Rohana Kudus, Guru Perempuan dan Membuka Sekolah Saat Usia 10 Tahun

By Galih Pranata, Selasa, 5 Maret 2024 | 11:00 WIB
Rohana Kudus telah membuktikan keterampilan membacanya sejak usia 6 tahun. Bahkan, di usia 10 tahun, ia menjadi perempuan pertama yang menjadi guru dan mendirikan sekolah terbuka. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Kisah tentang perempuan-perempuan Indonesia di abad ke-19 memang menakjubkan. Mereka menyuarakan hak-hak yang direnggut oleh stereotip kolonial, hingga mengubahnya menjadi seperti sekarang.

Banyak tokoh-tokoh perempuan di abad itu, lewat perjuangannya, mereka dapat menempatkan perempuan pada posisi yang tak lagi dipandang sebelah mata. Selain Kartini, tokoh satu ini sama-sama menginspirasi.

Ya, ia adalah Rohana Kudus. Pejuang perempuan yang dikenal brilian, cerdas, dan tangguh. Bahkan bakat alamiahnya sudah muncul sejak usianya masih dini. Melalui kejeniusannya, ia memperjuangkan hak perempuan lewat pengajaran dan pengetahuan.

Rohana Kudus lahir di Koto Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat pada 20 Desember tahun 1884. Ia merupakan putri dari pasangan Muhammad Rasyad Maharaja Sutan dan Kiam. Ayahnya merupakan seorang jurnalis hebat di zamannya.

Menariknya, "Rohana Kudus merupakan saudara sebapak dengan dengan Soetan Sjahrir," tulis Silfia Hanani dalam jurnal Marwah berjudul Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan, terbitan tahun 2011.

Soetan Sjahrir (EYD: Sutan Syahrir) sebagaimana tercatat dalam sejarah, merupakan tokoh intelektualis dan revolusioner Indonesia di abad ke-20. Ia bahkan tercatat sebagai perdana menteri termuda di dunia pada tahun 1945 di usia 36 tahun.

Barangkali, marwah perjuangan Sjahrir terilhami dari Rohana Kudus yang sejak kecil mulai terampil dan cerdas. Perjalanan masa kecil Rohana Kudus cukup panjang, di mana ia menghabiskan masa kecilnya di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat.

Pada usia 6 tahun, Rohana sempat dijadikan anak angkat oleh Jaksa Alahan Panjang. Dalam usia-usia itu, ia mendapatkan banyak pelajaran hidup, pendidikan keagamaan dan keterampilan yang diajarkan istri sang Jaksa.

Berkat pendidikan yang diberikan ibu angkatnya itu pula Rohana menjadi pandai membaca. Satu fenomena menarik, di mana pada abad itu ia telah mengalahkan situasi pendidikan yang sangat terbelakang. Apalagi di Alahan Panjang yang masih minim pendidikan maju.

Tamar Djaja dalam bukunya yang berjudul Rohana Kudus Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1980), menyebut bahwa "waktu itu di Alahan Panjang belum ada sekolah rakyat, belum ada anak-anak bersekolah, hanya ada sekolah kecil saja."

"Setiap waktu, Rohana membaca dengan suaranya yang lantang kadang-kadang melengking sampai asyiknya. Buku-buku yang ada di rumah habis dibacanya, karena rajin membaca itulah ia segera mengerti," imbuhnya.

Pada Februari 1911, Ruhana memutuskan untuk mendirikan suatu perkumpulan pendidikan perempuan yang lebih terorganisir, bernama Kerajinan Amai Setia. (Wikimedia Commons)

Pelajaran luar biasa dari keluarga angkatnya, sampai ia akhirnya kembali lagi untuk dijemput ayahnya, Muhammad Rasyad Maharaja Sutan. Tahun 1892 Rohana meninggalkan Alahan Panjang dan ikut dengan ayahnya yang pindah bekerja ke Simpang Tonang Talu Pasaman, Sumatera Barat.

Semasa di Talu, Rohana semakin rajin membaca dan mencari banyak hal untuk dibacanya. Untuk terus meningkatkan literasi Rohana, ayahnya sengaja berlangganan surat kabar untuk anak-anak terbitan Medan, "Berita Kecil."

Tamar Djaja meneruskan, "yang menarik pula, ialah kesukaannya membacakan surat kabar (Berita Kecil) itu di muka umum, di depan orang banyak, (bahkan) di depan orang tua-tua dan cerdik pandai."

Setiap sore ia pergi ke tempat di mana orang banyak berkumpul, lalu membacakan surat kabar itu kepada mereka dengan suaranya yang nyaring. Orang tertarik dengan kelincahannya, dan dengan sendirinya ia selalu mendapat pujian.

Kala itu, di usia 8, Rohana belum memiliki banyak teman di lingkungan barunya di Talu. Namun, setidak-tidaknya Rohana yang ditugasi menjaga dua adiknya, Ratna dan Ruskan, tidak pernah merasa kesepian.

Sembari bermain dengan adik-adiknya di teras rumah, Rohana kerap kali mencerita dan membacakan kisah-kisah menarik kepada mereka. Terkadang juga Rohana mempertunjukkan kemampuannya menulis.

Suaranya yang keras dan melengking membuat orang-orang yang melintas rumah Rohana, menjadi termangu kagum bercampur heran. Wajar saja, di zaman itu, pribumi kerap terbelakang, apalagi ada seorang perempuan kecil yang sudah pandai membaca.

Sesekali, Rohana juga berbicara dengan Arab, Latin, dan Arab Melayu, dari kebiasaannya membaca di surat-surat kabar. Membuat orang tambah kagum keheranan. Anak-anak seusianya bahkan di atasnya, menjadi tertarik untuk berkumpul di rumah Rohana.

Banyak anak-anak kemudian berkumpul di rumahnya, "sekadar mendengar apa yang dibaca oleh Rohana," tulis Fitriyanti dalam buku gubahannya berjudul Rohana Kudus terbitan tahun 2005.

Surat kabar Soenting Melajoe (Sunting Melayu), edisi 7 Agustus 1912. (Soenting Melajoe/Wikimedia Commons)

Lama kelamaan, kebiasaan ini membuat Rohana dikenal sebagai guru cilik bagi teman-temannya, anak-anak Talu yang kebanyakan merupakan buta huruf. Mereka diajari membaca dan menulis.

Melihat antusias anak-anak di Talu, membuat ayah Rohana sangat mendukung kegiatannya. Dengan senang hati, Rasyad Maharaja Sutan membantu kegiatan pengajaran Rohana dengan membelikan perlengkapan tulis menulis.

Alat tulis yang dibelikan ayahnya ini, dibagikan secara gratis oleh Rohana kepada teman-temannya. Bak taman bermain dan belajar, anak-anak seakan bersekolah. Tidak ada pungutan bayaran. Sekolah gratis ini terbuka untuk anak-anak di Talu.

Rohana Kudus, sang guru cilik berusia 8 tahun itu mulai dicintai masyarakat Talu. Orang-orang menyebutnya "buk guru kecik" (bu guru cilik). Seperti bermain saja, apa pun yang diketahui Rohana, diajarkannya pada teman-temannya.

Terkadang membaca cerita-cerita di surat kabar, mengaji Al Qur'an, masak-masak, hingga jahit-menjahit. Apa pun dilakukan bak anak-anak yang sedang bermain, tanpa kurikulum baku seperti sekolah pada umumnya.

Sejak usia 6 hingga 10, selama empat tahun di Talu, Rohana Kudus telah membuat gebrakan besar yang mengagumkan bagi dunia pengajaran di sana. 

Bahkan, "dalam sejarah pendidikan di Indonesia, tidak ada perempuan seusia 10 tahun di masa itu yang memiliki sekolah terbuka seperti yang dilakukan oleh Rohana," sambung Silfia Hanani dalam jurnalnya.

Perjalanan masa kecilnya mengesankan, maka tak heran di usia remaja hingga akhir hayatnya, Rohana Kudus mencatatkan sejumlah pencapaian gemilang. Utamanya bagi bangkitnya jiwa perempuan maju.

Saat dewasa, ia dikenal menjadi jurnalis ulung seperti ayahnya. Tulisannya di surat kabar Soenting Melajoe berhasil mendobrak stigma negatif kaum perempuan di zamannya dan menyelamatkan martabat perempuan sampai hari ini.