Jejak Kelam Visha Kanya: Selidik Kisah Perawan Beracun dari India

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 3 Februari 2024 | 09:00 WIB
Lukisan perempuan beracun dari Gua Ajanta, India. (Jean-Pierre Dalbéra)

Nationalgeographic.co.id—Bahkan satu sentuhan saja bisa membunuh. Visha Kanya adalah wanita muda beracun yang bekerja sebagai algojo di India kuno. Setiap kontak dengan para wanita beracun ini berarti kematian.

Namun, tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti di mana kebenaran berakhir dan mitos dimulai. Kisah mereka bercampur aduk dengan cerita rakyat masyarakat. Hampir mustahil bagi sejarawan modern untuk mengetahui apakah mereka nyata atau tidak. 

Sang Perawan Beracun

Visha Kanya bermula ketika para Raja India kuno melatih para gadis untuk menjadi pembunuh sejak usia dini. Secara bertahap, mereka diberi berbagai jenis racun untuk membuat mereka kebal terhadap efek mematikan.

Pada saat mereka mencapai usia pubertas, gadis-gadis ini akan benar-benar beracun dan siap untuk digunakan sebagai senjata manusia yang mematikan.

Raja yang memerintahkan proses khusus ini kemudian dapat menggunakan para pembunuh bayaran ini untuk melawan musuh-musuhnya yang paling kuat. 

Salah satu legenda mengatakan bahwa Aristoteles telah memperingatkan Alexander Agung tentang bahaya "gadis-gadis berbisa" sebelum ia meluncurkan operasi militer ke India.

Legenda India lainnya bahkan menyatakan bahwa Aleksander Agung meninggal karena memeluk Visha Kanya yang diberikan kepadanya sebagai piala oleh Raja Porus yang kalah.

Tokoh Sejarah atau Legenda yang Dilebih-lebihkan?

Menurut sejarawan Theodoros Karasavvas, dikutip dari laman Ancient Origins, Visha Kanya pertama kali disebutkan dalam risalah India kuno tentang ketatanegaraan, Arthashastra, yang ditulis oleh Chanakya.

Selain itu, kita juga bisa menemui Visha Kanya dalam literatur sanskerta, yang digambarkan sebagai jenis pembunuh andalan para raja untuk menghabisi musuh-musuh mereka.

Menurut cerita-cerita ini, Theodoros menjelaskan, “gadis-gadis muda dibesarkan dengan … [mengonsumsi] racun dan penawar racun yang dibuat dengan hati-hati sejak usia dini, sebuah teknik yang dikenal sebagai mithridatisme.”

Banyak dari para calon pembunuh ini yang mati selama pelatihan. Sememtara itu, mereka yang berhasil menjadi kebal terhadap berbagai racun akan menjadi senjata karena cairan tubuh mereka menjadi sangat beracun bagi orang lain.

“Seperti yang bisa Anda tebak dengan mudah, setiap kontak, terutama kontak seksual, berakibat fatal bagi para pria yang bernasib sial untuk tidur dengan mereka,” ungkap Theodoros.

Visha Kanya bekerja dengan cara mendekati target dan memberinya alkohol beracun. Mereka biasanya akan minum dari cangkir beracun tersebut untuk mendapatkan kepercayaan dari korban mereka. Ketika korban yang tidak menaruh curiga akan minum dari cangkir yang sama, ia akan menelan dosis ganda racun ke dalam tubuhnya.

Dalam sumber-sumber Sanskerta lain, disebutkan bahwa seorang Visha Kanya dikirim oleh menteri Nanda untuk membunuh Chandragupta Maurya. Namun, Chanakya, penasihat Chandragupta, dikatakan berhasil menggagalkan rencana tersebut

Tentu saja, masalah dari semua cerita ini adalah kebenarannya, sebab tidak ada sumber sejarah yang memverifikasi semua cerita ini. Mereka juga tidak memiliki verifikasi dari sumber-sumber sejarah lainnya.

Thuggee, Sekte Pembunuh Bayaran di India

Sekelompok preman mencekik seorang pelancong di sebuah jalan raya di India pada awal abad ke-19 (Public Domain/Wikimedia Commons)

Sebagai perbandingan dari Visha Kanya yang kisahnya diragukan dalam sejarah, Thuggee adalah sebuah kelompok pembunuh profesional di India. 

Beroperasi pada  abad ke-13 hingga abad ke-19, Thuggee dikenal sangat brutal dalam menghabisi targetnya.

Para Thuggee bekerja dengan bergabung bersama kelompok-kelompok pelancong. Awalnya mereka akan berusaha mendapat kepercayaan dari korbanya, sebelum kemudian melakukan serangan yang mengejutkan.

Theodoros menjelaskan, di malam hari, mereka biasanya mencekik sang korban dengan saputangan atau jerat, “metode yang cepat dan tenang, yang tidak meninggalkan darah dan tidak memerlukan senjata khusus.”

Setelah korban sudah tak berdaya, para Thuggee kemudian “merampok korban mereka dan menguburnya dengan hati-hati.”

Kadang-kadang anak-anak dari para pelancong yang terbunuh dipersiapkan untuk menjadi anggota, karena kehadiran anak-anak akan membantu menghilangkan kecurigaan korban selanjutnya.

Thuggee yang Menyembah Kalee (1850) (Public Domain/Wikimedia Commons)

Kejahatan mereka melibatkan kerja sama tim dan koordinasi tingkat tinggi baik selama fase infiltrasi maupun pada saat penyerangan. 

“Setiap anggota geng memiliki fungsi khusus: seperti memikat para pelancong dengan kata-kata yang menawan, bertindak sebagai pengintai, atau mengambil peran sebagai pembunuh,” jelas Theodoros.

Menurut Guinness Book of Records, para pembunuh ini bertanggung jawab atas sekitar dua juta kematian. Namun perkiraannya sangat bervariasi, karena tidak ada sumber yang dapat dipercaya untuk memastikan kapan praktik ini pertama kali dimulai.

Para pembunuh Thuggee akhirnya ditumpas oleh pihak berwenang Inggris di India pada tahun 1830-an, setelah penerapan Undang-Undang Penindasan Thuggee dan Dacoity, yang menyatakan:

"Dengan ini diberlakukan, bahwa siapa pun yang terbukti menjadi anggota, baik sebelum atau setelah disahkannya Undang-Undang ini, dari setiap kelompok penjahat, baik di dalam atau di luar Wilayah Perusahaan Hindia Timur, akan dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup, dengan kerja paksa."

Sejumlah strategi diterapkan untuk membantu keberhasilan undang-undang baru ini, termasuk insentif bagi anggota komplotan untuk menyerahkan rekan-rekan mereka.