Nationalgeographic.co.id—Perang Tiongkok-Jepang berkecamuk pada tahun 1937 ketika pasukan Kekaisaran Jepang mendekat ke ibu kota Republik Tiongkok, Nanjing, di awal bulan Desember.
Republik Tiongkok mengirim 100.000 tentara untuk mempertahankan kota tersebut. Namun sebagian besar dari mereka kurang terlatih, memungkinkan Jepang menembus kota dengan mudah.
Ketika pasukan Kekaisaran Jepang berhasil menduduki Kota Nanjing, berbagai kebrutalan dilakukan kepada para tentara tawanan maupun warga sipil. Bahkan, perang ini disebut-sebut sebagai “Holocaust Tiongkok”.
Menuju Pertempuran Nanjing
Pasukan Jepang tiba di gerbang kota pada tanggal 9 Desember 1937. Mereka membagikan selebaran ke dalam kota, menyerukan untuk menyerah dalam waktu 24 jam.
Jika tidak ada penyerahan diri, selebaran itu memperingatkan, tidak akan ada belas kasihan dari militer Jepang saat invasi.
Di sisi lain, secara terbuka, komandan militer Tang Shengzhi telah menyatakan bahwa Nanjing tidak akan menyerah kepada Jepang. Pasukan Republik Tiongkok akan bertempur sampai mati.
“Tang mengerahkan sekitar 100.000 orang untuk mempertahankan kota,” kata sejarawan Madison Whipple, dalam tulisannya pada laman The Collector.
Meskipun ini bukan jumlah yang sedikit, Madison menambahkan, “pasukan ini sebagian besar tidak terlatih dan diserahkan di bawah bimbingan komite internasional untuk keamanan Nanjing.”
John Rabe, seorang warga negara Jerman dan anggota Partai Nazi, mencoba melakukan dialog. Dia meminta gencatan senjata selama tiga hari dan memohon kepada pemerintah Tiongkok untuk mengizinkan penarikan pasukan sehingga tidak akan ada operasi militer di kota tersebut.
Namun, upayanya untuk mencapai gencatan senjata dan penarikan pasukan ditolak oleh kedua belah pihak.
Kendati demikian, dengan sumber daya yang terbatas, Rabe dan beberapa warga sipil Tiongkok serta warga asing lainnya tetap berusaha untuk melindungi penduduk Nanjing.