Nationalgeographic.co.id— Dinasti Umayyah menandai babak baru dalam sejarah Islam, menjadi kekhalifahan kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Didirikan setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, khalifah terakhir Khulafaur Rasyidin, dinasti ini dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, atau Muawiyah I, yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Syam di bawah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam latar belakang berdirinya Dinasti Umayyah.
Dimulai dari Krisis di Era Khulafaur Rasyidin
Melalui buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah (2016), Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, seperti dilansir Kompas.com, menjelaskan bahwa Dinasti Umayyah, kekhalifahan kedua dalam sejarah Islam, lahir dari situasi penuh gejolak di masa Khulafaur Rasyidin.
Era yang awalnya ditandai kemakmuran dan kesejahteraan di bawah kepemimpinan Utsman bin Affan, berubah menjadi periode pergolakan akibat kebijakan kontroversialnya.
Pemberian jabatan strategis kepada keluarga Dinasti Umayyah oleh Utsman memicu perpecahan dan pemberontakan.
Puncaknya pada tahun 655 M, sekitar 1.500 orang mengepung Madinah menuntut perubahan. Situasi kian memanas, Utsman pun gugur dibunuh demonstran.
Ali bin Abi Talib (655-660 M) naik tahta sebagai khalifah berikutnya.
Dia berusaha meredakan situasi dengan menarik kembali para amir yang diangkat Utsman.
Namun, di saat bersamaan, tuntutan balas dendam atas kematian Utsman terus berkobar.
Baca Juga: Kisah Pasukan Tariq bin Ziyad Menaklukkan Spanyol di Bulan Ramadan
Pertempuran pertama antar umat Islam, Perang Jamal atau Perang Unta, meletus di tahun 656.
Perang ini melibatkan Ali melawan Aisyah, janda Nabi Muhammad SAW, dan Talhah bin Zubair.
Seruan balas dendam lain datang dari Muawiyah I, gubernur Syam yang diangkat Utsman.
Perang Shiffin pun tak terelakkan, mempertemukan Ali dan Muawiyah dalam pertempuran sengit.
Perang ini berakhir dengan tahkim (penyelesaian perkara) yang justru tidak menyelesaikan masalah.
Bahkan memicu perpecahan menjadi tiga golongan: Muawiyah, Syiah, dan Khawarij.
Kematian Ali akibat tragedi di tangan Khawarij menandai berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
Kekosongan kepemimpinan ini membuka jalan bagi Muawiyah untuk mendirikan Dinasti Umayyah, memulai babak baru dalam sejarah Islam.
Berdirinya Dinasti Umayyah
Lahirnya Dinasti Umayyah tak lepas dari peristiwa penting dalam sejarah Islam, Ammul Jamaah.
Setelah wafatnya Ali, kepemimpinan sempat dilanjutkan oleh putranya, Hasan.
Namun, demi meredam perpecahan umat Islam yang kian memanas sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, Perang Jamal, Pertempuran Shiffin, wafatnya Ali, hingga pengkhianatan Khawarij dan Syi'ah, Hasan memilih berdamai dengan Muawiyah I.
Baca Juga: Pertempuran Guadalete dan Islamisasi Spanyol dalam Sejarah Dunia
Perdamaian ini, yang dikenal sebagai Ammul Jamaah (tahun persatuan), ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Hasan kepada Muawiyah I di Kufah.
Sejak saat itu, dimulailah era baru dalam sejarah Islam, yaitu kekuasaan Bani Umayyah.
Berbeda dengan Khulafaur Rasyidin yang menerapkan sistem demokrasi, Bani Umayyah mengubahnya menjadi monarki, sistem pemerintahan berbentuk kerajaan.
Peralihan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam, menandai pergeseran sistem kepemimpinan dan awal mula kekuasaan dinasti dalam Islam.
Dinasti Umayyah, dengan sistem monarki yang mereka terapkan, akan membawa pengaruh besar dalam perjalanan peradaban Islam selama lebih dari tiga abad.
Peirode ini terbagi menjadi dua periode utama: periode pertama antara 661-750 dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahan, dan periode kedua antara 756-1031 di Cordoba, Spanyol.
Dinasti Umayyah, dengan kisah panjang dan pengaruhnya yang besar, menjadi bukti nyata dinamika dan kompleksitas sejarah Islam.
Memahami latar belakang berdirinya Dinasti Umayyah membuka jendela untuk memahami perkembangan Islam dan peradabannya di masa lampau.