Kemudian, kebudayaan berbeda di dunia Timur menghadirkan sistem kalender Tionghoa yang masih berlaku hari ini. Kalender Tionghoa dapat ditelusuri keberadaannya pada abad ke-14 SM tentang Kaisar Huang Di (Kaisar Kuning) dari tahun 2637 SM.
Sistem kalender Tionghoa kemudian sempat mengalami reformasi pada masa Dinasti Shang (abad ke-14 SM) dan Dinasti Zhou (abad ke-7 SM). Kalender ini bersifat lunar-solar dengan sistem matematika rumit yang membagi siklus matahari tahunan dan bulan.
Masyarakat Tionghoa membagi waktu astronomis melalui simbolisme binatang (shio) seperti tikus, lembu, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam jantan, anjing, dan babi. Shio ini berhubungan dengan cerita dewata dan legenda Huang Di menemukan sistem penanggalan.
Sementara di Amerika Tengah, bangsa Maya dan Aztek memiliki sejarah kalender dengan sistem yang menarik. Masing-masing penggunaannya sudah berlangsung sejak sekitar 750 SM dan 1000 SM.
Dasar sistem: 1 x 24 jam
Pada peradaban awal di Babilonia, Yahudi, dan Yunani, menghitung satu hari ditandai dari matahari terbenam hingga matahari terbenam. Sistem sejarah kalender ini serupa kalender bulan umat Islam (hijriah) di mana magrib (sekitar pukul 18.00 di lintang tropis) yang merupakan waktu terbenam matahari, merupakan tanda peralihan hari.
Basis sistem ini berbeda dengan yang dilakukan oleh peradaban India, Mesir, dan bangsa Romawi. Sistem kalender mereka menyebutkan peralihan hari terjadi pada tengah malam atau pukul 00.00.
Penanggalan juga dilakukan untuk kegiatan peribadatan yang diperkirakan sudah berlangsung sejak perkembangan agama. Misalnya, kekristenan awal mengadopsi jam kanoniknya sendiri untuk menghitung ibadah sehari-hari dalam tujuh jam, seperti matin, prime, terce, sexte, none, vespe, dan compline.
Begitu pula dalam peribadatan agama Islam yang mengatur subuh, zuhur, asar, magrib, dan isya. Namun secara sekuler, mereka menggunakan sistem waktu yang berlaku seperti kalender Gregorian.
Sejarah terkait penanggalan meyakini, sistem kalender modern seperti Gregorian menggunakan sistem 24 jam (2 x 12) yang di mana dalam satu hari ada malam dan siang, diwariskan dari penghitungan seksagesimal Sumeria.
Siang dan malam, oleh bangsa Babilonia, dibagi menjadi tiga waktu yang kemudian dipecah lagi menjadi setengah dan seperempat waktu. Dari sinilah, mereka membagi satu hari menjadi 12 unit yang sama yang disebut beru. Masing-masing unit ini terdiri dari 30 gesh.