Napoleon Bonaparte dan Kisah Cinta dengan Josephine yang Penuh Gejolak

By Sysilia Tanhati, Minggu, 10 Desember 2023 | 18:00 WIB
Dalam sejarah dunia, Napoleon Bonaparte dipuja sebagai pahlawan sekaligus tiran. Ia membawa Prancis bangkit dari puing-puing Revolusi menuju perdamaian dan stabilitas politik. Di sisi lain, hubungan asmaranya menarik perhatian banyak pihak hingga kini. (Jacques-Louis David )

Meski penuh badai dan manipulatif, hubungan asmara tersebut tidak mendorong kebijakan luar negeri Napoleon yang ekspansionis.

Seperti yang dikatakan Zamoyski, “Ambisi Napoleon pada dasarnya tidak bersifat militeristik. Dia lebih tertarik pada pemerintahan yang baik alih-alih memenangkan pertempuran. Dia percaya untuk melakukan sesuatu dengan baik. Dan ketika didorong ke dunia yang penuh perang, dia bertekad untuk menang.”

Penobatan dan perpisahan

Sebagai prasyarat untuk penobatan pasangan tersebut sebagai kaisar dan permaisuri pada tahun 1804, mereka menjalani upacara pernikahan keagamaan. Namun, pernikahan agama itu tidak memberikan jaminan rasa aman bagi Josephine. Pada tahun 1809, mereka bercerai karena kegagalannya menghasilkan ahli waris. Napoleon dengan tegas mendeklarasikannya bahwa perpisahan itu demi kepentingan terbaik Prancis.

Setelah itu, Napoleon memastikan Josephine mempertahankan gelar, akomodasi, dan tunjangannya. Ia kemudian menikah dengan Adipati Agung Marie-Louise dari Austria dan melahirkan ahli waris. Meski demikian, Napoleon tetap melakukan korespondensi dengan mantan istrinya.

Josephine terus mendukungnya hingga pengasingannya ke Elba pada bulan April 1814. Berita pengasingannya membuat hatinya patah. Ketika Josephine meninggal hanya beberapa minggu kemudian, kata-kata terakhirnya adalah “Bonaparte…Elba…Raja Roma.” Kata-kata tersebut memiliki kemiripan yang tajam dengan kata-kata terakhir Napoleon 7 tahun kemudian, ketika diasingkan di St Helena. “Prancis… tentara… panglima tentara… Josephine.”

Kisah Napoleon dan Josephine adalah kisah tentang dua individu yang mengalami disfungsi emosional. Keduanya lahir di tengah iklim revolusioner dan didorong dari ketidakjelasan ke panggung dunia.

Meskipun dorongan penaklukan Napoleon tidak muncul dari pernikahan yang penuh gejolak, kehadiran Josephine memperkuat daya tarik politiknya. Hubungan mereka jelas diguncang oleh perzinahan dari kedua belah pihak. Namun keduanya menemukan kekurangan dalam diri masing-masing, sehingga hal tersebut dapat berkembang menjadi rasa saling menghormati.

“Napoleon juga tidak pernah kehilangan kekagumannya terhadap gaya dan kecerdasan Josephine. Dia memercayai penilaiannya,” kata Zamoyski. Saat Napoleon benar-benar berkomitmen dan memberikan rasa aman, Josephine menjadi teman setia dan sumber kekuatan baginya.