Nationalgeographic.co.id—Di dunia para dewa dan dewi kuno, hanya sedikit yang menduduki tempat terhormat dalam sejarah seperti Dionysus. Dewa mitologi Yunani kuno yang dinamis ini mewujudkan esensi anggur, ekstasi, teater, dan pesta pora.
Dia adalah dewa tarian gembira dan pelindung orang gila. Sejarah tentang dewa amat menarik untuk ditelisik. Praktik pemujaan dan makna simbolisnya telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam lanskap budaya dan agama zaman dahulu.
Siapakah dewa yang sangat berbeda dengan dewa-dewa Yunani yang kejam dan serius itu?
Dionysus dan kisahnya yang dramatis dalam mitologi Yunani
Kisah asal-usul Dionysus penuh dengan drama mitologis. Ia secara tradisional dianggap sebagai putra Zeus, raja para dewa, dan Semele, seorang putri fana dalam mitologi Yunani.
Seperti banyak kekasih Zeus lainnya, Semele juga mengalami nasib tragis ketika memiliki hubungan asmara dengan raja para dewa itu. Hera, istri Zeus, iri dan curiga, memanipulasi Semele untuk menuntut Zeus mengungkapkan dirinya dalam kemuliaan ilahi.
Pemandangan luar biasa itu membuat Semele terbakar. “Untuk menyelamatkan Dionysus yang belum lahir, Zeus menjahit bayi prematur ke pahanya hingga saat kelahirannya,” tulis Aleksa Vuckovic di laman Ancient Origins.
Versi lain tentang dewa ini memberi tahu kita bahwa dia adalah seorang Thracia yang berkeliling dunia. Dionysus akhirnya tiba di Yunani sebagai orang asing dan tinggal di sana. Dalam beberapa catatan seperti itu, dia selalu dijuluki sebagai “orang asing”.
Hal ini mungkin menunjukkan bahwa pemujaan terhadap dewa ini awalnya bukan dari Yunani. Namun “dipinjam” dan diterima dari salah satu peradaban tetangga, kemungkinan besar dari bangsa Thracia.
Seiring berjalannya waktu, pemujaan terhadap Dionysus menjadi berakar kuat dalam budaya Yunani kuno. “Khususnya selama periode klasik dan Helenistik,” tambah Vuckovic. Kultus Dionysian, yang ditandai dengan ritual-ritualnya yang penuh kegembiraan dan pembebasan, mempunyai tempat penting dalam praktik keagamaan.
Festival paling terkenal yang didedikasikan untuk Dionysus adalah Dionysia, yang dirayakan di berbagai negara kota Yunani. Festival-festival ini mencakup banyak pesta minum, khususnya anggur, yang dianggap menginspirasi “kegilaan ilahi”, membawa kegembiraan, dan meringankan penderitaan seseorang.
Bagian penting lainnya dari festival ini adalah pertunjukan drama, yang memerankan banyak mitos seputar Dionysus. Pertunjukan ini adalah cikal bakal teater drama modern.
Dewa ekstasi dan mabuk dalam mitologi Yunani
Inti dari pemujaan Dionysus adalah misteri Dionysian—upacara rahasia dan inisiasi yang dilakukan di berbagai lokasi—termasuk di Athena dan Eleusis.
Partisipasi dalam misteri-misteri ini merupakan pengalaman transformatif, menjanjikan pemahaman yang lebih mendalam tentang ketuhanan dan misteri keberadaan.
Ritual melibatkan tarian, musik, dan konsumsi anggur, yang melambangkan persekutuan dengan dewa. Kerahasiaan seputar misteri menambah suasana mistik pada pemujaan terhadap Dionysus. Hal ini menumbuhkan rasa eksklusif dan berbagi pengetahuan spiritual di antara para pengikutnya.
Simbolisme Dionysus melampaui hubungannya dengan anggur dan pesta pora. Dia mewujudkan dualitas kehidupan. Di satu sisi, mewakili perayaan keberadaan yang menggembirakan. Di sisi lainnya, Dionysus mewakili aspek sifat manusia yang lebih gelap dan kacau.
Tirsusnya, tongkat yang dimahkotai dengan biji pinus, berfungsi sebagai simbol kesuburan dan transformasi.
Persamaan antara Dionysus dan tokoh mitologi lainnya juga patut diperhatikan. Dalam panteon Romawi, Dionysus menemukan padanannya pada Bacchus, dewa anggur dan pesta pora.
Selain itu, dewa Mesir Osiris memiliki kesamaan dengan Dionysus, khususnya dalam kaitannya dengan kebangkitan dan siklus kehidupan.
Pengaruh dewa ini melampaui lingkup mitologi Yunani. Kehadirannya terlihat jelas dalam seni, khususnya teater Yunani kuno. Drama yang dipentaskan pada masa Dionysia mengeksplorasi kompleksitas pengalaman manusia.
Drama ini sering kali menggali keilahian dan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan, menggemakan tema-tema yang melekat dalam pemujaan terhadap Dionysus.
Tembikar dari dunia Yunani kuno sering kali menampilkan adegan-adegan dari drama yang dipentaskan pada masa Dionysia. Penggambaran ini memberikan wawasan tentang kostum, topeng, dan konvensi teater pada masa itu.
Ekstasi, misteri, dan portal ke dimensi baru
Representasi artistik Dionysus berlimpah dalam seni Yunani dan Romawi kuno. Dalam seni pahat, ia sering digambarkan sebagai sosok muda yang dihiasi karangan bunga ivy atau daun anggur.
Prosesi Dionysian, yang dikenal sebagai “pembawa Thyrsus”, adalah motif yang populer. Prosesi itu menampilkan para penyembah membawa thyrsus dan terlibat dalam tarian gembira.
Dalam sastra, Dionysus menjadi inspirasi untuk tema-tema pembebasan, pemberontakan, dan pencarian pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan.
Arketipenya dapat diidentifikasi dalam karakter yang menantang norma-norma masyarakat dan merangkul aspek-aspek sifat manusia tanpa hambatan. Hubungannya dengan ekstasi dan kegilaan ritual memungkinkan eksplorasi tema-tema yang lebih tabu dan alam imajinatif.
Bahkan setelah berabad-abad, Dionysus berdiri sebagai sosok yang memiliki banyak segi dan abadi. Pengaruhnya bahkan melampaui batas-batas mitologi Yunani kuno.
Dari ritual pemujaan yang luar biasa hingga drama, Dionysus meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam lanskap budaya, seni, dan filosofis. Semua itu mengundang perenungan akan kompleksitas yang melekat dalam kondisi manusia.