Nationalgeographic.co.id—Leluhur kita di setiap peradaban menyadari bahwa benda-benda di langit bisa diprediksi terbit dan terbenamnya. Mereka pun mulai menghitung berapa lama kehadiran dan ketiadaan mereka di langit.
Hitungan itu pun memprediksi fenomena alam lainnya yang berkaitan seperti musim dan cuaca. Acap kali, benda langit seperti matahari, bulan, planet, dan bintang, dipetakan untuk menuntun jalan peradaban kuno leluhur kita.
Tidak jarang juga, karena penghitungan atas benda-benda langit punya momen yang sama dengan perubahan di alam dan lingkungan, leluhur peradaban kuno kita membumbuinya dengan mitos. Itu sebabnya, astrologi yang berhubungan dengan waktu tertentu dalam sejarah kalender diciptakan, walau seiring perkembangan zaman ditinggalkan.
Bagaimana pun, prediksi terhadap edar benda langit menciptakan sistem kalender yang berbeda-beda di setiap peradaban. Beberapa peradaban mengandalkan matahari, bulan, atau bintang untuk menciptakan sistem kalendernya masing-masing.
Kalender tertua dalam sejarah
Sistem kalender sangat penting bagi peradaban manusia. Pada masa awal sejarah kalender, komunitas peradaban manusia yang menetap perlu penanggalan yang menjadi penentu waktu kegiatan peribadatan agama, pesta atau festival, durasi politisi menjabat, dan cocok tanam atau panen pada pertanian.
Sejarah kalender dengan penghitungan kompleks diperkirakan muncul sejak zaman mesolitikum, berdasarkan temuan arkeolog. Para arkeolog pernah menjumpai susunan batu yang diperkirakan berfungsi untuk penghitungan waktu di situs Wurdi Youang, Australia, berumur 11.000 tahun. Kalender tertua berikutnya diketahui di Warren Field, Skotlandia yang berumur 10.000 tahun.
Namun, kalender pertama yang menggunakan rumus matematika yang matang berasal dari Zaman Perunggu di Timur Dekat kuno (Mesopotamia, Suriah, Palestina, dan Iran). Sistem kalender matematis diyakini muncul seiring dengan perkembangan sistem penulisan di Sumeria.
Sistem kalender kemudian berkembang di sekitar peradaban Timur Tengah seperti Mesir, Asyur, dan Elam. Kelak, sistem penghitungan mereka akan terwariskan hingga hari ini yang memiliki banyak basis penghitungan.
Mesir, sebagai salah satu peradaban kuno, memiliki sejarah kalender dengan sistem berdasarkan siklus bulan. Kemudian mereka beralih sistem berdasarkan letak Sirius, bintang besar yang berada di rasi bintang Canis Major.
Bangsa Mesir kuno menyadari bahwa bintang Sirius terbit di sebelah matahari setiap 365 hari yang sepantaran dengan periode di mana setiap tahunnya Sungai Nil menggenang. Dari sini, mereka menciptakan sistem kalender yang rumit yang dirancang untuk 365 hari. Sistemnya cukup rumit dan diperkirakan penggunaannya sejak 3100 SM.
Kemudian, kebudayaan berbeda di dunia Timur menghadirkan sistem kalender Tionghoa yang masih berlaku hari ini. Kalender Tionghoa dapat ditelusuri keberadaannya pada abad ke-14 SM tentang Kaisar Huang Di (Kaisar Kuning) dari tahun 2637 SM.
Sistem kalender Tionghoa kemudian sempat mengalami reformasi pada masa Dinasti Shang (abad ke-14 SM) dan Dinasti Zhou (abad ke-7 SM). Kalender ini bersifat lunar-solar dengan sistem matematika rumit yang membagi siklus matahari tahunan dan bulan.
Masyarakat Tionghoa membagi waktu astronomis melalui simbolisme binatang (shio) seperti tikus, lembu, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam jantan, anjing, dan babi. Shio ini berhubungan dengan cerita dewata dan legenda Huang Di menemukan sistem penanggalan.
Sementara di Amerika Tengah, bangsa Maya dan Aztek memiliki sejarah kalender dengan sistem yang menarik. Masing-masing penggunaannya sudah berlangsung sejak sekitar 750 SM dan 1000 SM.
Dasar sistem: 1 x 24 jam
Pada peradaban awal di Babilonia, Yahudi, dan Yunani, menghitung satu hari ditandai dari matahari terbenam hingga matahari terbenam. Sistem sejarah kalender ini serupa kalender bulan umat Islam (hijriah) di mana magrib (sekitar pukul 18.00 di lintang tropis) yang merupakan waktu terbenam matahari, merupakan tanda peralihan hari.
Basis sistem ini berbeda dengan yang dilakukan oleh peradaban India, Mesir, dan bangsa Romawi. Sistem kalender mereka menyebutkan peralihan hari terjadi pada tengah malam atau pukul 00.00.
Penanggalan juga dilakukan untuk kegiatan peribadatan yang diperkirakan sudah berlangsung sejak perkembangan agama. Misalnya, kekristenan awal mengadopsi jam kanoniknya sendiri untuk menghitung ibadah sehari-hari dalam tujuh jam, seperti matin, prime, terce, sexte, none, vespe, dan compline.
Begitu pula dalam peribadatan agama Islam yang mengatur subuh, zuhur, asar, magrib, dan isya. Namun secara sekuler, mereka menggunakan sistem waktu yang berlaku seperti kalender Gregorian.
Sejarah terkait penanggalan meyakini, sistem kalender modern seperti Gregorian menggunakan sistem 24 jam (2 x 12) yang di mana dalam satu hari ada malam dan siang, diwariskan dari penghitungan seksagesimal Sumeria.
Siang dan malam, oleh bangsa Babilonia, dibagi menjadi tiga waktu yang kemudian dipecah lagi menjadi setengah dan seperempat waktu. Dari sinilah, mereka membagi satu hari menjadi 12 unit yang sama yang disebut beru. Masing-masing unit ini terdiri dari 30 gesh.
Inilah yang kemudian menjadi mengisi angka-angka di jam modern di mana setengah jam adalah 30 menit, satu jam 60 menit, dan setengah hari adalah 12 jam.
Sementara, sistem penanggalan Tionghoa menentukan tanggal berdasarkan bulan baru dan mengikuti sistem duodesimal. Duodesimal ini berarti 10 hari setara dengan 10 matahari, dan 12 bulan sama dengan 12 bulan (lunar). Matahari dan bulan menjadi penting karena dalam sistem filosofis sebagai dualitas yin dan yang (pria dan wanita).
Di Amerika Tengah, suku Maya memiliki 20 sistem penanggalan yang tersebar di Amerika Tengah. 15 di antara sistem penanggalan Maya telah dipelajari dan memiliki sistem yang kompleks. Kalender mereka mengacu pada pergerakan matahari, bulan, planet dan bintang, masa panen, dan bahkan siklus kehidupan serangga.
Bangsa Aztek juga mengenal konsep satu tahun sama dengan 365 hari yang disebut xiuhpohualli untuk pertanian. Sistem lainnya yang dimiliki bangsa Aztek adalah kalender siklus ritual 260 hari yang disebut tonalpohuali (penghitungan hari) yang bersifat suci.
Xiuhpohualli dan tonalpohuali, pada waktu tertentu, beririsan dalam siklus yang membentuk "satuan abad" selama 52 tahun sekali yang membuatnya sebagai sistem unik dalam sejarah kalender.