Yu Shi, Dewa Hujan Kuno Mitologi Tiongkok yang Jarang Dikenal

By Tri Wahyu Prasetyo, Selasa, 13 Februari 2024 | 08:04 WIB
Penggambaran Yu Shi oleh Hu Wenhuan (1596-1650). (Public Domain/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Dalam mitologi rakyat Tiongkok, Yu Shi dipercaya sebagai dewa hujan. Konon dengan meneteskan air dari kendi tembikarnya, maka hujan akan turun ke bumi.

Menariknya, ia berbeda dengan dewa-dewa Tiongkok pada umumnya. Alih-alih berwujud pria yang mulia atau berbudi luhur, Yu Shi digambarkan seperti binatang dan memiliki ular yang tumbuh dari tubuhnya.

Menurut Mike Greenberg, dilansir dari laman Mythology Source, penggambaran tersebut adalah salah satu dari sekian banyak petunjuk yang menunjukkan bahwa Yu Shi adalah dewa kuno yang kemungkinan besar mendahului Taoisme di Tiongkok. 

“Meskipun Yu Shi diakui oleh banyak penganut Taoisme dan pengikut kepercayaan sinkretis lainnya di Tiongkok, dia tidak terkait erat dengan budaya mayoritas Tiongkok,” jelas Mike. Sebaliknya, “dia adalah dewa yang paling banyak disembah oleh etnis minoritas di Tiongkok modern.”

Bagaimana Yu Shi Mitologi Tiongkok Membuat Hujan Turun

Dalam sebagian besar cerita, Yu Shi membawa bejana tembikar, biasanya ditafsirkan sebagai kendi, yang penuh dengan air. Ketika dia memercikkan setetes air dari kendi ini, hujan akan turun dari langit.

Yu Shi memiliki hubungan yang erat dengan dewa lain. Dia adalah  Chisongzi, atau Chi Songzi. Di sisi lain, dalam versi yang berbeda, Yu Shi dan Chisongzi adalah individu yang sama.

Yu Shi juga terkait erat dengan Feng Bo, yang juga dikenal sebagai Feng Shi atau Feng Popo, dewa angin barat. Ketika keduanya muncul bersama, mereka membawa badai yang kuat, bukannya hujan atau angin yang lembut.

Mereka melakukannya dalam kisah legenda Yu Shi yang paling terkenal. Menurut cerita kuno, mereka berdua bergabung untuk mengalahkan Huangdi, Kaisar Kuning.

Kaisar Kuning seperti yang digambarkan dalam sebuah makam dari pertengahan abad ke-2 Masehi. Prasasti itu berbunyi: (Public Domain/Wikimedia Commons)

Merujuk Han Feizi, sebuah teks filosofis dan politik dari pertengahan abad ke-3 SM, hidup seorang raja pada masa Lima Kaisar, Chi You. Dia memimpin Sembilan suku Li melawan Kaisar Kuning dalam Pertempuran Zhuolo yang berlangsung selama sepuluh tahun.

Selama pertempuran, Chi You memanggil kabut kuning tebal untuk menutupi medan perang. Hal ini membuat pasukan Kaisar Kuning menjadi tersesat dan bingung dalam kabut tersebut. Mereka nyaris kalah.

Namun, Kaisar menciptakan sebuah kereta perang yang selalu mengarah ke selatan. Dia dapat menemukan jalan keluar dari kabut dan bergabung kembali dalam pertempuran.

Sementara pasukan Kaisar Kuning perlahan pulih, Chi You berdoa memohon bantuan dewa. Yu Shi dan Feng Bo mendengar doanya dan mengirimkan badai besar.

Yu Shi muncul di atas medan perang dan membalikkan kendi, mengirimkan hujan lebat yang jatuh langsung ke pasukan Kaisar.

Tak tinggal diam, Kaisar Kuning memanggil putrinya Ba, yang juga dikenal sebagai Nuba atau Hanba. Dia adalah iblis kekeringan.

Ba menggunakan kekuatannya untuk mengeringkan tanah dan menghempaskan awan hujan yang telah dipanggil oleh Yu Shi dan Feng Bo. Pasukan Chi You segera dikalahkan dan dia pun dibunuh.

Chi You diangkat menjadi dewa perang dan beberapa suku menganggapnya sebagai nenek moyang mereka, khususnya suku Miao. Di sisi lain, Kaisar Kuning memusatkan kekuasaan dan menjadi pendiri Huaxia, budaya orang Han.

Dewa Kuno Tiongkok

Periode Tiga Maharaja dan Lima Kaisar secara tradisional dianggap sebagai sejarah, namun di kalangan sejarawan ia diakui sebagai mitologi.

Namun, menurut Mike, kisah naiknya Kaisar Kuning ke tampuk kekuasaan dan peran yang dimainkan Yu Shi dalam pertempuran, mungkin mengandung beberapa butir fakta sejarah.

“Kaisar Kuning dikatakan sebagai nenek moyang suku Huaxia. Ini bukanlah suku tertentu, tetapi konsep budaya Tiongkok itu sendiri,” jelas Mike.

Huaxia secara khusus merujuk pada konfederasi suku-suku yang tinggal di sepanjang Sungai Kuning sebelum Dinasti Qin didirikan pada abad ke-3 SM. Mereka adalah nenek moyang suku Han, etnis mayoritas di Tiongkok.

Bagi suku Han, Huaxia mewakili budaya dan bangsa mereka. Budaya bersama Huaxia adalah fondasi bagi peradaban dan, pada akhirnya, pertumbuhan kekuasaan terpusat.

Gagasan tentang Huaxia sebagai identitas budaya bersama menjadi populer pada Periode Negara-negara Berperang, yang berlangsung dari pertengahan abad ke-5 SM hingga penaklukan Qin pada tahun 221 SM. 

Pada masa ini pula, menurut Mike, tokoh-tokoh pemersatu seperti halnya Kaisar Kuning menjadi sangat populer.

“Baik Kaisar Kuning maupun raja-raja lokal yang terkait dengannya berjasa dalam mengembangkan pertanian dan menciptakan gaya pemerintahan birokratis yang menjadi ciri khas budaya Han. Mereka dikontraskan dengan tokoh-tokoh seperti Chi You, yang mewakili peradaban suku yang bukan bagian dari Huaxia,” jelas Mike.

Salah satu perkembangan besar lainnya yang datang dari Tiongkok pra-Qin adalah sistem agama yang lebih terpadu dan terkodifikasi.

Taoisme menjadi terkenal pada abad ke-4 SM, bersamaan dengan pemujaan terhadap Kaisar Kuning dan penekanan pada Huaxia. Ini adalah kekuatan lain yang menyatukan rakyat Tiongkok.

Dalam konsep Taoisme, mereka lebih memilih menggabungkan dewa-dewa animisme dan pahlawan budaya dari budaya sebelumnya, alih-alih menggantikannya.

Sepertinya Yu Shi adalah salah satu dewa kuno yang mendahului periode Negara-negara Berperang dan dimasukkan ke dalam Taoisme sebagai musuh Huaxia.

Penampilannya tentu saja berbeda dengan tokoh-tokoh yang lebih manusiawi dan agung yang diasosiasikan oleh suku Han. Berbeda dengan banyak dewa Tao, dia tampak seperti binatang dan liar.

Lantas, kelompok mana yang awalnya memuja Yu Shi? Hal ini masih belum jelas. Namun, menurut Mike, besar kemungkinan jika ia bukanlah dewa orang-orang Han. 

“Meskipun dia dimasukkan ke dalam agama rakyat mereka, dia adalah dewa yang lebih penting bagi salah satu kelompok non-Han di Tiongkok,” jelas Mike.