Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa hilangnya gletser di Pegunungan Himalaya lebih besar daripada yang diperkirakan. Tingkat pencairan gletser di Himalaya ini sebelumnya terlalu diremehkan atau ditaksir terlalu rendah karena ketidakmampuan satelit untuk melihat perubahan gletser yang terjadi di bawah air, dalam hal ini di bawah danau-danau di Himalaya.
Laporan studi ini telah diterbitkan di jurnal Nature Geoscience pada 3 April 2023. Penelitian ini dilakukan oleh tim riset internasional yang mencakup para peneliti dari Chinese Academy of Sciences (CAS), Graz University of Technology (Austria), University of St. Andrews (Inggris), dan Carnegie Mellon University (Amerika Serikat).
Temuan studi ini memiliki implikasi penting bagi proyeksi hilangnya gletser dan sumber daya air di masa depan. Sebab, banyak gletser di Himalaya yang berakhir menjadi air danau.
Dalam studi ini para peneliti menemukan bahwa penilaian sebelumnya atas kehilangan total massa gletser yang berakhir menjadi air danau di Himalaya memakai penaksiran yang lebih rendah. Taksiran itu lebih rendah sebesar 6,5%.
Taksiran lebih rendah (underestimation) yang paling signifikan sebesar 10% terjadi di pusat Himalaya, wilayah yang pertumbuhan danau glasialnya paling cepat. Kasus yang sangat menarik adalah Galong Co di wilayah ini, dengan perkiraan yang terlalu rendah sebesar 65%.
Kekeliruan ini sebagian besar disebabkan oleh keterbatasan pencitraan satelit dalam mendeteksi perubahan bawah air, yang menyebabkan kesenjangan pengetahuan dalam pemahaman kita tentang hilangnya gletser sepenuhnya.
Dari tahun 2000 hingga 2020, danau proglasial di wilayah tersebut meningkat 47% jumlahnya, 33% luasnya, dan 42% volumenya.
Ekspansi ini mengakibatkan hilangnya massa gletser yang diperkirakan sekitar 2,7 Gt. Angka ini setara dengan massa 570 juta gajah, atau lebih dari 1.000 kali jumlah total gajah di dunia.
Nilai kehilangan gletser ini tidak diperhitungkan oleh penelitian sebelumnya karena data satelit yang digunakan hanya dapat mengukur permukaan air danau. Satelit tidak dapat mengukur es di bawah air yang tergantikan oleh air.
"Temuan ini memiliki implikasi penting untuk memahami dampak sumber daya air regional dan luapan banjir danau glasial," kata penulis utama studi ini, Zhang Guoqing dari Institute of Tibetan Plateau Research, CAS, seperti dikutip dari keterangan tertulis CAS.
Baca Juga: Asal-usul Pemberian Nama Everest pada Puncak Tertinggi di Dunia
Baca Juga: Es Tertua dari Pegunungan Alpen Menyimpan 10.000 Tahun Memori Iklim
Baca Juga: Bencana akibat Mencairnya Gletser Himalaya Itu Sudah Diwanti-wanti
Dengan memperhitungkan kehilangan massa gletser yang berakhir di danau, para peneliti dapat lebih akurat menilai keseimbangan massa tahunan gletser ini dibandingkan dengan gletser yang berkhir di daratan. Jadi metode perhitungan ini lebih menyoroti percepatan kehilangan massa gletser di Himalaya yang lebih besar.
Studi ini juga menyoroti perlunya memahami mekanisme yang mendorong hilangnya massa gletser dan perkiraan hilangnya massa gletser yang berakhir di danau secara global, yang diperkirakan sekitar 211,5 Gt, atau kira-kira 12%, antara tahun 2000 dan 2020.
“Ini menekankan pentingnya menggabungkan hilangnya massa di bawah air dari gletser yang berakhir di danau dalam perkiraan perubahan massa di masa depan dan model evolusi gletser, terlepas dari wilayah studinya,” kata anggota penulis studi ini, Tobias Bolch dari Graz University of Technology.
David Rounce dari Carnegie Mellon University, yang juga turut menjadi penulis dalam studi ini, mencatat bahwa dalam jangka panjang, kehilangan massa dari gletser yang berakhir di danau dapat terus menjadi kontributor utama kehilangan total massa sepanjang abad ke-21 karena gletser dengan kehilangan massa yang signifikan dapat menghilang lebih cepat dibandingkan dengan proyeksi yang ada.
“Dengan memperhitungkan kehilangan massa gletser secara lebih akurat, para peneliti dapat memprediksi dengan lebih baik ketersediaan sumber daya air di masa depan di wilayah pegunungan yang sensitif,” kata Yao Tandong, anggota penulis studi ini.
Tandong juga mengetuai Third Pole Environment (TPE), sebuah program sains internasional untuk interdisipliner studi tentang hubungan antara air, es, iklim, dan manusia di wilayah Himalaya dan sekitarnya. Program ini akan terus meneliti kondisi gletser dan air di wilayah itu untuk terus mendapatkan pemahaman lebih baik tentangnya.
Hasilkan Energi Melimpah dari Tenaga Angin, Skotlandia Siap Ekspor Hidrogen Besar-besaran
Source | : | Chinese Academy of Sciences |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR