Nationalgeographic.co.id—Orang-orang selalu berusaha keras untuk tampil menarik selama berabad-abad. Dalam tren kecantikan sejarah dunia kuno nampaknya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan praktik-praktik mengejutkan dan sulit dipercaya di masa lalu. Salah satunya di Romawi kuno, keringat gladiator digunakan untuk perawatan wajah. Lalu, apa saja tren kecantikan unik dalm sejarah dunia kuno lainnya?
Krim Wajah dari Keringat Gladiator Romawi
Bangsa Romawi kuno dikenal karena kecintaan mereka pada kemewahan dan kesenangan. Tidak terkecuali wanita kaya. Salah satu tren kecantikan mereka yang paling aneh dan tidak biasa adalah fenomena penggunaan keringat gladiator untuk perawatan wajah.
Perawatan wajah ini dipercaya dapat memperbaiki warna kulit dan menjaga keremajaan. Keringat para gladiator yang sukses dianggap sebagai afrodisiak yang manjur.
Di Roma Kuno, sebagian besar gladiator dihormati oleh masyarakat karena kehebatan fisik dan keterampilan bertarung mereka. Mereka sering bertarung sampai mati di depan penonton yang bersorak-sorai di Colosseum.
Semakin sukses seorang gladiator di arena, diyakini semakin kuat cairan tubuh mereka. Ternyata kesuksesan mereka benar-benar bisa menular pada Anda, atau begitulah yang diyakini orang Romawi.
Tidak diketahui secara pasti bagaimana atau kapan tren ini dimulai. Namun tak lama kemudian, wanita Romawi yang kaya raya mencari keringat para gladiator ini.
Keringat yang keluar dari tubuh mereka dikumpulkan dengan menggunakan alat yang disebut strigil. Alat ini digunakan untuk mengikis kotoran, keringat, dan minyak di budaya Yunani Kuno dan Romawi. Kadang-kadang dicampur dengan minyak zaitun. Kmudian dijual sebagai krim wajah kepada wanita Roma.
Wajah keringat gladiator hanyalah salah satu dari banyak tren kecantikan yang memanfaatkan cairan tubuh mereka. Darah gladiator diyakini merupakan komoditas populer lainnya, yang juga dijual sebagai afrodisiak. Beberapa sejarawan bahkan melaporkan bahwa darah gladiator yang terluka atau terbunuh akan dicampur dengan anggur dan diminum.
Meskipun merupakan praktik umum di Roma kuno, tren penggunaan keringat dan darah gladiator dalam produk kecantikan mungkin tampak biadab dan menjijikkan menurut standar saat ini. Namun, ini adalah contoh menarik tentang upaya orang-orang dalam mengejar kecantikan dan keremajaan.
Gigi Menghitam di Jepang Kuno
Menghitamnya gigi mungkin tampak menakutkan dan aneh bagi sebagian orang. Praktik kuno ini konon berasal dari Jepang. Namun ada kemungkinan hal itu muncul lebih awal dan di tempat lain.
Selama ratusan tahun, wanita Jepang diketahui mewarnai giginya menjadi hitam dengan zat yang disebut kanemizu. Sejarawan percaya bahwa larutan tersebut dibuat dari campuran logam, seperti serbuk besi. Dikombinasikan dengan cuka dan tanin, berasal dari sayuran atau teh tertentu.
Gigi menghitam ini kemungkinan besar pertama kali muncul sebagai praktik yang dimaksudkan untuk melindungi email gigi dan mencegah masalah kebersihan mulut lainnya, seperti penyakit gusi.
Menghitamnya gigi, disebut juga ohaguro, dianggap memikat dan indah. Hal ini dilakukan oleh wanita berusia di atas 18 tahun untuk menunjukkan kedewasaan. Meskipun penghitaman gigi biasanya dilakukan pada masa pubertas sebagai tanda kedewasaan, hal ini juga digunakan karena daya tariknya terhadap kecantikan dan mode, sehingga menjadikannya tren yang menarik.
Namun, kebiasaan tersebut sebagian besar telah hilang saat ini, setelah diperkenalkannya standar kecantikan Barat pada era kolonial. Namun, penghitaman gigi masih terus terjadi di kalangan kelompok minoritas di Tiongkok, Kepulauan Pasifik, dan Asia Tenggara.
Meskipun dilarang oleh pemerintah Meiji Jepang pada tahun 1870, ohaguro muncul kembali di zaman modern di beberapa daerah pedesaan di Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Meskipun praktik ini lebih umum terjadi di kalangan wanita berusia lanjut, beberapa wanita muda masih melakukan praktik tersebut.
Praktik Penumpahan Darah
Tren kecantikan lain yang menarik namun sedikit mengerikan sepanjang sejarah dunia kuno adalah praktik penumpahan darah (bloodletting). Penumpahan darah telah lama menjadi praktik pengambilan darah dari tubuh manusia. Biasanya dianggap mengembalikan keseimbangan dan menghilangkan “humor” berlebih.
Salah satu bapak kedokteran, Hippocrates, percaya bahwa penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan empat humor dasar. Perawatan terdiri dari membuang kelebihannya dengan berbagai cara seperti penumpahan darah.
Orang Mesir kuno, Yunani, Romawi, Arab, dan Asia semuanya melakukan penumpahan darah setidaknya sejak 3.000 tahun yang lalu. Di era Renaisans, penyakit ini menjadi sangat lazim di seluruh Eropa. Teknik ini tetap digunakan sebagai pengobatan sampai akhir abad ke-19.
Penumpahan darah dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti venasi atau skarifikasi. Tapi lintah adalah metode yang sangat umum untuk mengeluarkan darah. Lintah obat dapat menelan darah hampir sepuluh kali lipat beratnya.
Penumpahan darah dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Digunakan untuk segala hal mulai dari pneumonia dan kejang hingga penyakit mental dan “histeria wanita.”
Namun, selain menyembuhkan pasien yang sakit, penumpahan darah juga telah dilihat sebagai tren kecantikan sepanjang sejarah kuno. Di berbagai budaya dan masyarakat, misalnya di Inggris pada masa Elizabeth penampilan kulit pucat adalah hal yang paling digemari.
Riasan adalah cara paling umum untuk mendapatkan tampilan ini. Namun, penumpahan darah terkadang juga digunakan. Menjalani penumpahan darah dapat membuat pasien menjadi pucat dan banyak wanita mencarinya karena alasan ini.
Pengikatan Kaki Selama Ribuan Tahun di Tiongkok
Mengikat kaki mungkin merupakan salah satu tren kecantikan paling aneh dalam sejarah. Bisa dibilang, itu adalah hal yang paling menyakitkan. Selama berabad-abad, kaki wanita Tiongkok diikat sejak usia dini. Tujuannya adalah untuk mendapatkan “teratai emas” berukuran tiga inci yang mungil.
Latihan ini benar-benar mengubah bentuk kaki. Meskipun tidak ada kepastian kapan pengikatan kaki dimulai, beberapa bukti paling awal mengenai hal ini berasal dari makam Lady Huang Sheng, yang meninggal pada tahun 1243.
Para arkeolog menemukan sepatu teratai yang disulam dengan desain yang elegan, dirancang untuk kakinya yang kecil. Sepatu ini hanya berukuran panjang tiga inci. Mereka sering kali dibuat untuk wanita oleh suami atau kekasihnya.
Sepatu, serta miniatur kakinya, sangat dihargai. Bahkan perempuan terkaya dan paling berkuasa pun harus bekerja keras untuk mempertahankannya. Namun praktik mengikat kaki sangatlah menyakitkan dan sangat berbahaya.
Pertama, kaki dicelupkan ke dalam air panas, dan semua jari kaki kecuali yang besar dipatahkan dan diikat rata pada sol. Lengkungan kaki menjadi tegang saat kaki ditekuk.
Terakhir, kaki diikat menggunakan strip sutra panjang. Strip ini dilepas dan diganti setiap dua hari untuk mencegah infeksi. Namun hal ini tidak selalu terjadi.
Banyak gadis juga terpaksa berjalan jauh dengan kaki terikat. Seiring berjalannya waktu, balutannya menjadi semakin rapat. Mereka mendekatkan tumit dan sol dan mempercepat prosesnya. Setelah dua tahun, prosesnya dianggap selesai.
Dampak pengikatan kaki cukup signifikan di seluruh Tiongkok. Hal ini kemungkinan besar muncul dari kekuatan sosial yang menundukkan perempuan. Dan itu adalah hal yang lumrah.
Pengikatan kaki memberikan contoh mengejutkan tentang bagaimana fesyen wanita dan praktik kecantikan tradisional dapat merusak dan membahayakan. Meski dilarang pada tahun 1911, praktik mengikat kaki masih bertahan di beberapa wilayah terpencil di Tiongkok.