Sejarah Dunia: Ketika Pertempuran Nanjing Menjadi 'Holocaust Tiongkok'

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 21 Februari 2024 | 09:00 WIB
Tentara Jepang menduduki Nanjing pada bulan Desember 1937. (Via The Collector)

Tawanan perang Tiongkok dikumpulkan di Nanjing setelah mereka menyerah kepada Jepang. (Via The Collector)

Sebanyak 50.000 tentara yang menyerbu Nanjing pada bulan Desember 1937 memulai kampanye teror mereka terhadap pasukan Tiongkok yang masih bertahan di kota tersebut.

Jepang memandang para tawanan perang ini dengan rasa jijik, karena menyerah dalam tradisi Jepang dipandang sebagai tindakan pengecut dan memalukan. Oleh karena itu, para tawanan diperlakukan dengan tidak manusiawi dan dijadikan objek latihan bagi tentara Jepang.

Foto-foto mendokumentasikan pembantaian tersebut. Para tawanan digunakan untuk latihan bayonet serta tembakan senapan mesin. Mereka juga memenggal dan membakar tawanan hidup-hidup.

Setelah satu minggu, sekitar 40.000 orang tawanan tewas. Pasukan Jepang kemudian mengalihkan pandangan mereka pada warga sipil Nanjing, baik yang tinggal di dalam zona aman atau tidak.

“Kelompok tentara yang nakal dan mabuk mulai berkeliaran di jalan-jalan Nanjing, mencari wanita,” jelas Madison. Ketika menemukannya, “mereka akan memperkosa korban secara brutal, baik di jalan, di toko-toko, atau bahkan di rumah-rumah di depan keluarga perempuan tersebut.”

Banyak dari para korban perempuan tersebut kemudian dibunuh dengan cara dimutilasi. Perkiraan jumlah perempuan yang diserang secara seksual berkisar antara 20.000 hingga 80.000 orang. Para korban berkisar antara usia 10 hingga 60 tahun, dan wanita hamil tidak luput dari kebrutalan tersebut.

Korban pembantaian di pinggiran kota Nanjing. (Via The Collector)

Madison menambahkan, bahwa tentara Jepang juga melakukan penjarahan dan pembakaran secara acak tanpa pandang bulu. 

“Beberapa laporan menyatakan bahwa tentara Jepang akan merampok toko-toko dan kemudian mengunci pengunjung dan pekerja di dalam toko, membakar gedung dan menjebak orang-orang saat mereka pergi,” kata Madison.

Sulit untuk menghitung jumlah korban tewas secara pasti,  karena begitu banyak dari mereka yang dibakar atau dikuburkan di kuburan massal setelah kematian mereka. Selain itu, sebagian besar catatan masa perang Jepang juga dihancurkan.

Tidak ada tentara Jepang yang bertanggung jawab atas kehancuran yang terjadi di Nanjing hingga akhir Perang Dunia Kedua pada tahun 1945. 

Tak lama setelah menyerah, para perwira Jepang yang bertanggung jawab atas pasukan di Nanjing diadili atas kekejaman yang mereka awasi dan lakukan. 

Jenderal Matsui dan Perdana Menteri Jepang, Kōki Hirota, serta lima penjahat perang lainnya, dijatuhi hukuman mati atas kejahatan mereka.