Nationalgeographic.co.id—Para calon wakil presiden beradu gagasan dan argumen dalam Debat Pilpres 2024 Keempat, Minggu, 21 Januari 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. Debat kali ini mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
Sebagai salah satu topik bahasan, kalangan adat memiliki peran penting dalam penanggulangan krisis iklim, namun keberadaannya rentan akibat pembangunan.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menanggapi visi dan misi, serta apa yang dijanjikan para kandidat dari debat para cawapres kemarin. Dia juga menjadi salah satu panelis dalam acara Debat Pilpres 2024 keempat yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Mereka juga itu adalah calon pemimpin bangsa kita ke depan. Jadi mereka wajib—terlepas dari siapa mereka mereka—wajib peduli dan memprioritaskan masyarakat adat karena kami masyarakat adat juga rakyat indonesia," kata Rukka saat dihubungi National Geographic Indonesia.
Tobat Ekologis Cak Imin
Rukka menyoroti perkataan calon wakil presiden dari nomor urut 01 Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengenai kritik terhadap pemerintah hari ini. Cak Imin mengungkapkan, baju adat sekadar dipakai pemerintah setahun sekali, seperti upacara peringatan hari kemerdekaan pada 17 Agustus.
Pemakaian baju adat itu terkesan seremonial dan menunjukkan sikap pemerintah yang terkesan menghargai komunitas adat secara visual. Namun, nyatanya, sikap pemerintah yang ada saat ini tidak memberikan perhatian dan mengakui hak masyarakat adat.
"Menurut saya," terang Rukka "kalau yang paham konteks tentang baju adat itu pasti tahu rasanya, bagaimana baju adat digunakan hanya sebagai hiasan yang superfisial dipermukaan."
Akan tetapi, yang perlu dikritisi dari Cak Imin adalah mengenai "tobat ekologis." Rukka mempertanyakan apakah tobat yang dimaksud juga termasuk pemulihan masyarakat adat dan memperkuat perannya dalam konservasi, termasuk secara hukum.
Masyarakat adat punya kemampuan dalam pemulihan lingkungan seperti sasi (masa di mana suatu kawasan tidak boleh dimanfaatkan), dan ritual yang berhubungan pelestarian alam lainnya. Oleh karena itu, rencana perbaikan lingkungan "tobat ekologis" memerlukan pendalaman.
Dalam pengamatan Rukka di AMAN, pasangan Anies dan Muhaimin dalam visi dan misinya lebih banyak berbicara tentang perlindungan hak dasar seperti air bersih, pangan, pendidikan, dan fasilitas kesehatan.
"Sebenarnya, kalau sepanjang wilayah adat tidak diinvasi oleh pembangunan, maka yang kayak gini (kebutuhan dasar) enggak perlu siap sedia oleh pemerintah."
Pasangan Anies dan Muhaimin juga lebih banyak berbicara tentang penyederhanaan proses administrasi legal formal masyarakat adat, program satu peta, dan partisipasi dalam pembangunan, termasuk pembangunan berdasarkan kearifan lokal.
Kriminalisasi adat dan lumbung pangan
Sementara pada pasangan calon nomor urut 02, program terkait masyarakat adat tidak begitu banyak dibahas dalam visi dan misinya. Dalam debat, calon wakil presiden pasangan ini, Gibran Rakabuming Raka, berupaya mendorong RUU Masyarakat Adat dan perbanyak dialog.
Rukka mencatat, dalam debat, Gibran memberikan fakta yang salah mengenai 1,5 juta hektare hutan adat diakui negara. Nyatanya, dalam laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah Indonesia baru mengakui hutan adat sekitar 836.141 hektare.
Ada pun berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang hendak dilanjutkan oleh pasangan Prabowo-Gibran memiliki tujuan transisi energi menjadi terbarukan.
Namun, terang Rukka, banyak PSN yang nyatanya melakukan peminggiran masyarakat adat. Ia memberi contoh seperti yang terjadi di Waduk Lambo, Nusa Tenggara Timur. Tidak jarang, dalam membela diri, masyarakat adat dikriminalisasi.
Meski mendukung RUU Masyarakat Adat, pasangan Prabowo-Gibran yang diketahui akan melanjutkan program pemerintah hari ini sangat dikritisi. Rukka mencatat, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui program Nawacita telah gagal melindungi masyarakat adat.
AMAN mencatat setidaknya sekitar 8,5 juta hektare tanah adat yang dirampas, 672 kriminalisasi masyarakat adat. Konflik dengan masyarakat adat lainnya yang dilaporkan ke AMAN juga termasuk adu domba, intimidasi, dan elite capture.
Kemudian, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming mencanangkan program lumbung pangan (food estate). Program yang telah berjalan ini mendulang kritikan dari berbagai pihak mengenai isu lingkungan dan masyarakat adat. Gibran menggemborkan keberhasilan program lumbung pangan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
"Itu wilayah adat semua. Itu bahkan ada hutan justru ditebang untuk dijadikan food estate. Yang jelas itu sudah terjadi perampasan wilayah adat di sana dan masalah ekologis bisa kebayang, kalau hutan itu ditebang dan dijadikan tempat untuk menanam monokultur seperti jagung dan singkong. Itu sudah terbuktikan di Kalimantan ini," tuturnya.
Reformasi hukum untuk adat, mungkinkah?
Calon wakil presiden nomor urut 03, Mahfud MD berencana untuk memulihkan peran masyarakat adat. Dia, bersama calon presiden Ganjar Pranowo, berencana mendisiplinkan strategi pemerintah dan aparat penegak hukum di lapangan terkait isu lingkungan dan masyarakat adat.
Kepada masyarakat adat, Mahfud MD juga berjanji untuk memenuhi kebutuhan administrasi seperti KTP yang kerap menjadi hambatan. Dengan cara ini, pasangan ini hendak menyelesaikan permasalahan kepemilikan tanah yang kerap tumpang tindih antara tambang, hutan tanaman industri (HTI), dan milik masyarakat adat.
Menurut Rukka, rencana ini bisa menjadi pintu masuk yang efektif untuk memulihkan masyarakat adat. Belum lagi, Mahfud diketahui pernah terlibat dalam Putusan MK No. 35 tahun 2012 yang membedakan antara hutan adat dan hutan negara.
Hanya saja, rencana pemulihan peran masyarakat adat yang ada ini cukup berat sehingga memerlukan reformasi hukum. "Jadi, kalau Ganjar dan Mahfud ingin memperbaiki situasi carut-marut hukum dan perizinan legalitas dan apa yang legal maupun ilegal, memang enggak ada pilihan lain selain merevisi Undang-undang Cipta Kerja," kata Rukka.
"Itu yang tidak mereka sebutkan tadi malam. Padahal kata kunci itu yang semestinya di-mention," tambahnya. "Kalau bisa dilaksanakan, bereskan pengakuan Undang-Undang Masyarakat Adat, bikin kelembagaannya, kemudian reformasi hukum dan bereskan perizinan itu."
Belum lagi, Ganjar yang sebelumnya adalah gubernur Jawa Tengah menghadapi isu pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Selama 2013-2016, masyarakat adat Sedulur Sikep yang tinggal di sekitar pegunungan tersebut menolak keberadaan pabrik semen.
Namun, Ganjar berdalih bahwa polemik pabrik semen terjadi karena arahan dari pemerintah pusat. Dia juga menyebutkan bahwa izin pabrik tersebut sudah ada sebelum dirinya menjabat gubernur. Padahal, sebagai gubernur, dirinya bisa berpihak kepada masyarakat adat untuk mencabut perizinan di pengadilan.
Rukka mengharapkan, dengan terwujudnya penguatan adat seperti melalui RUU Masyarakat Adat bisa berdiri lembaga independen dan permanen. Lembaga ini menjadi komisi nasional yang diharapkan membantu pemerintah untuk menerapkan upaya pemberdayaan hak masyarakat adat.
Bukan Sekadar Janji Pemilu
Lebih lanjut, Rukka menginginkan berbagai komitmen dan janji yang ditawarkan dalam visi, misi, kampanye, dan debat para kandidat, harus diterapkan. Perubahan nasib masyarakat adat sangat dibutuhkan melalui hukum yang lebih berpihak, dan merevisi peraturan yang mendiskriminasi.
"Perizinan-perizinan yang ada di atas wilayah adat, praktik-praktik ilegal di wilayah adat yang sudah menghancurkan nasib masyarakat adat, bereskan, dikembalikan ke masyarakat adat, dan masyarakat adat dipulihkan. Jelas, masyarakat adat tidak ingin lagi menjadi korban pembangunan negeri ini," pungkas Rukka.