Jejak Kelam Visha Kanya: Selidik Kisah Perawan Beracun dari India

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 3 Februari 2024 | 09:00 WIB
Lukisan perempuan beracun dari Gua Ajanta, India. (Jean-Pierre Dalbéra)

Banyak dari para calon pembunuh ini yang mati selama pelatihan. Sememtara itu, mereka yang berhasil menjadi kebal terhadap berbagai racun akan menjadi senjata karena cairan tubuh mereka menjadi sangat beracun bagi orang lain.

“Seperti yang bisa Anda tebak dengan mudah, setiap kontak, terutama kontak seksual, berakibat fatal bagi para pria yang bernasib sial untuk tidur dengan mereka,” ungkap Theodoros.

Visha Kanya bekerja dengan cara mendekati target dan memberinya alkohol beracun. Mereka biasanya akan minum dari cangkir beracun tersebut untuk mendapatkan kepercayaan dari korban mereka. Ketika korban yang tidak menaruh curiga akan minum dari cangkir yang sama, ia akan menelan dosis ganda racun ke dalam tubuhnya.

Dalam sumber-sumber Sanskerta lain, disebutkan bahwa seorang Visha Kanya dikirim oleh menteri Nanda untuk membunuh Chandragupta Maurya. Namun, Chanakya, penasihat Chandragupta, dikatakan berhasil menggagalkan rencana tersebut

Tentu saja, masalah dari semua cerita ini adalah kebenarannya, sebab tidak ada sumber sejarah yang memverifikasi semua cerita ini. Mereka juga tidak memiliki verifikasi dari sumber-sumber sejarah lainnya.

Thuggee, Sekte Pembunuh Bayaran di India

Sekelompok preman mencekik seorang pelancong di sebuah jalan raya di India pada awal abad ke-19 (Public Domain/Wikimedia Commons)

Sebagai perbandingan dari Visha Kanya yang kisahnya diragukan dalam sejarah, Thuggee adalah sebuah kelompok pembunuh profesional di India. 

Beroperasi pada  abad ke-13 hingga abad ke-19, Thuggee dikenal sangat brutal dalam menghabisi targetnya.

Para Thuggee bekerja dengan bergabung bersama kelompok-kelompok pelancong. Awalnya mereka akan berusaha mendapat kepercayaan dari korbanya, sebelum kemudian melakukan serangan yang mengejutkan.

Theodoros menjelaskan, di malam hari, mereka biasanya mencekik sang korban dengan saputangan atau jerat, “metode yang cepat dan tenang, yang tidak meninggalkan darah dan tidak memerlukan senjata khusus.”

Setelah korban sudah tak berdaya, para Thuggee kemudian “merampok korban mereka dan menguburnya dengan hati-hati.”