Nationalgeographic.co.id—"Saya dulu adalah pemandu museum," ujar M. Rosyid Ridlo, Kepala Unit Museum Benteng Vredeburg. Ketika itulah ia menjumpai kenyataan getir bahwa "masyarakat mengira bangunan benteng ini tidak ada museumnya."
Atas alasan itulah saat ini Rosyid ingin membuka lebar-lebar akses museum bagi publik. Ia mengungkapkannya dalam santap malam bersama para jurnalis di sebuah kedai di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pembicaraan malam itu seputar riwayat Benteng Vredeburg dan upayanya meretas zaman.
Setiap bangunan pertahanan memiliki perwajahan yang sejatinya dirancang untuk memengaruhi kawasan sekitarnya. Benteng warisan VOC ini dirancang oleh Frans Haak, menggantikan bangunan pertahanan sebelumnya yang terbuat dari kayu. Pembangunannya bermula pada 1760 dan selesai pada 1790.
Sejauh ini tidak banyak yang kita ketahui tentang sang arsitek, Frans Haak. Nationaal Archief di Den Haag, Belanda, menyimpan secuil arsip dirinya sebagai seorang asal Ceulen yang mendaftar sebagai pegawai VOC di Delft. Pada November 1746, ia berlayar ke Batavia menggunakan kapal Overschie dan sampai ke kota markas VOC itu pada Juni 1747. Ia wafat pada 12 September 1791.
"Fort Rustenburg" demikian nama ketika rampung dibangun, bermakna "benteng peristirahatan". Sementara itu orang-orang Jawa pernah menjulukinya sebagai "Loji Gede". Setelah kecamuk Perang Jawa, benteng ini berganti nama menjadi "Fort Vredeburg" yang bermakna "benteng perdamaian".
Benteng ini memiliki kapasitas 500 penghuni. Ketika benteng ini masih digunakan sebagai pertahanan militer pada masa Hindia Belanda, siapapun bisa menyaksikan dinding-dindingnya yang tebal dan kekar dengan empat kubunya yang tampak angkuh dan seram. Parit yang mengelilinginya dipersiapkan sebagai penghalang jangkauan serangan musuh. Sejak awal pembangunannya, benteng ini dirancang untuk berjarak dengan lingkungan luarnya.
Pada awalnya, sebagai instalasi militer, benteng ini merupakan bangunan tertutup—tidak sembarang orang bisa memasukinya. Bahkan, lebih dari dua abad setelah pembangunannya, pun tidak semua orang mengetahui apa sejatinya di balik dinding yang mengitarinya. Sampai-sampai, setelah peresmiannya sebagai museum pada awal 1990-an, masih ada saja warga atau pejalan yang ragu untuk menyinggahinya.
Singkat kata, benteng nan malang ini kerap terlewat dari kunjungan para pelawat, kendati berada di pusat denyut gelumat—Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Vredeburg telah tertelan kegaduhan kotanya sendiri.
Boleh dikata, Fort Vredeburg merupakan saudara kembar Fort Vastenburg di Surakarta—yang kini nasibnya kurang beruntung. VOC membangun lini pertahanan benteng di pesisir dan pedalaman Jawa pasca-Geger Pacinan yang berkecamuk 1740-1743. Kita mengenang peristiwa itu sebagai pemberontakan persekutuan Cina dan Jawa yang meruntuhkan Kartasura dan nyaris mengusir VOC dari Tanah Jawa.
Setelah pemberontakan itu mampu diberangus, VOC memperkuat benteng yang sudah dimilikinya dan membangun benteng pertahanan baru. Sederet benteng-benteng yang dibangun kongsi dagang itu di Jawa bagian tengah adalah di Fort Pagger di Tegal, Fort Beschermer di Pekalongan, Fort Vijhoek di Semarang, Fort Ontmoeting di Ungaran, Fort Hersteller di Salatiga, Fort Vastenburg di Surakarta, Fort Engelenburg di Klaten, Fort Veldwachter di Boyolali, dan Fort Rustenburg di Yogyakarta. Sebagian benteng-benteng itu telah musnah, namun sebagian mampu selamat menyintas zaman.
Fort Vredeburg menjadi saksi dan jejak sejarah permukiman Eropa pada awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Benteng ini menjadi salah satu tengara kota karena perwajahannya sekaligus sebagai bangunan Eropa tertua di sini.