Tenman Tenjin: Kisah Manusia yang Menjadi Dewa Kekaisaran Jepang

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 17 Februari 2024 | 17:00 WIB
Lukisan ilsutrasi Sugawara no Michizan alias Tenman Tenjin dalam Kekaisaran Jepang. (Public Domain/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id – Sugawara no Michizane (845-903 M), adalah seorang cendekiawan, penyair, dan pejabat tingkat tinggi di Kekaisaran Jepang pada zaman Heian. Semasa hidupnya, Michizane mendapatkan perlakuan buruk dan diasingkan dari istana kekaisaran setelah konflik politik dengan klan Fujiwara.

Pada saat kematiannya, terjadi serangkaian bencana di Kekaisaran Jepang. Hal ini dianggap sebagai bentuk balas dendam yang dilakukan oleh Michizane.

Sebagai hasilnya, dia kemudian didewakan dan disembah oleh masyarakat sebagai dewa pelindung pendidikan dan pembelajaran. Di sinilah dia mulai dikenal sebagai Tenman Tenjin.

Kehidupan Awal

Sugawara no Michizane lahir dari keluarga sederhana pada tahun 845 SM, meskipun kakek dan ayahnya adalah cendekiawan terkemuka.

Menurut Sejarawan Mark Cartwright, dilansir dari laman World History Encyclopedia, Michizane menunjukkan bakat sastra yang luar biasa sejak usia muda. “Pada usia sepuluh tahun, dia telah menyelesaikan puisi bahasa mandarin pertamanya.”

Dia kemudian berhasil lulus ujian dari Kementerian Seremonial pada usia 18 tahun dan dinyatakan sebagai monjosho atau Sarjana Sastra, yang merupakan pencapaian yang luar biasa pada masanya.

Karena pengalamannya, Michizane ditawari menjadi duta besar untuk pengadilan Tang di Tiongkok. Namun, dia menolaknya. Pada tahun 886 M, ia menjabat sebagai gubernur provinsi Sanuki di Pulau Shikoku.

Karena kecintaannya kepada sastra yang luar biasa, di sisi lain menjabat gubernur, dia memainkan peran penting dalam menyusun sejarah Kekaisaran Jepang. Dia terlibat dalam penyusunan "Montoku Jitsuroku" atau "Sejarah Kaisar Montoku".

“Dia juga menghasilkan koleksi karya ayah dan kakeknya dan kemudian menghasilkan 12 buku karyanya sendiri, enam buku prosa dan enam buku puisi,” jelas Mark.

Awal Menuju Kekuasaan

Michizane melengkapi tugas pemerintahannya dengan mengajar di universitas istana. Hal ini menarik perhatian Kaisar Uda (memerintah 887-897 M).

Pada tahun 893 M, Michizane diangkat menjadi penasihat istana, dan posisinya semakin diperkuat ketika putrinya menjadi salah satu permaisuri kaisar pada tahun 895 M.

Kaisar Uda memutuskan untuk turun takhta pada tahun 897 M dan digantikan dengan anaknya, Daigo. Kini, Michizane, bersama dengan pemimpin klan Fujiwara, Tokihira, kini menjadi politisi paling kuat di  Kekaisaran Jepang.

Pada tahun 899 M, Michizane secara resmi dipromosikan menjadi pangkat junior kedua dan diangkat menjadi Menteri Kanan (Udaijin), posisi yang dua kali ditolaknya. 

“Ini adalah kenaikan yang luar biasa untuk seseorang yang memiliki kedudukan sosial rendah seperti Michizane,” ungkap Mark.

Pengkhianatan dan Kejatuhan

Posisi Michizane sekarang begitu tinggi sehingga satu-satunya jalan adalah turun. Musuh-musuh, terutama dari klan Fujiwara yang mendominasi sebagian besar jabatan tinggi di dalam aparatur negara, berada di sekelilingnya.

Klan Fujiwara menginginkan orang-orang di luar mereka dan para pejabat yang dipromosikan dari klan Sugawara keluar dari pemerintahan. Sebuah rencana pun disusun.

Mereka menyuap seseorang untuk menyatakan bahwa dia telah menemukan rencana Michizane untuk menempatkan Tokiyo–anaknya–di atas takhta.

Kaisar Daigo menelan umpan tersebut dan mengasingkan Michizane ke Dazaifu, Kyushu pada tahun 901 M.

Di dalam pengasingannya yang jauh dari keluarga dan teman-temannya, Michizane menulis beberapa puisi paling terkenalnya yang kemudian dikumpulkan ke dalam Kanke Koshu.

Michizane meninggal pada tahun 903 Masehi, namun kisahnya belum selesai; sayap-sayap balas dendam yang cepat akan segera berkibar di sekitar istana kekaisaran.

Pembalasan dendam dan pendewaan

Gejolak pertama dari masalah muncul ketika beberapa komplotan meninggal pada tahun-tahun setelah kematian Michizane. 

Okihira, saingan berat Michizane, meninggal pada tahun 909 Masehi dalam keadaan misterius pada usia 38 tahun. Pada tahun 923 Masehi keponakan Okihira, Putra Mahkota Yasuakira, juga meninggal pada usia 21 tahun. Lalu cucu laki-laki Tokihira, Putra Mahkota Yoshiyori, meninggal pada usia 5 tahun pada tahun 925 Masehi.

“Dalam agama Shinto, diyakini bahwa orang yang dihina tidak akan beristirahat dengan tenang di dalam kuburnya, dan desas-desus menyebar bahwa roh Michizane yang gelisah adalah penyebab kematian yang tidak menguntungkan di istana,” jelas Mark.

Segera, demi menenangkan roh Michizane, dokumen-dokumen dakwaan dan pengasingannya dibakar secara resmi. Bahkan pangkatnya dikembalikan.

Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian lebih mengerikan, membuktikan bahwa langkah-langkah ini tidak cukup.

Pada tahun 930 M, orang yang telah disuap untuk menuduh Michizane dan beberapa pejabat lainnya terbunuh karena tersambar petir dalam badai yang spektakuler. Di tahun yang sama, Kasiar Dago juga meninggal pada usia 46 tahun.

Rentetan kematian para pentolan kekaisaran ini disusul bencana kebakaran dahsyat dan wabah penyakit yang melanda ibu kota. Hal ini membuat orang-orang semakin yakin bahwa para dewa marah atas ketidakadilan yang diterima Michizane.

Beberapa orang menceritakan tentang penglihatan yang mereka alami di mana Michizane menginstruksikan mereka untuk mendesak pemulihan reputasinya dan agar dia diberi penghargaan yang sesuai. 

Seorang wanita miskin bernama Tajihi no Ayako, mengklaim bahwa Michizane menampakkan diri kepadanya dengan menyebut dirinya Tenjin dan meminta sebuah kuil dibangun untuknya di Kitano.

Pada tahun 947 M, jasad dan karya sastra Michizane diabadikan di kuil Kitano Temmangu di Kyoto yang dibangun untuk menghormatinya. Kemudian, pada tahun 987, Michizane diberi gelar kehormatan Tenjin yang membuatnya menjadi dewa.

Kitano Tenmangu adalah Kuil Shinto di Kyoto yang dibangun untuk menghormati Kami (dewa atau roh leluhur) Sugawara no Michizane. (ZEKKEI Japan)

Dia masih disembah hingga sekarang dan secara khusus dikaitkan dengan sastra dan kesarjanaan, salah satu gelarnya adalah 'Leluhur Jalan Huruf'.

“Tenjin secara teratur disembah oleh para siswa, yang memanjatkan doa dan meninggalkan persembahan di kuilnya sebagai imbalan atas bantuan dalam ujian yang akan datang,” jelas Mark.