Nationalgeographic.co.id – Perairan memiliki nilai sejarah dan emosional yang besar bagi masyarakat Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara yang akan menjadi tempat penyelenggaraan Minahasa Wakefest 2023.
Kompetisi internasional yang mempertandingan wakeboarding dan wakesurfing tersebut akan diselenggarakan pada 24-26 November 2023.
Menilik sejarah, nenek moyang mereka datang ke dataran yang kini disebut Pulau Sulawesi melalui perairan.
Kisah tersebut diceritakan langsung oleh Budayawan Minahasa, Rikson Ch Karundeng.
Sebelum invasi kolonial Belanda dan Inggris, pemerintahan Minahasa masih lekat dengan kearifan lokal. Salah satunya, sistem pemerintahan.
Keunikan dan keindahan budaya kepemimpinan di Minahasa tersebut dapat disaksikan langsung oleh para pengunjung Minahasa Wakefest 2023.
Baca Juga: Menelusuri Danau Tondano, Lokasi Minahasa Wakefest 2023 yang Punya Kekayaan Alam dan Budaya
Rikson menjelaskan, terdapat tiga kelompok utama yang memimpin Minahasa, yakni golongan utama yang berasal dari kaum intelektual dan pemuka agama.
Kedua, orang pemerintahan, lalu dilanjut dengan perwakilan masyarakat sekitar yang berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat.
“Perwakilan masyarakat sekitar ini bertugas untuk menjamin keberlangsungan hidup, seperti panen dan olahannya,” ujar Rikson.
Dalam lingkup permukiman, pemerintahan desa atau kampung (wanua) dipimpin oleh seorang kepala desa atau tonaas umbanua.
Sementara untuk masalah kerohanian, jabatan ini dipegang oleh pengurus spiritual bernama walian.
Baca Juga: Jadi Tuan Rumah Minahasa Wakefest 2023, Tondano Siap Tunjukkan Pesonanya
Menariknya, menjadi seorang Tonaas tidak memerlukan persyaratan usia ataupun gender.
Sebab, persyaratan Tonaas hanya terdiri dari tiga indikator, yakni ngaasan (kecerdasan intelektual dan wawasan tentang negeri), ngetean (kepekaan terhadap sesama), dan keter (kuat secara fisik dan mental).
“Biasanya, setiap taranak (klan) akan mengutus orang terbaik mereka. Apabila berhasil menduduki jabatan ini, seorang Tonaas harus siap untuk jadi garda penyerang paling depan ketika ada perang atau konflik,” lanjutnya.
Sistem pemerintahan Tonaas sendiri tersebar merata di berbagai wilayah Minahasa. Salah satunya, di sekitar Danau Tondano.
Baca Juga: Keindahan Danau Tondano Jadi Tuan Rumah WakeFest Minahasa 2023
Di area ini, terdapat banyak pemukiman yang dihuni oleh beberapa keluarga besar. Beberapa desa umumnya terletak berdampingan, serta masih memiliki keterikatan darah (geneologis).
“Wanua yang terikat secara geneologis dan berdampingan disebut Walak. Di Tondano itu, wilayahnya disebut Walak Tondano Toliang dan Tolimambot,” ungkap Rikson.
Meski berdekatan, walak memiliki ukuran yang lebih besar dari kecamatan. Walak Toliang dan Tolimambot sendiri dipisahkan oleh Sungai Tondano.
“Di sana, ada juga masyarakat yang tinggal di pulau pesisir. Mereka adalah suku Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Tonsawang, Pasan, dan Bowontehu,” papar Rikson.
Danau Tondano sebagai sentra budaya dan sumber keberkahan
Untuk menghidupi keluarga sehari-hari, masyarakat Danau Tondano mengandalkan hasil alam dari perairan.
Salah satunya, menjaring hewan endemik danau, yakni ikan Nike. Kegiatan ini dilakukan oleh ibu-ibu setempat menggunakan jaring buatan tangan.
“Mereka punya semacam papan yang dipakai untuk mengumpulkan atau menjebak ikan-ikan kecil tersebut agar ke tepian danau, lalu dijaring menggunakan saringan kecil,” lanjutnya.
Selain menjadi sumber kehidupan, Danau Tondano juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi warga. Untuk mengunjungi desa terdekat, mereka membuat sampan dari batang pohon utuh.
“Sekarang sudah berubah, dibuatnya dari papan-papan kayu,” papar Rickson.
Bagi anak-anak, danau juga menjadi wadah rekreasi. Hal ini diungkapkan oleh ilmuwan asal Minahasa, Meidy Tinangon. Ia merupakan pemuda asal Danau Tondano sekaligus saksi hidup perkembangan danau dari masa ke masa.
Baca Juga: Si Manis dari Danau Tondano, Manado
“Dulu, kami (anak-anak) selalu berenang di danau. Di sana, kami juga biasa mencari hewan dan tumbuhan yang tinggal di sekitar danau,” ungkap Meidy.
Sebagai bagian dari penduduk asli, ia mengatakan bahwa para tetua selalu menceritakan mitologi Danau Tondano. Proses penceritaannya dilakukan lewat dongeng pengantar tidur atau lagu dengan lirik-lirik atau syair.
“Tradisi ini namanya Mauman. Tradisi ini dilakukan untuk menceritakan kisah turun-temurun kepada anak cucu,” ujarnya.
Salah satu mitologi yang paling ia ingat adalah tentang kisah terbentuknya Danau Tondano.
Konon, ada dua suku yang mendiami wilayah utara dan selatan gunung Tondano. Kedua suku telah bersumpah bahwa anak-anak dari suku itu tidak bisa saling menikah.
Marimbo dan Maharimbo, anak laki-laki dan perempuan dari dua suku berbeda itu tidak sengaja bertemu di hutan dan jatuh cinta.
“Mereka kawin lari, kemudian meledaklah gunung itu dan menjadi Danau Tondano,” kisahnya.
Lewat kisah itu, para tetua mengingatkan agar para generasi muda selalu menjaga dan mematuhi peraturan adat.
Selain itu, budaya ini juga dilakukan guna menjaga komitmen masyarakat untuk selalu restu dari orangtua dan leluhur untuk keputusan apa pun.
“Kemudian ada cerita Limbad dan temannya yang bekerja berburu. Cerita itu menceritakan soal kejujuran terhadap saudara dan teman,” ungkap Meidy.
Perairan sebagai jembatan budaya luar
Perairan kemudian juga memperkenalkan masyarakat Minahasa dengan budaya dari luar melalui jalur perdagangan. Salah satunya, memperkenalkan agama.
“Agama ini disebarkan oleh para orang kolonial. Beberapa juga ada yang dibawa oleh para korban pengasingan Belanda,” ungkap Rikson.
Meski berbagai kepercayaan telah diterima dan diadopsi masyarakat, Rikson menyebut, para penduduk tetap mempertahankan berbagai kebudayaan lawas, seperti mengunjungi danau ketika menghadapi masalah.
Selain itu, mereka juga masih mempertahankan banyak kebiasaan. Salah satunya, ketika ada medoleo (angin puting beliung).
“Kalau ini turun, masyarakat akan mengangkat sapu lidi dan mengucapkan syair-syair. Nantinya, angin ini akan pergi keluar kampung atau hilang dengan sendirinya,” pungkas Rikson.