Alat tulis yang dibelikan ayahnya ini, dibagikan secara gratis oleh Rohana kepada teman-temannya. Bak taman bermain dan belajar, anak-anak seakan bersekolah. Tidak ada pungutan bayaran. Sekolah gratis ini terbuka untuk anak-anak di Talu.
Rohana Kudus, sang guru cilik berusia 8 tahun itu mulai dicintai masyarakat Talu. Orang-orang menyebutnya "buk guru kecik" (bu guru cilik). Seperti bermain saja, apa pun yang diketahui Rohana, diajarkannya pada teman-temannya.
Terkadang membaca cerita-cerita di surat kabar, mengaji Al Qur'an, masak-masak, hingga jahit-menjahit. Apa pun dilakukan bak anak-anak yang sedang bermain, tanpa kurikulum baku seperti sekolah pada umumnya.
Sejak usia 6 hingga 10, selama empat tahun di Talu, Rohana Kudus telah membuat gebrakan besar yang mengagumkan bagi dunia pengajaran di sana.
Bahkan, "dalam sejarah pendidikan di Indonesia, tidak ada perempuan seusia 10 tahun di masa itu yang memiliki sekolah terbuka seperti yang dilakukan oleh Rohana," sambung Silfia Hanani dalam jurnalnya.
Perjalanan masa kecilnya mengesankan, maka tak heran di usia remaja hingga akhir hayatnya, Rohana Kudus mencatatkan sejumlah pencapaian gemilang. Utamanya bagi bangkitnya jiwa perempuan maju.
Saat dewasa, ia dikenal menjadi jurnalis ulung seperti ayahnya. Tulisannya di surat kabar Soenting Melajoe berhasil mendobrak stigma negatif kaum perempuan di zamannya dan menyelamatkan martabat perempuan sampai hari ini.