Temuan Surat Amarna Milik Firaun, Ungkap Politik-Agama Mesir Kuno

By Hanny Nur Fadhilah, Minggu, 28 Januari 2024 | 14:30 WIB
Surat Amarna, kumpulan tablet tanah liat di sejarah Mesir kuno. Benda ini ditemukan di Amarna, ibu kota yang dibangun Firaun Akhenaten. (Public domain)

Nationalgeographic.co.id – Surat Amarna adalah kumpulan tablet tanah liat yang ditulisi tulisan paku dalam sejarah Mesir kuno. Ditemukan pada akhir abad ke-19 di Amarna, ibu kota yang dibangun oleh Firaun Akhenaten.

Tablet-tablet ini memberikan gambaran mendetail tentang dinamika politik, ekonomi, dan sosial pada Akhir Zaman Perunggu, khususnya di kalangan kerajaan-kerajaan kuat dan negara-negara berkembang. 

Kapan Surat Amarna Ditulis?

Surat Amarna terkait erat dengan Periode Amarna di Mesir kuno, masa perubahan politik dan agama yang mendalam.

Periode ini berlangsung kira-kira dari tahun 1353 SM hingga 1336 SM, ditandai dengan pemerintahan Firaun Akhenaten, yang sebelumnya dikenal sebagai Amenhotep IV.

Akhenaten paling terkenal karena transformasi radikalnya terhadap agama Mesir, mengalihkan fokus dari dewa-dewa tradisional ke penyembahan satu dewa Aten.

Revolusi agama ini mempunyai konsekuensi yang luas. Tidak hanya dalam bidang spiritual tetapi juga dalam aspek politik dan administratif kerajaan Mesir.

Pada tahun kelima pemerintahannya, sekitar tahun 1348 SM, Akhenaten mendirikan ibu kota baru, Akhetaten, yang sekarang dikenal sebagai Amarna.

Kota yang terletak di Mesir Tengah ini menjadi pusat ibadah Aten dan jantung politik Mesir pada masa pemerintahannya.

Pembangunan Amarna menandakan pergeseran signifikan dari pusat kekuasaan tradisional dan menjadi perwujudan fisik reformasi agama dan administrasi Akhenaten.

Periode Amarna bertepatan dengan masa pergolakan dan perubahan besar internasional di Timur Dekat kuno. Era ini menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan beberapa kerajaan dan negara kota yang signifikan.

Surat-surat Amarna, yang berasal dari sekitar tahun 1360 SM hingga 1330 SM, memberikan gambaran tentang periode yang penuh gejolak.

Mereka mengungkap kompleksitas hubungan diplomatik antara Mesir dan negara-negara tetangganya, termasuk Kekaisaran Het, Babilonia, Asyur, Mitanni, dan berbagai negara kota Kanaan.

Korespondensi ini menunjukkan bagaimana Mesir mengarahkan kebijakan luar negerinya dan mempertahankan pengaruhnya terhadap negara-negara bawahannya selama masa persaingan dan konflik regional.

Surat Amarna terdiri dari lempengan tanah liat bertuliskan paku, sistem penulisan yang banyak digunakan di Timur Dekat kuno.

Koleksi ini terdiri dari sekitar 380 tablet, kondisinya bervariasi dari lengkap hingga terpisah-pisah dalam catatan sejarah Mesir kuno.

Bahasa yang paling banyak digunakan dalam surat-surat ini adalah Akkadian. Bahasa ini merupakan lingua franca diplomatik pada saat itu, meskipun beberapa tablet juga menggunakan bahasa dan aksara lain, termasuk Hurrian dan Het.

Secara fisik, tablet ini berukuran kecil, sebagian besar seukuran smartphone modern, meski ada pula yang lebih besar.

Mereka terbuat dari tanah liat, yang meskipun masih lentur, ditulisi dengan stylus buluh. Setelah penulisan selesai, tablet-tablet tersebut dikeringkan, sehingga teksnya terawetkan selama ribuan tahun.

Aksara yang digunakan adalah tulisan paku, yang ditandai dengan tanda-tandanya yang berbentuk baji, yang ditempelkan pada tanah liat.

Bentuk tulisan ini cocok untuk berbagai bahasa di dunia kuno dan merupakan media untuk beragam teks, mulai dari literatur hingga dokumen hukum.

Isi Surat Amarna dalam Sejarah Mesir Kuno

Sebagian besar bersifat diplomatik, mencakup berbagai topik yang mengungkapkan keprihatinan dan prioritas para penguasa kuno dan negara mereka. 

Sebagian besar surat-surat tersebut berisi permintaan bantuan dan dukungan militer, yang mencerminkan iklim politik bergejolak pada saat itu.

Para raja dan penguasa lokal sering kali meminta bantuan untuk melawan pemberontakan atau ancaman dari luar. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya dan tidak stabilnya aliansi politik dan penguasaan wilayah di wilayah tersebut. 

Hubungan perdagangan dan ekonomi juga menjadi tema menonjol dalam Surat Amarna. Mulai dari diskusi tentang pertukaran barang, hadiah, dan upeti, yang menyoroti sifat saling berhubungan perekonomian kuno.

Emas, khususnya, sering disebutkan karena mencerminkan nilai dan statusnya yang tinggi sebagai komoditas utama dalam pertukaran diplomatik.

Diskusi ini memberikan wawasan mengenai praktik ekonomi dan prioritas peradaban kuno, serta peran perdagangan dalam mempertahankan dan memperkuat hubungan diplomatik.

Tema lain yang berulang dalam Surat Amarna adalah perundingan pernikahan antar keluarga kerajaan. Aliansi ini penting untuk membangun dan memperkuat ikatan politik antara berbagai negara bagian dan wilayah.

Surat-surat tersebut sering kali merinci negosiasi mengenai mahar dan implikasi politik dari perkawinan tersebut, yang menunjukkan bagaimana pernikahan digunakan sebagai alat strategis dalam diplomasi kuno.

Bagaimana Surat Amarna Ditemukan Kembali?

Penemuan pertama tablet ini terjadi pada tahun 1887 di situs Amarna, sebuah kota Mesir kuno yang pada zaman kuno dikenal sebagai Akhetaten.

Kota ini, yang didirikan oleh Firaun Akhenaten sekitar tahun 1346 SM, menjadi ibu kota baru dan pusat reformasi agamanya. 

Situs ini sebagian besar ditinggalkan setelah kematiannya, sehingga tablet-tablet tersebut terpelihara di reruntuhan dalam sejarah Mesir kuno.

Penemuan ini dilakukan oleh seorang wanita setempat yang menemukan tablet-tablet tersebut di sisa-sisa bekas pusat administrasi kota.

Penggalian selanjutnya, yang awalnya dipimpin oleh pedagang barang antik lokal dan kemudian oleh para arkeolog, menemukan sebagian besar Surat Amarna. 

Tablet-tablet itu ditemukan di tempat yang tampaknya merupakan sisa-sisa arsip kota, yang merupakan harta karun berupa korespondensi diplomatik. 

Penggalian Surat Amarna memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bidang Egyptology dan arkeologi Timur Dekat.

Sebelum penemuan ini, hubungan diplomatik dan lanskap politik pada Zaman Perunggu Akhir tidak dipahami dengan baik.

Surat-surat tersebut membuka jendela baru ke dalam periode ini, menawarkan laporan langsung tentang interaksi antara Mesir dan negara-negara tetangganya.