Terakhir, krisis ini juga dipicu oleh permasalahan sosial dan budaya yang mengakar. Ada kesenjangan yang semakin besar antara si kaya dan si miskin.
Meluasnya ketidakpuasan di kalangan kelas bawah akibat pajak yang besar dan ketidakmampuan kekaisaran untuk memberikan keamanan dan layanan publik.
Selain itu, nilai-nilai tradisional Romawi dan struktur sosial secara bertahap terkikis, dan penyebaran agama baru, seperti Kristen, menyebabkan gesekan budaya dan agama.
Gejolak Politik Mematikan
Ketidakstabilan politik merupakan ciri penting dari Krisis Abad Ketiga, dengan periode yang ditandai dengan pergantian kaisar yang cepat, yang sebagian besar berlatar belakang militer.
Periode ini memperkenalkan konsep yang disebut "Kaisar Barak" - kaisar yang dipilih, dan sering kali digulingkan, oleh tentara, yang menyebabkan pergolakan dan perselisihan terus-menerus di dalam kekaisaran.
Setelah pembunuhan Kaisar Alexander Severus pada tahun 235 M, kekaisaran ini terjerumus ke dalam pusaran kudeta militer, pembunuhan, dan masa pemerintahan yang berumur pendek.
Pada periode ini, yang sering disebut sebagai "Zaman Tiga Puluh Tiran", terdapat tidak kurang dari 26 orang yang mengklaim takhta, dan banyak dari mereka yang berakhir dengan kekerasan.
Pergantian penguasa yang cukup singkat ini sangat mengganggu kestabilan kekaisaran dan menghambat pemerintahan jangka panjang yang konsisten.
Kaisar Barak biasanya adalah jenderal militer yang merebut kekuasaan dengan dukungan pasukannya.
Namun, kesetiaan militer seringkali bergantung pada kemampuan kaisar untuk memberikan gaji tetap dan kemenangan dalam pertempuran.
Jika seorang kaisar gagal dalam bidang ini, mereka dapat dengan cepat ditinggalkan atau dibunuh, dan komandan militer lain akan turun tangan untuk mengisi kekosongan kekuasaan.