Jelajah Cagar Alam Bukit Sapat Hawung 2023: Enigma Terra Incognita

By National Geographic Indonesia, Minggu, 3 Desember 2023 | 12:00 WIB
Medan yang cukup sulit menjadikan tantangan tersendiri bagi tim untuk menjelajah Cagar Alam Sapat Hawung. Medan melalui Sungai Barito yang berarus deras dan perbukitan yang terjal. (BKSDA Kalimantan Tengah)

Jauh dari jangkauan, wilayah yang menawarkan keragaman hayati yang belum tersentuh dan bagian puncaknya hampir selalu tertutup kabut ini menjadi magnet bagi para peneliti. Baring hawung, demikian masyarakat lokal menyebut. Bukit tinggi yang besar dan memanjang dan berembun alias ditutupi kabut.

Sadtata mulai bertugas menjadi Kepala BKSDA Kalimantan Tengah pada awal Desember 2022. Ketika mulai bertugas, ia mulai eksplorasi literatur sebagai persiapan awal untuk mengenali wilayahnya. Tak ditemukan catatan yang cukup tentang flora fauna di kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung.

Secara admistratif, cagar alam seluas 182.447,94 hektar (data tahun 2014) ini terletak di Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah dan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini merupakan bagian kecil dari untaian Pegunungan Muller.

Ada beberapa jenis ular yang mudah ditemukan pada siang hari, kebanyakan mereka aktif di malam hari. (BKSDA Kalimantan Tengah)

Nama Muller diabadikan dari nama serdadu sekaligus naturalis Jerman, Mayor Georg Muller, yang mengadakan penjelajahan dari Kutai Timur menuju Sambas pada abad ke-19. Kawasan terra incognita, kawasan yang belum terpetakan ini menjadikan Muller tak pernah lagi ditemukan sejak 20 januari 1826. Anton Willem Niewenhuis, penjelajah Belanda memberi nama pegunungan ini dengan nama Pegunungan Muller pada 1894.

“Saya tergoda untuk melakukan ekspedisi Sapat Hawung. Saya optimis akan menemukan spesies baru dan juga fenomena alam lainnya yang belum pernah dilihat sebelumnya. Alasan lain saya melakukan ekspedisi ini, bagaimana saya bisa mengelola dengan benar kalau saya tidak kenal wilayah yang saya kelola,” ujar alumni Fakultas Kehutanan UGM ini.

Selain menjalankan tugas sebagai kepala BKSDA untuk penyelenggaraan konservasi di dalam dan di luar kawasan konservasi, secara personal Sadtata memiliki jiwa penjelajah. Ia mengaku, Sapat Hawung bukanlah penjelahanan pertama di wilayah tugasnya.

Salah satu spesimen areca yang dikoleksi dalam ekspedisi. (Yuda R. Yudistira)

Sebelumnya ia pernah menginisiasi penjelajahan di Maluku Utara dan Kalimantan Barat tempat ia ditugaskan sebelumnya. Dari sinilah ia berjejaring dengan para peneliti yang juga penjelajah. Keahlian yang menjadikan ekspedisi Sapat Hawung unik.

“Banyak peneliti kita bukan penjelajah sehingga mereka jarang ke kawasan terpencil untuk penjelajahan. Sementara itu anggota BKSDA hampir semuanya penjelajah, tapi sayangnya mereka bukan peneliti sehingga tidak cukup sensitif bila menemukan fenomena atau spesies unik atau baru. Itu lah antara lain tantangan kita dalam melakukan penjelajahan di kawasan hutan” ujar Sadtata.

Dalam ekspedisi ini, Sadtata mengajak para peneliti dan punya rekam jejak sebagai penjelajah. Mulai dari peneliti tumbuhan, herpetologist (peneliti reptil), peneliti mamalia (badak), peneliti avifauna (burung), PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) dan juga tim patroli. Keahlian mereka di bidang masing-masing tak diragukan.

Nyctixalus pictus Peters, katak yang ditemukan oleh tim herpetofauna. (Teguh Willy Nugroho/Tim Herpetofauna Jelajah Sapat Hawung 2023)