Untuk menghidupi keluarga sehari-hari, masyarakat Danau Tondano mengandalkan hasil alam dari perairan.
Salah satunya, menjaring hewan endemik danau, yakni ikan Nike. Kegiatan ini dilakukan oleh ibu-ibu setempat menggunakan jaring buatan tangan.
“Mereka punya semacam papan yang dipakai untuk mengumpulkan atau menjebak ikan-ikan kecil tersebut agar ke tepian danau, lalu dijaring menggunakan saringan kecil,” lanjutnya.
Selain menjadi sumber kehidupan, Danau Tondano juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi warga. Untuk mengunjungi desa terdekat, mereka membuat sampan dari batang pohon utuh.
“Sekarang sudah berubah, dibuatnya dari papan-papan kayu,” papar Rickson.
Bagi anak-anak, danau juga menjadi wadah rekreasi. Hal ini diungkapkan oleh ilmuwan asal Minahasa, Meidy Tinangon. Ia merupakan pemuda asal Danau Tondano sekaligus saksi hidup perkembangan danau dari masa ke masa.
Baca Juga: Si Manis dari Danau Tondano, Manado
“Dulu, kami (anak-anak) selalu berenang di danau. Di sana, kami juga biasa mencari hewan dan tumbuhan yang tinggal di sekitar danau,” ungkap Meidy.
Sebagai bagian dari penduduk asli, ia mengatakan bahwa para tetua selalu menceritakan mitologi Danau Tondano. Proses penceritaannya dilakukan lewat dongeng pengantar tidur atau lagu dengan lirik-lirik atau syair.
“Tradisi ini namanya Mauman. Tradisi ini dilakukan untuk menceritakan kisah turun-temurun kepada anak cucu,” ujarnya.
Salah satu mitologi yang paling ia ingat adalah tentang kisah terbentuknya Danau Tondano.
Konon, ada dua suku yang mendiami wilayah utara dan selatan gunung Tondano. Kedua suku telah bersumpah bahwa anak-anak dari suku itu tidak bisa saling menikah.