Situasi Mencekam Krisis Kekaisaran Romawi: Perang Saudara Hingga Wabah

By Hanny Nur Fadhilah, Jumat, 15 Maret 2024 | 09:00 WIB
Krisis Abad Ketiga di Kekaisaran Romawi kuno merupakan era penuh gejolak dipenuhi dengan berbagai krisis militer, ekonomi, dan sosial. (The Collector)

Siklus kekerasan dan pengkhianatan ini semakin mengikis stabilitas kekaisaran dan menyebabkan meluasnya korupsi dan pelanggaran hukum.

Kebangkitan Kerajaan Galia dan Palmyrene

Persatuan Kekaisaran Romawi sangat terancam oleh pembentukan negara-negara yang memisahkan diri, yang paling menonjol adalah Kekaisaran Galia di Barat dan Kekaisaran Palmyrene di Timur.

Kekaisaran Galia muncul pada tahun 260 M ketika jenderal Romawi Postumus memberontak melawan Kaisar Gallienus dan menyatakan dirinya sebagai kaisar.

Kerajaan yang memisahkan diri ini mencakup provinsi-provinsi Romawi di Gaul, Germania, Britannia, dan sebentar lagi Hispania.

Postumus dan penerusnya berhasil membentuk pemerintahan kekaisaran yang berfungsi, mencetak koin mereka sendiri, dan menangkis baik penantang internal maupun invasi Jerman dari luar.

Namun, Kekaisaran Galia bersatu kembali dengan Kekaisaran Romawi pada tahun 274 M di bawah Kaisar Aurelian, setelah sekitar empat belas tahun pemisahan.

Sedangkan di Timur muncul Kerajaan Palmyrene di bawah kepemimpinan Ratu Zenobia.

Kota Palmyra, yang semula merupakan pusat perdagangan makmur di gurun Suriah, kini semakin berkuasa dan berpengaruh. Hal ini didukung lokasinya yang strategis dan perannya dalam mempertahankan perbatasan timur dari invasi Persia.

Setelah pembunuhan suaminya, Raja Odaenathus, Zenobia mengambil alih kekuasaan sebagai wali putranya.

Dia mulai memperluas wilayahnya, mengambil kendali atas Mesir dan sebagian besar Asia Kecil.

Pada tahun 270 M, Zenobia telah menyatakan kerajaannya merdeka dari Roma. Namun, seperti Kekaisaran Galia, Kekaisaran Palmyrene juga berumur pendek.