Jelajah Cagar Alam Bukit Sapat Hawung 2023: Enigma Terra Incognita

By National Geographic Indonesia, Minggu, 3 Desember 2023 | 12:00 WIB
Medan yang cukup sulit menjadikan tantangan tersendiri bagi tim untuk menjelajah Cagar Alam Sapat Hawung. Medan melalui Sungai Barito yang berarus deras dan perbukitan yang terjal. (BKSDA Kalimantan Tengah)

 

Oleh Titik Kartitiani—Kontributor National Geographic Indonesia

Di jantung hutan hujan Kalimantan, menghampar misteri dan keajaiban yang belum tersentuh. Segenap peneliti muda bidang flora fauna menulis ulang narasi eksplorasi para naturalis. Setiap langkah adalah hasrat, keingintahuan dan penemuan untuk mencatat biodiversiti tanah Borneo yang membentangkan permadani alam yang rumit.

“Saya bukan peneliti, tapi saya bisa menangkap aura kecantikan hutan Kalimantan. Aura kekayaan hutan Indonesia yang luar biasa. Para peneliti muda yang ikut dalam tim jelajah seperti anak kecil yang diberi mainan, seperti ektase…,” kata Sadtata Noor Adirahmanta, Kepala BKSDA Kalimantan Tengah sekaligus Ketua Tim Jelajah Sapat Hawung 2023.

Ia berhenti sejenak, menghela napas. Ada semangat yang masih hangat, ada rasa haru atas ekspedisi akbar yang baru seminggu berlalu. National Geographic Indonesia mewawancarai Sadtata di sela-sela ia mengikuti rakor di Manggala Wanabhakti, Oktober 2023.

Jelajah Cagar Alam Sapat Hawung, Explore the Hidden World adalah sebuah perjalanan yang unik dari penjelajahan-penjelajahan lain yang pernah ada. Ekspedisi yang berlangsung pada 9 – 24 September 2023 diinisasi oleh BKSDA Kalimantan Tengah dengan melibatkan 70 orang terdiri dari 23 tim (peneliti dan videografer) dan 47 porter.

 

Di jalan menuju kawasan cagar alam, seorang peneliti berhenti ketika menjumpai tumbuhan yang menarik. Selanjutnya ia segera menelisiknya. (BKSDA Kalimantan Tengah)

Tim porter dibagi dalam 2 shift mengingat perjalanan yang cukup lama yaitu 2 minggu di dalam hutan menuju kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung, Kalimantan Tengah yang bahkan belum pernah dieksplorasi secara detail.

“Saya bisa katakan hampir tidak terjamah. Masyarakat tidak punya kepentingan ke situ. Masyarakat Desa Kelasin, desa terdekat biasanya mencari gaharu hingga ke pedalaman hutan namun tetap belum sampai ke sini, terlalu jauh,” terang Sadtata.

Sadtata memberi gambaran, untuk mencapai batas cagar alam membutuhkan waktu sekitar 10 hari. Dari Dari Desa Kelasin, desa terakhir, berangkat dengan perahu klotok selama lebih kurang 4 jam ke arah hulu Sungai Barito.

Kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi selama 6 hari dengan jalan kaki baru sampai batas cagar alam. Dari desa terakhir tersebut, sepajang perjalanan adalah kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan ekosistem hutan primer yang belum terjamah oleh pemegang izin usaha bidang kehutanan. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh tingginya biaya operasional di wilayah ini.

Proses koleksi spesimen dan pendataan di lapangan. Kiri-kanan: Sadtata Noor Adirahmanta (Kepala BKSDA Kalimantan Tengah), Yuda R. Yudistira (orchidologist), Roland Putra Pribadi Ahmad (botanist). (BKSDA Kalimantan Tengah)

“Dua minggu di dalam hutan, sebagian besar waktunya berada di luar kawasan cagar alam. Itu pun keanekaragaman hayatinya sudah sangat kaya. Kami masuk melakukan eksplorasi di dalam kawasan cagar alam, dan itu pun masih di pinggiran, hanya 3 hari,” tambahnya.

Jauh dari jangkauan, wilayah yang menawarkan keragaman hayati yang belum tersentuh dan bagian puncaknya hampir selalu tertutup kabut ini menjadi magnet bagi para peneliti. Baring hawung, demikian masyarakat lokal menyebut. Bukit tinggi yang besar dan memanjang dan berembun alias ditutupi kabut.

Sadtata mulai bertugas menjadi Kepala BKSDA Kalimantan Tengah pada awal Desember 2022. Ketika mulai bertugas, ia mulai eksplorasi literatur sebagai persiapan awal untuk mengenali wilayahnya. Tak ditemukan catatan yang cukup tentang flora fauna di kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung.

Secara admistratif, cagar alam seluas 182.447,94 hektar (data tahun 2014) ini terletak di Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah dan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini merupakan bagian kecil dari untaian Pegunungan Muller.

Ada beberapa jenis ular yang mudah ditemukan pada siang hari, kebanyakan mereka aktif di malam hari. (BKSDA Kalimantan Tengah)

Nama Muller diabadikan dari nama serdadu sekaligus naturalis Jerman, Mayor Georg Muller, yang mengadakan penjelajahan dari Kutai Timur menuju Sambas pada abad ke-19. Kawasan terra incognita, kawasan yang belum terpetakan ini menjadikan Muller tak pernah lagi ditemukan sejak 20 januari 1826. Anton Willem Niewenhuis, penjelajah Belanda memberi nama pegunungan ini dengan nama Pegunungan Muller pada 1894.

“Saya tergoda untuk melakukan ekspedisi Sapat Hawung. Saya optimis akan menemukan spesies baru dan juga fenomena alam lainnya yang belum pernah dilihat sebelumnya. Alasan lain saya melakukan ekspedisi ini, bagaimana saya bisa mengelola dengan benar kalau saya tidak kenal wilayah yang saya kelola,” ujar alumni Fakultas Kehutanan UGM ini.

Selain menjalankan tugas sebagai kepala BKSDA untuk penyelenggaraan konservasi di dalam dan di luar kawasan konservasi, secara personal Sadtata memiliki jiwa penjelajah. Ia mengaku, Sapat Hawung bukanlah penjelahanan pertama di wilayah tugasnya.

Salah satu spesimen areca yang dikoleksi dalam ekspedisi. (Yuda R. Yudistira)

Sebelumnya ia pernah menginisiasi penjelajahan di Maluku Utara dan Kalimantan Barat tempat ia ditugaskan sebelumnya. Dari sinilah ia berjejaring dengan para peneliti yang juga penjelajah. Keahlian yang menjadikan ekspedisi Sapat Hawung unik.

“Banyak peneliti kita bukan penjelajah sehingga mereka jarang ke kawasan terpencil untuk penjelajahan. Sementara itu anggota BKSDA hampir semuanya penjelajah, tapi sayangnya mereka bukan peneliti sehingga tidak cukup sensitif bila menemukan fenomena atau spesies unik atau baru. Itu lah antara lain tantangan kita dalam melakukan penjelajahan di kawasan hutan” ujar Sadtata.

Dalam ekspedisi ini, Sadtata mengajak para peneliti dan punya rekam jejak sebagai penjelajah. Mulai dari peneliti tumbuhan, herpetologist (peneliti reptil), peneliti mamalia (badak), peneliti avifauna (burung), PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) dan juga tim patroli. Keahlian mereka di bidang masing-masing tak diragukan.

Nyctixalus pictus Peters, katak yang ditemukan oleh tim herpetofauna. (Teguh Willy Nugroho/Tim Herpetofauna Jelajah Sapat Hawung 2023)

Di sisi lain, hasrat mereka untuk menamai spesies yang belum bernama memberi energi untuk melewati berbagai medan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Penelitian Gabungan Berbagai Keahlian

Dua minggu setelah komunikasi terakhir dengan Yuda R. Yudistira, orchidologist Yayasan Tumbuhan Asli Nusantara, ia baru mengirim pesan melalui Whats Apps,  suatu sore pada akhir September 2023. Saya sedang berada di jalanan kawasan Jakarta Pusat yang padat ketika ia baru keluar dari hutan dan mencapai Desa Kelasin kembali.

Tidak ada kata tertulis, hanya video beberapa detik yang menggambarkan sebuah tenda darurat di lebatnya hutan hujan. Latar belakang suara serangga dan burung yang nyaring di jauhan. Saya mengenali sebagai suara kekayaan hayati yang murni, dikirim oleh peneliti muda antusias, meski tanpa kalimat. Hal yang sama yang dirasakan para peneliti muda lainnya. Hasrat.

“Kalau selangkah nemu new species, dua langkah ya nemu dua new species, ibaratnya begitu. Banyak spesies baru khususnya anggrek, belum tercatat karena orang botani belum ada yang ke sini,” kata Yuda.

Heosemys spinosa Gray, kura-kura yang ditemukan ketika tim meneliti sungai di wilayah penjelajahan. (Eko Hamzah/ Tim Jelajah Sapat Hawung 2023)

Menurut perhitungan kasar, ia melihat lebih dari 100 spesies anggrek yang berbunga di alam, belum lagi anggrek yang sedang tidak berbunga dan sulit untuk diidentifikasi. Yuda meyakini, masih banyak spesies yang belum teridentifikasi.

Antusiasme yang sama dirasakan Roland Putra Pribadi Ahmad, peneliti dari tumbuhan dari Yayasan Tumbuhan Asli Nusantara. Ia menyampaikan bahwa ekspedisi ini membawanya melewati vegetasi yang berubah dengan karakter yang belum pernah ia temukan sebagaimana medan penelitiannya di Sulawesi. Ia mengoleksi lebih dari 90 jenis tumbuhan dengan karakter yang berbeda.

Tak ketinggalan, di bidang herpetofauna, M. Fathoni menginventarisasi 30-an spesies amfibi dan beberapa kadal dan ular. Sebelumnya, ia membaca literatur bahwa di Kalimantan secara umum, tercatat 200-an amfibi dan 300-an jenis reptil.

Toni menyebutkan beberapa jenis spesies yang ditemukan antara lain Nyctixalus pictus (jenis katak), Heosemys spinosa (kura-kura) dan Xenodermus javanicus (jenis ular). Untuk mengamati herpetofauna, Toni beda waktu dengan tim mamalia, avifauna dan flora. Herpetofauna lebih mudah ditemukan pada malam hari dengan tim kecil sehingga satwa tidak lari.

“Saya mulai menemukan akumulasi spesies yang cukup tinggi di camp 3, ketinggian 600-700 mpdl,” kata Toni.

Tak hanya merekrut peneliti muda yang ahli di bidangnya, ekspedisi ini juga mengajak peneliti dari instansi lingkup KLHK lain. Daryan, PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) Balai TN Ujung Kulon juga bergabung untuk meneliti keberadaan badak di Kalimantan.

Menurut Daryan, ada kemungkinan keberadaan badak di Kalimantan Tengah. Masyarakat di Desa Kelasin ada yang menyimpan gigi badak. Selain itu juga cerita nenek moyang, pernah melihat badak sedang berkubang di daerah Keramu meski tidak tahu jenisnya, badak sumatra atau badak jawa.

Sementara itu, Teguh Willy Nugroho, avifauna specialist, PEH Balai TN Sebangau mengestimasi kemungkinan akan mendapatkan 80 jenis burung. Pada hari ke-14, ia menginventarisasi dapatlah 97 jenis. Jumlah yang sangat banyak menurut pengalaman Teguh.

Setiap malam, tim melakukan observasi dan pendataan setiap spesimen yang ditemukan langsung dipimpin oleh Sadtata di tenda. (BSKDA Kalimantan Tengah)

Dari kisah dan antusiasme para peneliti selama 21 hari di lapang dari mulai perjalanan, akhirnya tim menyusun angka untuk sebuah inventarisasi flora fauna.

Tim peneliti flora menemukan 93 spesies dari 14 famili, 16 spesies di antaranya berporensi sebagai spesies baru yang akan diuji selanjutnya. Sejumlah 40 spesies merupakan tumbuhan hias dan sisanya memerlukan identifikasi untuk mengetahui proseps sebagai tumbuhan obat (bioprospeksi).

Dari tim herpetofauna menemukan 40 spesies,  23 spesies amfibi (6 famili) dan 17 spesies reptil (9 famili). Beberapa spesies di antaranya endemik Kalimantan. Ada kemungkinan catatan tambahan dari daftar spesies herpetofauna bila penjelajahan dilanjutkan. Sedangkan dari tim avifauna terindikasi sebanyak 97 spesies dari 37 famili berbeda.

Dua spesies di antaranya belum teridentifikasi persis. Hal menarik dari laporan peneliti avifauna yaitu menemukan burung dari famili Nectariniidae (kelompok burung madu) pada ketinggian 800 mdpl.

Sapat Hawung Memanggil

Saat artikel ini ditulis, tim peneliti masih dalam proses untuk mengidentifikasikan spesies flora fauna  yang ditemukan selama ekspedisi. Beberapa jenis yang terindikasi spesies baru, dalam proses observasi dan penyusunan jurnal.

Pekerjaan setelah ekspedisi adalah proses tersendiri yang membutuhkan keheningan, ketekunan dan akan dihantui rasa jenuh setelah euforia perjalanan.

Sebagaimana pada awal disebutkan Sadatata ketika memulai Jelajah Cagar Alam Sapat Hawung, targetnya bukan hanya sekadar inventarisasi saja. Inventarisasi adalah capaian yang bisa diukur matematis. Ada target lain yaitu mengembangkan penelitian dan penjelajahan di wilayah-wilayah blank spot atau wilayah yang belum pernah dijelajahi.

“Menemukan spesies baru hampir pasti nemu, karena belum pernah dijelajahi. Yang tak kalah penting, kami ingin membangkitkan semangat para pemangku kewenangan. Ini loh yang belum kita kerjakan, belum cukup kita pahami. Yang menggoda para peneliti luar untuk eksplorasi lalu dipubliskasikan,” tandasnya.

Pertanyaan umum dari sebuah ekspedisi yang melibatkan tim besar dan waktu lama adalah pendanaan. Sejauh ini, belum ada alokasi dana khusus dari pemerintah pusat untuk kegiatan semacam ini. Sadtata mengatakan, ia menggunakan dana operasional yang ada dengan strategi penggunaan.

“Yang penting dana itu tidak untuk kepentingan pribadi saya, itu saja,” tambahnya. Misalnya, menggunakan dana patroli yang selama ini hanya digunakan untuk sekedar meninjau lapangan saja, ini bisa digabungkan dengan dana lain. Peruntukannya masih terealisasi, tapi bila digabungkan akan menjadi lebih besar jumlah dananya sehingga mampu membiayai perjalanan ini.

Ia berpikir lebih luas, strategi penggunaan dana lintas sektor untuk digabungkan dalam satu kegiatan besar. Misalnya, BKSDA punya kawasan konservasi, peneliti BRIN punya pekerjaan penelitian, harusnya bisa jalan bersama.

“Jadi penjelajahan dan penelitian Sapat Hawung menjadi pekerjaan pemerintah, bukan hanya BKSDA Kalteng saja. Pekerjaan ini bisa menjadi pekerjaan pemerintah pusat sehingga akan lebih banyak yang terlibat dengan hasil yang lebih optimal,” harapnya.

Sapat Hawung menuliskan sejarah samar tentang penjelajahan, apalagi inventarisasi flora fauna hutan. Semakin samar. Beberapa ekspedisi di sabuk Pegunungan Muller pernah dilakukan oleh LIPI pada kurun waktu 2003 – 2005 sebagaimana tertulis dalam Buku Pegunungan Muller, Warisan Dunia di Jantung Kalimantan.

Ekspedisi pertama pada 15 September-20 Oktober 2003 oleh 6 orang peneliti yang diketuai oleh Yuzami. Lokasi di perbatasan CA Sapat Hawung yaitu Balai Uru, Bukit Monang, DAS Sungai Sorang dan Balai Bajang.

Selanjutnya pada 30 Mei – 29 Juni 2004 dengan target Gunung Sapat Hawung yang ada di dalam kawasan cagar alam. Sulitnya medan menjadikan tim hanya mampu mencapai 16 jam jalan kaki dari Desa Tunjang, yaitu di Kawasan Dirung. Sedangkan tim eksplorasi gua memetakan speleologi dan biologi gua di Desa Tumbang Opus, Hulu Sungai Barito, sebagaimana dalam laporan Cahyo Rahmadi dan Yayuk R. Suhardjono, 2004.

Tim peneliti Jelajah Sapat Hawung 2023 (BKSDA Kalimantan Tengah)

Lokasi ekspedisi yang dilakukan oleh LIPI tersebut dimulai dari dari titik tengah Kalimantan Tengah, sama persis dengan rute ekspedisi yang dilakukan oleh BKSDA Kalteng. Hanya saja, ekspedisi LIPI belum sampai di kawasan CA Sapat Hawung. 

Untuk mencapai kawasan CA Sapat Hawung, masih membutuhkan 5-7 hari trekking dari  Desa Tumbang Olong sebagaimana yang dilakukan oleh tim ekspedisi BKSDA Kalteng. Dari Desa Tumbang Olong, menuju dari Desa Kelasin, desa terakhir, membutuhkan waktu 8 hari trekking untuk sampai di kawasan cagar alam.

Melihat catatan di atas, Cagar Alam Sapat Hawung masih menjadi terra incognita, belum terdokumentasikan. Bagi Kalimantan, hutan dan isinya adalah cara untuk memahami masyarakat. Selarik kalimat itu ditulis oleh Victor T. King, penyusun buku Kalimantan Tempoe Doeloe (2013).

Ia melanjutkan, kekuatan hutan terlalu besar sehingga kita tidak bisa tidak berpihak padanya. Manusia tidak bisa menghindar dari penguasaan hutan. Kalimantan didominasi oleh tumbuh-tumbuhan. Seluruh naluri kehidupan masyarakat mencerminkan hal ini. Untuk memahami masyarakat, harus merasakan keagungan hutan, bentuk dedaunan dan lengkungan liana yang saling berpilin.

Sampai jumpa di penjelajahan Kalimantan selajutnya.

.