Warisan Menyakitkan Tradisi Mengikat Kaki di Sejarah Tiongkok Kuno

By Hanny Nur Fadhilah, Kamis, 15 Februari 2024 | 19:00 WIB
Pengikatan kaki, yang dimulai sebagai dorongan gaya, menjadi ekspresi identitas Han setelah invasi Mongol pada tahun 1279. (Wellcome Images)

Ketika 'kaki teratai' kecil mulai menjadi mode, pengikatan kaki dilakukan hampir secara eksklusif oleh kaum elit. Pengikatan kaki bersifat traumatis dan secara drastis mempengaruhi cara perempuan berjalan. Hal ini tidak ideal untuk keluarga yang perempuan harus bekerja.

Perempuan kelas atas dapat menjalani gaya hidup yang tidak banyak bergerak dan dimanjakan, sehingga mereka tidak pernah diharuskan melakukan pekerjaan fisik.

Oleh karena itu, pengikatan kaki akan menjadi simbol status yang memperkuat gagasan bahwa nilai seorang perempuan terletak pada kecantikan fisiknya dan bahwa perempuan dari kelas atas lebih unggul daripada kelas bawah.

Mengikat kaki bukan hanya cobaan fisik. Tradisi ini memiliki pengaruh sosial yang kuat. Seorang wanita dengan kaki teratai dipandang sebagai lambang kecantikan dan keanggunan. 

Tidak hanya itu, wanita yang kakinya terikat juga dianggap berbudi luhur, lembut, halus, dan calon pengantin yang bernilai tinggi.

Sebaliknya, wanita dengan kaki normal dan tidak diikat dianggap kaku dan tidak beradab. Kaki yang normal berarti perempuan harus bekerja, biasanya di pertanian keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki pemilik rumah tidak mampu menghidupi seorang perempuan yang cacat karena kakinya terikat.

Seiring berjalannya waktu, praktik mengikat kaki pun menyebar ke kalangan bawah. Hal ini akhirnya menjadi sangat umum sehingga pada abad ke-19, hampir separuh perempuan Tiongkok telah melakukan pengikatan kaki pada masyarakat umum.

Tradisi pengikatan kaki wanita di sejarah Tiongkok kuno dipandang sebagai lambang kecantikan dan keanggunan. (Public domain)
 

Menurunnya Pengikatan Kaki di Sejarah Tiongkok Kuno

Meskipun pengikatan kaki sudah mendarah daging dalam budaya Tiongkok, praktik ini pada akhirnya akan hilang mulai abad ke-19.

Perubahan politik sedang melanda negara ini, dan hal ini juga diikuti dengan perubahan pandangan masyarakat mengenai kesetaraan gender.

Kaum feminis, misionaris Kristen Barat, dan aktivis perempuan mulai berupaya menghapuskan ikatan kaki. Pada akhir abad ke-20, kebiasaan tersebut punah.