Jelajah Cagar Alam Bukit Sapat Hawung 2023: Enigma Terra Incognita

By National Geographic Indonesia, Minggu, 3 Desember 2023 | 12:00 WIB
Medan yang cukup sulit menjadikan tantangan tersendiri bagi tim untuk menjelajah Cagar Alam Sapat Hawung. Medan melalui Sungai Barito yang berarus deras dan perbukitan yang terjal. (BKSDA Kalimantan Tengah)

Pertanyaan umum dari sebuah ekspedisi yang melibatkan tim besar dan waktu lama adalah pendanaan. Sejauh ini, belum ada alokasi dana khusus dari pemerintah pusat untuk kegiatan semacam ini. Sadtata mengatakan, ia menggunakan dana operasional yang ada dengan strategi penggunaan.

“Yang penting dana itu tidak untuk kepentingan pribadi saya, itu saja,” tambahnya. Misalnya, menggunakan dana patroli yang selama ini hanya digunakan untuk sekedar meninjau lapangan saja, ini bisa digabungkan dengan dana lain. Peruntukannya masih terealisasi, tapi bila digabungkan akan menjadi lebih besar jumlah dananya sehingga mampu membiayai perjalanan ini.

Ia berpikir lebih luas, strategi penggunaan dana lintas sektor untuk digabungkan dalam satu kegiatan besar. Misalnya, BKSDA punya kawasan konservasi, peneliti BRIN punya pekerjaan penelitian, harusnya bisa jalan bersama.

“Jadi penjelajahan dan penelitian Sapat Hawung menjadi pekerjaan pemerintah, bukan hanya BKSDA Kalteng saja. Pekerjaan ini bisa menjadi pekerjaan pemerintah pusat sehingga akan lebih banyak yang terlibat dengan hasil yang lebih optimal,” harapnya.

Sapat Hawung menuliskan sejarah samar tentang penjelajahan, apalagi inventarisasi flora fauna hutan. Semakin samar. Beberapa ekspedisi di sabuk Pegunungan Muller pernah dilakukan oleh LIPI pada kurun waktu 2003 – 2005 sebagaimana tertulis dalam Buku Pegunungan Muller, Warisan Dunia di Jantung Kalimantan.

Ekspedisi pertama pada 15 September-20 Oktober 2003 oleh 6 orang peneliti yang diketuai oleh Yuzami. Lokasi di perbatasan CA Sapat Hawung yaitu Balai Uru, Bukit Monang, DAS Sungai Sorang dan Balai Bajang.

Selanjutnya pada 30 Mei – 29 Juni 2004 dengan target Gunung Sapat Hawung yang ada di dalam kawasan cagar alam. Sulitnya medan menjadikan tim hanya mampu mencapai 16 jam jalan kaki dari Desa Tunjang, yaitu di Kawasan Dirung. Sedangkan tim eksplorasi gua memetakan speleologi dan biologi gua di Desa Tumbang Opus, Hulu Sungai Barito, sebagaimana dalam laporan Cahyo Rahmadi dan Yayuk R. Suhardjono, 2004.

Tim peneliti Jelajah Sapat Hawung 2023 (BKSDA Kalimantan Tengah)

Lokasi ekspedisi yang dilakukan oleh LIPI tersebut dimulai dari dari titik tengah Kalimantan Tengah, sama persis dengan rute ekspedisi yang dilakukan oleh BKSDA Kalteng. Hanya saja, ekspedisi LIPI belum sampai di kawasan CA Sapat Hawung. 

Untuk mencapai kawasan CA Sapat Hawung, masih membutuhkan 5-7 hari trekking dari  Desa Tumbang Olong sebagaimana yang dilakukan oleh tim ekspedisi BKSDA Kalteng. Dari Desa Tumbang Olong, menuju dari Desa Kelasin, desa terakhir, membutuhkan waktu 8 hari trekking untuk sampai di kawasan cagar alam.

Melihat catatan di atas, Cagar Alam Sapat Hawung masih menjadi terra incognita, belum terdokumentasikan. Bagi Kalimantan, hutan dan isinya adalah cara untuk memahami masyarakat. Selarik kalimat itu ditulis oleh Victor T. King, penyusun buku Kalimantan Tempoe Doeloe (2013).

Ia melanjutkan, kekuatan hutan terlalu besar sehingga kita tidak bisa tidak berpihak padanya. Manusia tidak bisa menghindar dari penguasaan hutan. Kalimantan didominasi oleh tumbuh-tumbuhan. Seluruh naluri kehidupan masyarakat mencerminkan hal ini. Untuk memahami masyarakat, harus merasakan keagungan hutan, bentuk dedaunan dan lengkungan liana yang saling berpilin.

Sampai jumpa di penjelajahan Kalimantan selajutnya.

.