10 Temuan Memukau Sepanjang 2023, Satu Tahun dalam Dunia Sains

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 29 Desember 2023 | 19:30 WIB
Gletser di Himalaya mencair dengan kecepatan yang luar biasa. Laporan ini menjadi salah satu dari 10 temuan memukau sepanjang 2023 yang semestinya menjadi pelajaran bagi umat manusia di masa depan. (Pixabay)

Nationalgeographic.co.id—Kurang dari satu pekan lagi, tahun 2023 akan berganti. Sepanjang tahun, para ilmuwan dari seluruh dunia menyingkap penemuan-penemuan memukau untuk ilmu pengetahuan dan manfaatnya bagi kehidupan di masa mendatang.

National Geographic Indonesia merangkum 10 temuan paling memukau sepanjang 2023 untuk Anda.

ChatGPT

Sejak dirilis akhir tahun lalu, ChatGPT dilaporkan memiliki kemajuan pesat sebagai perangkat lunak kecerdasan buatan. Aplikasi yang dapat digunakan oleh semua kalangan tersebut memiliki kemampuan dalam menanggapi pertanyaan medis daring.

Dalam penelitian terkait ChatGPT, para ilmuwan melaporkan, penjelasannya "mengungguli dokter manusia" dengan jawaban berdasarkan kualitas dan empati.

Meski demikian, potensi asisten kecerdasan buatan tersebut bukan berarti akan menggantikan dokter di masa depan. Perkembangan ini diyakini dapat merancang komunikasi dokter dengan pasien dengan cara yang tepat, mengingat tidak sedikit dokter yang memiliki kekurangan dalam menyampaikan komunikasi.

Bantuan AI: Senyawa anti-penuaan dan antibiotik pembasmi bakteri berbahaya

Perkembangan kecerdasan buatan pada 2023 juga diketahui dapat membantu memecahkan masalah medis. Dilaporkan melalui publikasi Mei lalu, teknologi yang dihadirkan Intergrated Biosciences berpotensi membantu dalam penelitian senyawa anti-penuaan, termasuk penelitian umur panjang atau awet muda.

Mei 2023, berkat kecerdasan buatan, para ilmuwan berhasil menemukan antibiotik baru yang dapat membunuh Acinetobacter baumannii yang sangat mematikan. 

A. baumannii merupakan bakteri yang dapat menginfeksi luka dan menyebabkan pneumonia. WHO menyebut, bakteri tersebut merupakan salah satu dari tiga bakteri sebagai ancaman kritis.

Seperti manusia, simpanse juga menopause

Seekor simpanse betina, Roxy, mengoleskan serangga pada luka di wajah simpanse jantan dewasa bernama Thea. Simpanse betina dapat hidup lebih lama dan juga mengalami fase menopause seperti manusia. Temuan terbaru membuka kemungkinan evolusi organ reproduksi pada manusia dan primata lainnya. (Tobias Deschner/ Ozouga chimpanzee project)

Telah sejak lama menjadi misteri bagi ilmuwan, mengapa kemampuan menopause bisa hadir dalam evolusi manusia. Mamalia lainnya yang mengalami serupa adalah kalangan lumba-lumba atau paus seperti paus bergigi (cetacea), yakni paus pembunuh (Orcinus orca) dan paus-pilot sirip-pendek (Globicephala macrorhynchus).

Demi membuka tabir fase pada organ reproduksi ini, para ilmuwan menyingkap bahwa simpanse juga mengalami menopause, berdasarkan pengamatan di Taman Nasional Kibale di Uganda. Studi yang diterbitkan pada 27 Oktober mengungkapkan bahwa simpanse akan mengalami menopause sekitar usia 50 tahun.

Angka usia ini juga menambah kuat tentang kekerabatan manusia dan simpanse dalam pohon evolusi. Diyakini, fase menopause muncul untuk mengurangi persaingan berkembang biak pada kelompok mamalia, khususnya primata. Hal itu perlu disingkap oleh para ilmuwan di waktu mendatang.

Kemampuan monyet membuat alat batu seperti manusia purba

Kepandaian memanfaatkan benda di sekitar sepertinya juga muncul pada primata selain manusia. Maret silam, para peneliti melaporkan temuan artefak yang dibuat oleh monyet dunia lama. Perkakas tersebut mirip seperti yang diyakini dibuat oleh hominid--kelompok manusia purba.

Dalam proses itu, monyet sering memecahkan batu dan pinggiran. Kumpulan batu pecah yang dihasilkan sangat besar dan tersebar luas di seluruh lanskap. Selain itu, banyak dari artefak ini memiliki karakteristik yang sama yang biasanya digunakan untuk mengidentifikasi perkakas batu yang sengaja dibuat di beberapa situs arkeologi paling awal di Afrika Timur.

Yang menarik adalah, dengan melakukan itu mereka secara tidak sengaja menghasilkan catatan arkeologi penting mereka. Catatan arkeologi monyet tersebut tidak dapat dibedakan dari beberapa artefak manusia purba. 

Alat-alat batu kera yang baru ditemukan menawarkan wawasan baru tentang bagaimana teknologi pertama mungkin dimulai pada nenek moyang kita yang paling awal.

Peluang transplantasi organ dari spesies lain

Selama tahun 2023, bidang kesehatan menyingkap peluang bertahan hidup dengan transplantasi organ dari spesies lain. Setahun sebelumnya, ilmuwan AS berhasil mentransplantasi jantung babi ke manusia. Meski demikian, upaya ini gagal karena pasien penerima organ meninggal dunia dua bulan setelahnya.

Titik terang harapan itu muncul tahun ini. Para ilmuwan dalam publikasi 11 Oktober melaporkan, transplantasi ginjal babi mini yang direkayasa secara genetika berhasil diterapkan kepada monyet. Tidak hanya sekadar transplantasi, monyet tersebut dapat bertahan lebih dari dua tahun.

Selama ini, banyak pasien yang meninggal dunia akibat kekurangan organ donor. Melalui temuan ini, harapan untuk transplantasi organ kepada manusia semakin nyata, dan memungkinkan memperpanjang harapan hidup.

Lukisan cadas Aborigin tentang kapal perang Maluku

Lukisan cadas yang ditemukan di sebuah gua di Australia utara. Lukisan itu mungkin menggambarkan kapal perang Maluku. (Flinders University)

Interaksi masyarakat kepulauan Indonesia dan Australia telah terjalin sejak jauh. Sebuah lukisan cadas di Awunbarna, Wilayah Utara, Australia, menggambarkan dua kapal atau perahu dari ratusan tahun silam.

Setelah ditelisik selama 50 tahun, para arkeolog mengetahui bahwa lukisan tersebut adalah kapal perang dari Maluku. Kapal tersebut memiliki ciri-ciri seperti bendera segitiga, panji-panji, dan hiasan haluan yang menunjukkan lambang militer.

Para arkeolog berpendapat, gambar ini mengisyaratkan bahwa mungkin telah terjadi "kekerasan fisik" antara masyarakat lokal (Aborigin) dan pengunjung dari jauh (Indonesia).

Rekor terendah pertumbuhan es laut Antarktika

Perubahan iklim yang tengah berlangsung menyulitkan pertumbuhan es di Antarktika. Laporan dari September 2023 mengungkapkan bahwa perluasan maksimum tahunan es laut di Antarktika hanya 16,96 juta kilometer persegi saja. Ini adalah pertama kalinya perluasan es laut di sana tidak lagi melampaui 17 juta kilometer persegi.

Rekor pertumbuhan es yang rendah diketahui sejak awal April. Berdasarkan pencatatan hingga pertengahan Agustus, pertumbuhan es laut melambat secara signifikan, mempertahankan selisih 1,5 juta kilometer dari rekor sebelumnya yang terjadi pada 1986.

Pencairan es tersembunyi di Pegunungan Himalaya

Diam-diam perubahan iklim mencairkan lebih banyak gletser di Pegunungan Himalaya dari yang diperkirakan sebelumnya. April silam, para peneliti mengungkapkan bahwa gletser Pegunungan Himalaya hilang karena keterbatasan pencitraan satelit untuk mendeteksi perubahan bawah air.

Dalam studi ini, para peneliti menemukan bahwa penilaian sebelumnya atas kehilangan total massa gletser yang berakhir menjadi air danau di Himalaya memakai penaksiran yang lebih rendah. Taksiran itu lebih rendah sebesar 6,5 persen.

Taksiran lebih rendah (underestimation) yang paling signifikan sebesar 10 persen terjadi di pusat Himalaya, wilayah yang pertumbuhan danau glasialnya paling cepat. Kasus yang sangat menarik adalah Galong Co di wilayah ini, dengan perkiraan yang terlalu rendah sebesar 65 persen.

Sampel dari tata surya kuno

Kapsul OSIRIS-REx yang membawa sampel dari asteroid Bennu. Asteroid tersebut mengandung material yang menjadi kunci tentang sejarah pembentukan tata surya dan kehidupan. (NASA/Keegan Barber)

Wahana antariksa milik NASA OSIRIS-REx mendarat di Utah, AS, pada September lalu. Kapsul yang dibawanya berisi sampel dari asteroid Bennu yang begitu menjanjikan untuk menyingkap masa awal tata surya dan pembentukan kehidupan di Bumi. Penelitian ini masih berlanjut oleh para ilmuwan di berbagai negara.

Meski demikian, misi wahana OSIRIS-REx belum berhenti. NASA berencana untuk mempelajari asteroid Apophis yang dijuluki "Dewa Kekacauan" yang mendekati Bumi. Rencananya, wahana tersebut akan bertemu dengan Apophis pada April 2029, tetapi tidak mendarat.

Kelak, penelitian terhadap batu "Dewa Kekacauan" ini akan memberikan pemahaman baru tentang susunan kimia yang terkandung di dalam batuan tersebut.

Gelombang besar dari ruang dan waktu

Untuk pertama kalinya, para ilmuwan mendeteksi gelombang gravitasi frekuensi rendah yang bergerak melalui galaksi. Gelombang kosmis ini mungkin dihasilkan dari lubang hitam supermasif yang berinteraksi dan menyatu pada jarak miliaran tahun cahaya. Temuan ini diungkap dalam laporan Juni silam.

Para peneliti berpendapat, temuan ini menunjukkan bahwa masa awal alam semesta memiliki jauh lebih banyak lubang hitam raksasa. Menyingkap lebih banyak tentang gelombang gravitasi jenis baru ini dapat memberikan wawasan tentang asal usul alam semesta beserta zat dan kekuatan kosmis yang menggeraknya.