Sejarah Dunia: Ketika Pertempuran Nanjing Menjadi 'Holocaust Tiongkok'

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 21 Februari 2024 | 09:00 WIB
Tentara Jepang menduduki Nanjing pada bulan Desember 1937. (Via The Collector)

Nationalgeographic.co.id—Perang Tiongkok-Jepang berkecamuk pada tahun 1937 ketika pasukan Kekaisaran Jepang mendekat ke ibu kota Republik Tiongkok, Nanjing, di awal bulan Desember.

Republik Tiongkok mengirim 100.000 tentara untuk mempertahankan kota tersebut. Namun sebagian besar dari mereka kurang terlatih, memungkinkan Jepang menembus kota dengan mudah.

Ketika pasukan Kekaisaran Jepang berhasil menduduki Kota Nanjing, berbagai kebrutalan dilakukan kepada para tentara tawanan maupun warga sipil. Bahkan, perang ini disebut-sebut sebagai “Holocaust Tiongkok”.

Menuju Pertempuran Nanjing

Pasukan Jepang tiba di gerbang kota pada tanggal 9 Desember 1937. Mereka membagikan selebaran ke dalam kota, menyerukan untuk menyerah dalam waktu 24 jam.

Jika tidak ada penyerahan diri, selebaran itu memperingatkan, tidak akan ada belas kasihan dari militer Jepang saat invasi.

Di sisi lain, secara terbuka, komandan militer Tang Shengzhi telah menyatakan bahwa Nanjing tidak akan menyerah kepada Jepang. Pasukan Republik Tiongkok akan bertempur sampai mati.

“Tang mengerahkan sekitar 100.000 orang untuk mempertahankan kota,” kata sejarawan Madison Whipple, dalam tulisannya pada laman The Collector.

Meskipun ini bukan jumlah yang sedikit, Madison menambahkan, “pasukan ini sebagian besar tidak terlatih dan diserahkan di bawah bimbingan komite internasional untuk keamanan Nanjing.”

John Rabe, seorang warga negara Jerman dan anggota Partai Nazi, mencoba melakukan dialog. Dia meminta gencatan senjata selama tiga hari dan memohon kepada pemerintah Tiongkok untuk mengizinkan penarikan pasukan sehingga tidak akan ada operasi militer di kota tersebut.

Namun, upayanya untuk mencapai gencatan senjata dan penarikan pasukan ditolak oleh kedua belah pihak.

Kendati demikian, dengan sumber daya yang terbatas, Rabe dan beberapa warga sipil Tiongkok serta warga asing lainnya tetap berusaha untuk melindungi penduduk Nanjing.

Invasi dan Pertempuran Nanjing

Pemimpin Jepang, Jenderal Iwane Matsui ( depan) dan Pangeran Asaka berkendara ke Nanjing tak lama setelah direbut. (Via The Collector)

Setelah tidak menerima kabar tentang penyerahan kota pada batas waktu yang telah ditentukan, pasukan Kekaisaran Jepang mulai menyerang kota dari semua sisi.

Jenderal Tang Shengzhi, yang tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kota, memerintahkan pasukannya untuk mundur. Tepatnya pada tanggal 12 Desember ketika kota itu menghadapi tembakan artileri dan pengeboman.

Menurut Madison, mundurnya pasukan Tiongkok segera menjadi bencana. “Tentara Tiongkok melakukan apapun yang mereka bisa untuk berbaur dengan penduduk sipil, bahkan sampai melucuti pakaian dan harta benda mereka.”

Dalam upaya untuk melarikan diri, Madison menambahkan, “banyak tentara Tiongkok yang ditembak oleh unit pengawas mereka.”

Pada tanggal 13 Desember, pasukan Angkatan Darat Jepang divisi ke-6 dan ke-116 berhasil menembus tembok kota. Mereka hanya mendapat sedikit perlawanan.

Saat memasuki kota, Madison menjelaskan, “pasukan Jepang mulai mengejar pasukan Tiongkok yang melarikan diri, sebagian besar di sebelah utara kota.”

Pasukan Tiongkok, menurut sebagian besar laporan, menghadapi pembantaian habis-habisan dan sepihak selama hari-hari terakhir perlawanan. 

Namun, beberapa sejarawan Jepang berpendapat bahwa tindakan Jepang dapat dibenarkan sejauh orang Tiongkok masih menjadi ancaman besar bagi Angkatan Darat Jepang.

Operasi "pembersihan" pertempuran ini juga berlaku bagi para pengungsi yang tetap tinggal di Zona Keselamatan Nanjing. Sementara penduduk kota yang kaya berhasil melarikan diri, mereka yang melarat harus tetap menghadapi kebrutalan Jepang.

Kehancuran Nanjing 

Tawanan perang Tiongkok dikumpulkan di Nanjing setelah mereka menyerah kepada Jepang. (Via The Collector)

Sebanyak 50.000 tentara yang menyerbu Nanjing pada bulan Desember 1937 memulai kampanye teror mereka terhadap pasukan Tiongkok yang masih bertahan di kota tersebut.

Jepang memandang para tawanan perang ini dengan rasa jijik, karena menyerah dalam tradisi Jepang dipandang sebagai tindakan pengecut dan memalukan. Oleh karena itu, para tawanan diperlakukan dengan tidak manusiawi dan dijadikan objek latihan bagi tentara Jepang.

Foto-foto mendokumentasikan pembantaian tersebut. Para tawanan digunakan untuk latihan bayonet serta tembakan senapan mesin. Mereka juga memenggal dan membakar tawanan hidup-hidup.

Setelah satu minggu, sekitar 40.000 orang tawanan tewas. Pasukan Jepang kemudian mengalihkan pandangan mereka pada warga sipil Nanjing, baik yang tinggal di dalam zona aman atau tidak.

“Kelompok tentara yang nakal dan mabuk mulai berkeliaran di jalan-jalan Nanjing, mencari wanita,” jelas Madison. Ketika menemukannya, “mereka akan memperkosa korban secara brutal, baik di jalan, di toko-toko, atau bahkan di rumah-rumah di depan keluarga perempuan tersebut.”

Banyak dari para korban perempuan tersebut kemudian dibunuh dengan cara dimutilasi. Perkiraan jumlah perempuan yang diserang secara seksual berkisar antara 20.000 hingga 80.000 orang. Para korban berkisar antara usia 10 hingga 60 tahun, dan wanita hamil tidak luput dari kebrutalan tersebut.

Korban pembantaian di pinggiran kota Nanjing. (Via The Collector)

Madison menambahkan, bahwa tentara Jepang juga melakukan penjarahan dan pembakaran secara acak tanpa pandang bulu. 

“Beberapa laporan menyatakan bahwa tentara Jepang akan merampok toko-toko dan kemudian mengunci pengunjung dan pekerja di dalam toko, membakar gedung dan menjebak orang-orang saat mereka pergi,” kata Madison.

Sulit untuk menghitung jumlah korban tewas secara pasti,  karena begitu banyak dari mereka yang dibakar atau dikuburkan di kuburan massal setelah kematian mereka. Selain itu, sebagian besar catatan masa perang Jepang juga dihancurkan.

Tidak ada tentara Jepang yang bertanggung jawab atas kehancuran yang terjadi di Nanjing hingga akhir Perang Dunia Kedua pada tahun 1945. 

Tak lama setelah menyerah, para perwira Jepang yang bertanggung jawab atas pasukan di Nanjing diadili atas kekejaman yang mereka awasi dan lakukan. 

Jenderal Matsui dan Perdana Menteri Jepang, Kōki Hirota, serta lima penjahat perang lainnya, dijatuhi hukuman mati atas kejahatan mereka.