Tanis, Kota yang Ditinggalkan Dulunya Pusat Agama Sejarah Mesir Kuno

By Hanny Nur Fadhilah, Senin, 29 Januari 2024 | 13:00 WIB
Tanis, kota yang hilang sebagai pusat keagamaan di sejarah Mesir kuno kini ditemukan kembali. (Public domain)

Nationalgeographic.co.id—Tanis pernah menjadi kota metropolitan yang berkembang dan pusat keagamaan penting di sejarah Mesir kuno. Namun, hilangnya kota tersebut serta misteri seputar lokasinya telah menjadikannya bahan spekulasi dan perdebatan di kalangan sejarawan dan arkeolog.

Tanis kini terkubur di bawah lapisan pasir dan waktu, kemegahannya berubah menjadi reruntuhan. Kuil, istana, dan makamnya menjadi saksi kehidupan dan kematian beberapa firaun paling berpengaruh di sejarah Mesir kuno.

Tanis dikenal dengan banyak nama. Orang Mesir kuno menyebutnya sebagai Djanet. Dalam Alkitab Ibrani, disebut sebagai Zoan.

Terletak di delta Nil di timur laut, kota ini pernah menjadi ibu kota pada Dinasti ke-19 dan 21, periode waktu yang berlangsung dari abad ke-13 hingga ke-8 SM

Lokasi kota yang strategis di dekat Laut Mediterania dan Sungai Nil menjadikannya pusat perdagangan yang ramai.

Kota ini juga merupakan pusat keagamaan penting, yang menampung kuil dewa Amun, salah satu dewa terpenting dalam jajaran dewa Mesir.

Kemegahan kota tercermin dalam arsitekturnya, dengan kuil, istana, dan makam megah menghiasi lanskapnya. 

Tanis adalah rumah bagi beberapa firaun berpengaruh, termasuk Psusennes I dan Shoshenq I, yang berperan penting dalam membentuk lanskap budaya dan politik kota.

Pemerintahan mereka menandai periode yang relatif stabil dan makmur, dengan kemajuan signifikan dalam bidang seni, arsitektur, dan sastra.

Makam para firaun ini penuh dengan harta karun dan artefak, memberikan gambaran sekilas tentang kemewahan zaman itu.

Namun, keunggulan kota ini mulai berkurang menjelang akhir Dinasti ke-21, seiring dengan berpindahnya kekuasaan politik ke wilayah lain.

Seiring berjalannya waktu, Tanis berangsur-angsur ditinggalkan dan dilupakan, bangunan-bangunan megahnya kini menyerah pada pasir gurun.

Kota yang pernah menjadi mercusuar kekuasaan dan budaya di Mesir kuno ini menjadi kota hantu, keberadaannya hanya diketahui dalam catatan sejarah dan legenda.

Tanis, Kota yang Hilang Ditemukan Kembali

Setelah berabad-abad tidak dikenal, kota ini kembali terungkap dalam sejarah pada abad ke-19, menandai tonggak penting dalam bidang Egyptology.

Tanis pertama kali disebutkan di zaman modern oleh penjelajah dan sarjana Perancis Jean-François Champollion, pengurai Batu Rosetta, selama ekspedisinya ke Mesir pada tahun 1820-an.

Namun, penggalian sistematis baru dimulai pada akhir abad ke-19 dan dipimpin oleh Egyptologist terkenal Auguste Mariette.

Karya Mariette meletakkan dasar bagi eksplorasi masa depan, namun seluruh kekayaan arkeologi Tanis masih tersembunyi.

Terobosan paling signifikan terjadi pada awal abad ke-20 melalui karya Pierre Montet, seorang arkeolog Perancis.

Dikutip History Skills, Montet memulai penggaliannya di Tanis pada tahun 1929. Pekerjaannya yang cermat selama dekade berikutnya menghasilkan beberapa penemuan paling spektakuler dalam sejarah Egyptology.

Meskipun Perang Dunia II telah dimulai, Montet melanjutkan karyanya, mengungkap lebih banyak harta karun Tanis yang tersembunyi.

Penemuannya membawa kota yang hilang kembali ke dalam narasi sejarah, memicu minat baru terhadap sejarah dan budayanya.

Sejak masa Montet, banyak arkeolog mengikuti jejaknya, masing-masing berkontribusi terhadap pemahaman kita tentang Tanis.

Reruntuhan, artefak, dan makam kota ini telah memberikan wawasan berharga tentang masa lalunya, memberikan gambaran yang jelas tentang masa kejayaannya di sejarah Mesir kuno.

Salah satu penemuan paling signifikan di Tanis adalah pekuburan kerajaan, yang digali oleh Pierre Montet pada tahun 1939.

Situs pemakaman yang merupakan rumah bagi makam beberapa firaun dari dinasti ke-21 dan ke-22 ini ditemukan dalam kondisi sangat utuh.

Makam tersebut berisi harta karun berupa artefak, termasuk topeng emas, perhiasan, patung, dan sarkofagus yang dihias dengan rumit.

Di antaranya, peti mati perak Firaun Psusennes I menonjol karena pengerjaannya yang sangat indah.

Terbuat dari perak dan emas, dianggap sebagai salah satu karya seni Mesir kuno terindah yang pernah ditemukan.

Selain pekuburan kerajaan, kuil-kuil di kota ini juga menghasilkan temuan penting. Kuil Amun, dewa utama Tanis, adalah pusat keagamaan utama di Mesir kuno.

Penggalian telah mengungkap kemegahan candi, dengan tiang-tiang besar, patung, dan prasasti. Temuan-temuan ini memberikan wawasan mengenai praktik keagamaan dan kepercayaan pada masa itu.

Tata letak kota dan struktur arsitektur juga menjadi subjek studi. Reruntuhan istana, gedung administrasi, dan kawasan pemukiman telah memberikan gambaran sekilas kepada para arkeolog tentang perencanaan kota dan struktur sosial kota tersebut.

Penggunaan bahan bangunan dan teknik konstruksi tertentu telah memberikan petunjuk tentang kemampuan teknologi orang Mesir kuno.

Terlepas dari kekayaan temuan arkeologi dan catatan sejarah Mesir kuno, kota Tanis yang hilang diselimuti misteri.

Keadaan seputar hilangnya, lokasi tepatnya, dan keseluruhan makna sejarahnya terus membingungkan para sarjana dan arkeolog.

Salah satu aspek yang paling menarik dari Tanis adalah menghilangnya secara tiba-tiba dari catatan sejarah. Setelah menjadi pusat politik dan agama terkemuka selama berabad-abad, kota ini perlahan-lahan ditinggalkan dan dilupakan. 

Alasannya tidak sepenuhnya jelas. Beberapa teori menyatakan bahwa peralihan kekuasaan politik, bencana alam, atau penurunan ekonomi mungkin berkontribusi terhadap kehancuran kota tersebut.

Namun, bukti pasti yang mendukung teori-teori ini belum ditemukan, sehingga pertanyaan tentang hilangnya Tanis masih menjadi spekulasi.

Lokasi pasti Tanis juga menjadi bahan perdebatan. Meskipun situs arkeologi saat ini diyakini sebagai kota kuno, beberapa ahli berpendapat bahwa Tanis yang asli mungkin terletak di tempat lain, terkubur di bawah pergeseran pasir delta Nil.

Teori ini didasarkan pada perbedaan antara deskripsi sejarah kota dan situs arkeologi saat ini. Namun, tanpa bukti nyata, hal ini hanya berupa hipotesis.