Kisah Pilu Putra Mahkota Kekaisaran Ottoman yang Hidup di Sangkar Emas

By Sysilia Tanhati, Jumat, 15 Maret 2024 | 11:00 WIB
Sebagai salah satu kekaisaran terkuat dalam sejarah manusia, Kekaisaran Ottoman menjalankan praktik dan aturan agar bisa bertahan. Salah satunya adalah mengurung para ahli waris di Istana Topkapi. Tradisi ini dikenal dengan sebutan kafes. (Gustave Boulanger/Public Domain)

Nationalgeograpgic.co.id—Sebagai salah satu kekaisaran terkuat dalam sejarah dunia, Kekaisaran Ottoman menjalankan praktik dan aturan agar bisa bertahan. Salah satunya adalah mengurung para ahli waris di Istana Topkapi.

Istana Topkapi dilengkapi dengan segala kemewahan. Namun di balik semua kemegahannya, ada kisah suram. Bangunan ini memiliki tujuan yang kejam, Topkapi adalah penjara.

“Sangkar emas” tersebut dimaksudkan untuk mengurung semua calon penerus takhta. Untuk apa? Agar mereka tidak akan pernah bisa menantang sultan yang sedang berkuasa. Di Topkapi terdapat ruangan-ruangan yang disebut sebagai kafes, yang terjemahan literalnya adalah “kandang”.

“Praktik kejam ini diperkirakan dimulai pada awal abad ke-17 untuk menggantikan tradisi yang lebih biadab,” tulis Kaushik Patowary di laman Amusing Planet.

Sejak masa awal Kekaisaran Ottoman, merupakan hal yang umum dilakukan oleh sultan baru untuk membunuh saudara laki-lakinya. Beberapa di antaranya bahkan masih bayi.

Kekaisaran Ottoman menerapkan “aturan orang tua” yang mana warisan diberikan dari saudara laki-laki ke saudara laki-lakinya, bukan dari ayah ke anak laki-lakinya.

Hal ini menyebabkan banyak orang bersekongkol melawan saudaranya sendiri. Hal ini pun berujung pada pemberontakan, perang, dan bahkan pembunuhan.

Sultan Mehmed II, yang menaklukkan Konstantinopel, adalah orang pertama yang mengubah praktik pembunuhan ritual ini menjadi hukum.

Ia menyatakan siapa pun yang berhasil merebut takhta setelah kematian sultan lama akan membunuh saudara laki-lakinya, paman serta sepupunya.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan pemberontakan dan perang saudara di masa depan. “Juga demi ketertiban dunia,” tambah Patowary.

Selama 150 tahun berikutnya, hukum Mehmed mengakibatkan kematian sedikitnya 80 anggota Dinasti Osman.

Satu-satunya episode pembunuhan saudara yang paling kejam dalam sejarah kekaisaran terjadi pada pergantian abad ke-17.

Saat sultan yang baru dinobatkan, Mehmed III, mencekik kesembilan belas saudara laki-lakinya dengan tali sutra.

Mungkin peristiwa brutal inilah yang menyebabkan perubahan hati putra Mehmed III, Ahmed I.

Ia menolak membunuh saudaranya yang cacat mental, Mustafa I, setelah menjadi sultan. Sebaliknya, Mustafa I dijadikan tahanan rumah di Istana Topkapi. Sejak itu lahirlah sistem kafes.

Kekaisaran Ottoman menyadari bahwa mengurung semua ahli waris laki-laki dengan nyaman jauh lebih baik daripada langsung membunuh mereka.

Terutama bila sultan yang tidak memiliki ahli waris laki-laki meninggal mendadak. Dalam hal ini, ahli waris tertua berikutnya dibebaskan dari “penjara” dan diangkat menjadi takhta.

Seorang pangeran dipindahkan ke kafes sejak usia 8 tahun dan tetap di sana sampai dia meninggal karena usia tua atau dipanggil naik takhta.

Pintu kafes dijaga sepanjang hari, namun para pangeran menikmati kebebasan tertentu. Mereka mempunyai akses terhadap guru dan diperbolehkan memiliki selir. Tapi mereka tidak diperbolehkan menikah atau menjadi ayah dari seorang anak.

Isolasi yang membuat gila

Sistem kafes memiliki banyak kekurangan yang tidak pernah terselesaikan sepenuhnya. Sebelum diperkenalkan, semua calon sultan diajari cara menjadi penguasa.

Mereka akan diberikan sebuah provinsi untuk memerintah di bawah bimbingan para mentor. Dengan demikian, mereka akan belajar bagaimana memerintah dan mengatur suatu negeri.

Hal ini menghasilkan beberapa sultan berkemampuan tinggi yang akan menaklukkan sebagian besar wilayah Eropa dan memperluas Kekaisaran Ottoman.

“Narapidana” yang dikurung pada dasarnya terisolasi dari dunia luar. Satu-satunya teman mereka hanyalah budak dan pelayan, dan terkadang juga selir.

Mereka biasanya tidak diperbolehkan menjadi ayah dari keturunannya. Oleh karena itu mereka hanya diberi selir mandul jika diizinkan. Mereka tidak punya gagasan tentang kehidupan di luar kafes atau urusan dunia atau kekaisaran.

Dengan dimulainya sistem kafes, anak-anak dikurung di bagian sayap istana. Mereka menjadi tahanan rumah dan diawasi terus-menerus. (Public Domain)

Dengan dimulainya sistem kafes, anak-anak dikurung di bagian sayap istana. Mereka menjadi tahanan rumah dan diawasi terus-menerus.

Hal ini mengakibatkan beberapa sultan tidak kompeten dan bahkan lebih banyak lagi sultan yang gila.

Isolasi selama bertahun-tahun membuat banyak dari mereka yang dipenjara menjadi gila. Alhasil, sebagian dari mereka tidak mampu menjalankan tugasmua sebagai sultan ketika saatnya tiba.

Murad IV, yang naik takhta pada tahun 1623 setelah kematian Mustafa I, memerintah dengan tangan besi.

Beliau melarang minum kopi dan melarang penggunaan minuman keras seperti alkohol dan tembakau. Siapa pun yang kedapatan melanggar aturan tersebut akan dipukuli habis-habisan. Pelanggar berulang dieksekusi dengan cara ditenggelamkan di Bosporus.

Murad IV dilaporkan berpatroli di jalan-jalan dan kedai minuman di Istanbul pada malam hari dengan menyamar mengawasi penegakan hukum.

Jika dia melihat seseorang sedang minum kopi atau merokok, dia akan langsung melepaskan penyamarannya. Sang sultan memenggal kepala pelaku dengan tangannya sendiri.

Kadang-kadang, Murad IV duduk di sebuah kios di tepi perairan dekat Istana Seraglio. Dari sana ia menembakkan panah ke pejalan kaki atau tukang perahu yang mendayung terlalu dekat dengan kompleks kekaisarannya.

Sering kali pada tengah malam dia keluar dari tempat tinggalnya dan dengan pedang terhunus berlari melintasi jalan-jalan tanpa alas kaki. Ia membunuh siapa pun yang menghalanginya.

Banyak dari mereka mencapai usia tua di dalam kafes dan meninggal di sana. Dan masih banyak lagi yang mengalami gangguan psikologis serius, tenggelam dalam kegilaan dan depresi.

Beberapa dari mereka bunuh diri. Sementara yang lain menjadi begitu terasing dari gaya hidup di luar sehingga mereka tidak mampu memerintah Kekaisaran Ottoman.

Sistem kafes bertahan lama setelahnya. Bahkan Sultan Ottoman terakhir, Mehmet VI, yang memerintah dari tahun 1918 hingga 1922, keluar dari kafes.

Dia menghabiskan waktu terlama di dalamnya dari semua Sultan - 56 tahun kurungan yang luar biasa. Sang sultan mudah dikenali dengan wajah lemah dan putus asa.

Kekaisaran Ottoman memang mempunyai situasi yang aneh dalam garis suksesinya, lebih buruk daripada istana lainnya. Seorang sultan bisa memiliki rata-rata antara 10 dan 15 anak laki-laki dan kadang-kadang lebih.

Kondisi ini jelas menunjukkan adanya masalah dalam suksesi. Kafes merupakan sistem yang efektif dalam melestarikan garis keturunan Kekaisaran Ottoman dan menghasilkan sultan.

Di sisi lain, sistem tersebut juga cukup kasar dan kejam. Laki-laki menghabiskan seluruh hidup mereka, atau setidaknya beberapa dekade, dikurung di sayap istana kecil.

Mereka berkembang secara filosofis dan artistik, atau menjadi gila dan ingin bunuh diri. Hal ini membuktikan bahwa meskipun laki-laki ini punya akses terhadap selir, kenyamanan, dan seni, mereka tidak punya kontak lebih lanjut dengan dunia di luar “kandang”.

Meski mewah, istana itu berubah menjadi sangkar emas bagi para pangeran di Kekaisaran Ottoman.