Rusia untuk memastikan bahwa Rusia juga mempunyai sikap rasis terhadap Asia Timur. Wilhelm melihat dirinya dan Tsar sebagai “penjaga gerbang Eropa” melawan gelombang “gerombolan Mongol” berikutnya.

Ketika Pemberontakan Boxer terjadi di Tiongkok, Tsar mengerahkan sekitar 100.000-200.000 tentara untuk pergi ke Manchuria. Kemungkinan tentara tersebut dikirim untuk melindungi kepentingan Rusia.

Kekaisaran Jepang mencoba melobi dan menempuh jalur diplomatik dengan Rusia. Menyadari bahwa mereka tidak dapat mengusir Rusia secara militer, Jepang berusaha meminimalkan pengaruh Rusia di wilayah tersebut. Jepang juga memastikan Korea tetap berada dalam wilayah pengaruh Jepang.

Diplomasi Rasis

Selama persiapan Perang Rusia-Jepang, Kaiser Wilhelm II memprovokasi konflik di Timur Jauh untuk mencapai tujuannya sendiri di Eropa. Dia berharap dapat menjauhkan Rusia dari sekutunya, Prancis. Saat itu Prancis ingin Rusia membatasi ekspansinya ke wilayah timur.

Kampanye “Bahaya Kuning” juga sedang dilakukan oleh pemerintah Jerman saat itu. Tujuannya adalah untuk membuat penduduk Jerman dan Rusia menentang Asia.

Kini menjadi semakin jelas bahwa Jerman tidak memiliki niat yang tulus untuk diplomasi tentang Korea dan Manchuria.

Sementara itu, Wilhelm berulang kali berusaha untuk mendorong Nicholas berperang. Ia bahkan menyebutnya pengecut ketika Tsar tampaknya bersedia berkompromi dengan Jepang.

Rusia juga menderita rasa percaya diri yang berlebihan karena jaminan bantuan dari Jerman. Juga karena keyakinan rasis bahwa Jepang atau kekuatan Asia tidak bisa mengalahkan kekuatan Eropa yang dianggap superior.

“Pada titik ini, pada bulan Februari 1904, Kekaisaran Jepang kehabisan kesabaran,” ungkap Collins. Kekaisaran Jepang memutuskan tidak akan lagi menyerah pada dugaan superioritas Rusia dan Eropa.

Yang mengejutkan seluruh dunia, Jepang menyatakan perang pada tanggal 8 Februari 1904. Deklarasi tersebut diawali dengan serangan mendadak Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terhadap Armada Rusia di Port Arthur. Perang Rusia-Jepang telah dimulai.

Perang Rusia-Jepang mengakhiri dominasi Eropa

Pembukaan Perang Rusia-Jepang benar-benar mengejutkan Rusia. Pasukan Rusia terjebak di wilayah timur.

Strategi Jepang mengandalkan pergerakan cepat dan merebut sebanyak mungkin wilayah di timur. Hal tersebut dilakukan sebelum Rusia mampu memobilisasi dan memindahkan pasukannya yang jauh lebih besar ke garis depan. Rusia berharap dapat menuntut perdamaian sebelum konflik yang panjang dan berlarut-larut terjadi.

Sejumlah kemenangan di Manchuria dan Tiongkok yang diduduki Rusia membuat Jepang percaya diri. Kekaisaran Jepang yakin bahwa mereka akan mencapai penyelesaian melalui negosiasi dari Rusia.

Namun, Tsar menolak untuk menerima bahwa “Rusia Putih yang Mulia” dapat dijatuhkan oleh kekuatan regional Asia. Tsar bahkan tidak akan mempertimbangkan kemungkinan penyelesaian perdamaian yang memalukan.

Sementara itu, meskipun secara publik dan politik mendukung pihak Rusia, Jerman tidak dapat ikut berperang. Pasalnya, ada aliansi antara Jepang dan Inggris.

Inggris setuju untuk ikut berperang jika ada kekuatan Eropa selain Rusia yang ikut campur. Oleh karena itu, Perang Rusia-Jepang menjadi pertarungan dua pihak tanpa intervensi pihak luar.

Meskipun secara publik dan politik mendukung pihak Rusia, Jerman tidak dapat ikut berperang. Pasalnya, ada aliansi antara Jepang dan Inggris. Inggris setuju untuk ikut berperang jika ada kekuatan Eropa selain Rusia yang ikut campur. (Ikeda Terukata/Museum of Fine Arts Boston )

Perang Rusia-Jepang memuncak dalam dua pertempuran besar, satu di darat dan satu lagi di laut. Pertempuran Mukden dimenangkan oleh Kekaisaran Jepang, meski mereka harus keluar dari Manchuria.

Namun pukulan terakhir yang paling melumpuhkan bagi Rusia terjadi di laut, yaitu Pertempuran Tsushima. Setelah mengerahkan sebagian besar armada Baltik ke Asia, Tsar bermaksud menghancurkan Angkatan Laut Jepang. Tsar juga berencana untuk memutus pasokan Jepang di daratan Asia.

Namun, dalam kemenangan yang mengejutkan dunia, Kekaisaran Jepang benar-benar menghancurkan armada Rusia. Rusia kehilangan sebelas kapal perangnya dan sebagian besar kapal lainnya.

Ketika Rusia benar-benar kalah, perang diakhiri dengan Perjanjian Portsmouth yang menguntungkan Kekaisaran Jepang. Sejak saat itu, tidak diragukan lagi bahwa Jepang telah melangkah ke panggung dunia. Di saat yang sama, Eropa tidak lagi menjadi saingan Jepang di luar negeri.