Revitalisasi Fort Vredeburg: Ikhtiar Menghidupkan Kembali Kastel Tua Pengikat Jiwa Kota

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 30 April 2024 | 19:02 WIB
Sebuah bangunan dua lantai di dalam kompleks Fort Vredeburg yang sedang diperelok. Museum Benteng Vredeburg menutup operasionalnya selama awal Maret sampai pertengahan Mei 2024. Kastel tua warisan VOC ini tengah direvitalisasi supaya lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat luas. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—"Saya dulu adalah pemandu museum," ujar M. Rosyid Ridlo, Kepala Unit Museum Benteng Vredeburg. Ketika itulah ia menjumpai kenyataan getir bahwa "masyarakat mengira bangunan benteng ini tidak ada museumnya." 

Atas alasan itulah saat ini Rosyid ingin membuka lebar-lebar akses museum bagi publik. Ia mengungkapkannya dalam santap malam bersama para jurnalis di sebuah kedai di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pembicaraan malam itu seputar riwayat Benteng Vredeburg dan upayanya meretas zaman.

Setiap bangunan pertahanan memiliki perwajahan yang sejatinya dirancang untuk memengaruhi kawasan sekitarnya. Benteng warisan VOC ini dirancang oleh Frans Haak, menggantikan bangunan pertahanan sebelumnya yang terbuat dari kayu. Pembangunannya bermula pada 1760 dan selesai pada 1790.  

Sejauh ini tidak banyak yang kita ketahui tentang sang arsitek, Frans Haak. Nationaal Archief di Den Haag, Belanda, menyimpan secuil arsip dirinya sebagai seorang asal Ceulen yang mendaftar sebagai pegawai VOC di Delft. Pada November 1746, ia berlayar ke Batavia menggunakan kapal Overschie dan sampai ke kota markas VOC itu pada Juni 1747. Ia wafat pada 12 September 1791.

"Fort Rustenburg" demikian nama ketika rampung dibangun, bermakna "benteng peristirahatan". Sementara itu orang-orang Jawa pernah menjulukinya sebagai "Loji Gede".  Setelah kecamuk Perang Jawa, benteng ini berganti nama menjadi "Fort Vredeburg" yang bermakna "benteng perdamaian". 

Benteng ini memiliki kapasitas 500 penghuni. Ketika benteng ini masih digunakan sebagai pertahanan militer pada masa Hindia Belanda, siapapun bisa menyaksikan dinding-dindingnya yang tebal dan kekar dengan empat kubunya yang tampak angkuh dan seram. Parit yang mengelilinginya dipersiapkan sebagai penghalang jangkauan serangan musuh. Sejak awal pembangunannya, benteng ini dirancang untuk berjarak dengan lingkungan luarnya.

Revitalisasi sisa 'jagang' atau parit yang mengelilingi Fort Vredeburg. Rencananya parit ini didesain menjadi kolam air mancur yang menari mengikuti alunan musik. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada awalnya, sebagai instalasi militer, benteng ini merupakan bangunan tertutup—tidak sembarang orang bisa memasukinya. Bahkan, lebih dari dua abad setelah pembangunannya, pun tidak semua orang mengetahui apa sejatinya di balik dinding yang mengitarinya. Sampai-sampai, setelah peresmiannya sebagai museum pada awal 1990-an, masih ada saja warga atau pejalan yang ragu untuk menyinggahinya.

Singkat kata, benteng nan malang ini kerap terlewat dari kunjungan para pelawat, kendati berada di pusat denyut gelumat—Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Vredeburg telah tertelan kegaduhan kotanya sendiri. 

Boleh dikata, Fort Vredeburg merupakan saudara kembar Fort Vastenburg di Surakarta—yang kini nasibnya kurang beruntung. VOC membangun lini pertahanan benteng di pesisir dan pedalaman Jawa pasca-Geger Pacinan yang berkecamuk 1740-1743. Kita mengenang peristiwa itu sebagai pemberontakan persekutuan Cina dan Jawa yang meruntuhkan Kartasura dan nyaris mengusir VOC dari Tanah Jawa. 

Setelah pemberontakan itu mampu diberangus, VOC memperkuat benteng yang sudah dimilikinya dan membangun benteng pertahanan baru. Sederet benteng-benteng yang dibangun kongsi dagang itu di Jawa bagian tengah adalah di Fort Pagger di Tegal, Fort Beschermer di Pekalongan, Fort Vijhoek di Semarang, Fort Ontmoeting di Ungaran, Fort Hersteller di Salatiga, Fort Vastenburg di Surakarta, Fort Engelenburg di Klaten, Fort Veldwachter di Boyolali, dan Fort Rustenburg di Yogyakarta. Sebagian benteng-benteng itu telah musnah, namun sebagian mampu selamat menyintas zaman.

Fort Vredeburg menjadi saksi dan jejak sejarah permukiman Eropa pada awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Benteng ini menjadi salah satu tengara kota karena perwajahannya sekaligus sebagai bangunan Eropa tertua di sini.

Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta

Prioritas Revitalisasi 

Kini Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menjadi salah satu unit di bawah Indonesian Heritage Agency (IHA) yang mendapat prioritas utama dalam revitalisasi. Semenjak awal Maret, museum ini menutup kegiatan operasionalnya untuk menjalani revitalisasi dan transformasi yang menyeluruh selama tiga bulan. Kelak, pengunjung akan merasakan perwajahan, layanan, dan pengalaman baru dari museum ini pada Mei.

“Sebagai bagian dari komitmen kami untuk mengoptimalkan standar pelayanan dan pengelolaan museum yang profesional, Museum Benteng Vredeburg sedang melalui sejumlah proyek revitalisasi yang bertujuan memperbaiki fasilitas serta meningkatkan pengalaman pengunjung," demikian ungkap Plt. Kepala Indonesian Heritage Agency (IHA), Ahmad Mahendra, yang dikutip dari siaran pers bertajuk Transformasi Museum Benteng Vredeburg: Optimalisasi Warisan Sejarah dan Ruang Publik yang Inklusif.

Indonesian Heritage Agency merupakan Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya dalam naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Badan inilah yang bertanggung jawab atas pengelolaan 18 museum dan galeri, serta 34 situs cagar budaya nasional kita. Kendati dibentuk pada 2022, badan ini baru diresmikan pada 1 September 2023.

Mahendra mengedepankan konsep reimajinasi museum, Indonesian Heritage Agency berkomitmen untuk mengubah persepsi dan fungsi tradisional museum, dan menjadikannya ruang komunal yang dinamis. Tujannya, demi mendorong interaksi antara pengunjung dengan museum itu sendiri. 

Untuk mendukung proses transformasi, Valentina Beatrix, Ketua Komunikasi dan Kemitraan Museum dan Cagar Budaya, mengungkapkan, "Kami mempunyai keleluasaan untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak manapun tanpa mengutamakan keuntungan dengan prinsip efisiensi, prinsip kolaborasi dan kerja sama," ujar Valentina, "untuk memajukan pemanfaatan kebudayaan dan perlindungan."

Seorang pekerja sedang menurunkan muatan paving block di dalam kompleks Museum Benteng Vredeburg. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Ia menambahkan Indonesian Heritage Agency menerapkan konsep tiga strategi utama: Redesign, Reprogramming, dan Reinvigorating.

Valentina mengharapkan museum dapat melakukan redesign atau merancang ulang supaya relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini.

Salah satu contohnya, yakni mempercantik ruang diorama melalui digital relief, pengembangan teknologi dan label pameran dengan media layar sentuh pada 55 diorama karya pematung sohor, Edi Sunarso. 

Museum Benteng Vredeburg berkomitmen dalam revitalisasi penyempurnaan layanan dan penambahan digitalisasi, demikian lanjut Valentina. Harapannya, kelak museum mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pengunjung, termasuk penataan kembali narasi kuratorial.

Revitalisasi berikutnya berkenaan dengan reprogramming atau menyajikan program-program baru bersama komunitas yang memiliki kemasan lebih segar bagi pengunjung masa kini. 

Baca Juga: Perjanjian Giyanti dan Terbelahnya Mataram dalam Sejarah VOC

Museum-museum di bawah naungan Indonesian Heritage Agency juga akan menekankan pada penguatan kelembagaan termasuk pengembangan sumber daya manusia dalam reinvigorating atau menyegarkan kembali. Menurutnya, tanpa pengembangan sumber daya manusia, program-program itu tidak akan berjalan dengan baik. 

Pertanyaan berikutnya, mengapa Museum Benteng Vredeburg menjadi prioritas dalam program revitalisasi ini? Valentina memberi penjelasan, "Vredeburg terpilih menjadi salah satu prioritas utama unit museum dan cagar budaya karena Vredeburg memiliki sejarah yang luar biasa dalam jejak rekam sejarah kebudayaan di Indonesia."

Salah satu aspek mengapa museum ini mendapatkan prioritas utama dalam revitalisasi adalah keberhasilan pencapaian target 512 ribu pengunjung selama 2023, yang merupakan pencapaian tertinggi sejak museum ini diresmikan. Rosyid menambahkan, "Apresiasi masyarakat terhadap Museum Benteng Vredeburg tergolong sangat baik."

Menurut Rosyid, aspek lainnya yang menjadi perhatian Indonesian Heritage Agency kepada museum ini adalah "Museum Benteng Vredeburg menempati bangunan cagar budaya berupa benteng kolonial Belanda yang merupakan bangunan paling tua [yang dibangun] kolonial Belanda yang ada di Yogyakarta—yang masih terlestarikan dan termanfaatkan."

Namun, perkara yang tak kalah penting adalah pengakuan UNESCO atas Sumbu Filosofi Kota Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia. "The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks," demikian tajuk dalam daftar warisan dunia, yang memiliki makna universal. Sumbu filosofis itu menghubungkan Gunung Merapi dan Laut Selatan melalui garis lurus  imajiner yang melintasi Tugu Pal Putih, Keraton, dan Panggung Krapyak. Fort Vredeburg berada di tepian Sumbu Filosofi itu.

Pekarangan sisi selatan Museum Benteng Vredeburg, yang awalnya taman kini sedang dialihfungsikan sebagai tempat parkir. Kota Yogyakarta membutuhkan kantong-kantong parkir untuk mendukung konsep pedestrian di kawasan Malioboro. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sejauh mana revitalisasi ini memperhatikan aspek pelestarian, baik bangunan maupun tata ruang benteng?

"Pelestarian merupakan sebuah proses panjang terkait dengan pelaksanaan program ini," jawab Rosyid. Konsep revitalisasi ini telah didiskusikan dan dipetakan dengan para  pemangku kepentingan utama yang terkait dengan bangunan cagar budaya—ahli arkeologi, Dinas Kebudayaan, Dinas Pekerjaan Umum. Pekerjaan revitalisasi museum ini telah mempertimbangkan aspek-aspek pelestarian tersebut. Saat pelaksanaan revitalisasi pun harus didampingi tenaga ahli. 

Gagasan Menghidupkan Kembali Tengara Kota

"Imajinasi baru, perwajahan baru Museum Benteng Vredeburg," kata Rosyid membuka salindia pemaparannya dalam taklimat media yang digelar dalam kompleks benteng. Pemaparan itu melatarbelakangi gagasan dan upaya revitalisasi yang saat ini masih bergulir.

"Apa yang kita lakukan basic-nya adalah masukan, kritik, dan saran dari para stakeholder kita—komunitas, kedinasan, dan pers." Berdasar masukan itu setidaknya terdapat tiga kata dalam prioritas museum ini, "Pertama, hijau. Kedua, sejarah. Ketiga, komunitas."

Kata "hijau" merujuk pada aspek pengelolaan taman dan lingkungan—termasuk sampah—di dalam kawasan benteng. Kata "sejarah" merujuk pada benteng dan monumen yang menjadi penanda salah satu situs sejarah kota dan sejarah nasional dalam narasi peristiwa yang telah diperingati sebagai Hari Penegakan Kedaulatan. Kata "komunitas" merujuk pada dinamika museum bersama komunitas sejarah dan budaya.

Baca Juga: Inilah Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta Karya Seniman VOC

Revitalisasi yang tengah bergulir itu akan memunculkan perwajahan baru dalam sarana dan prasarana museum, ruang diorama, gerai suvenir museum, ruang pertemuan naratama, ruang anak, kawasan yang ramah difabel dan lansia, serta ramah lingkungan. Namun, tujuan revitalisasi itu tidak sekadar menarik pengunjung untuk mengeksplorasi sisi dalamnya, tetapi juga sisi luar benteng.

Kota Yogyakarta memiliki segelintir wisata malam—Alun-alun Utara dan Selatan, Tugu Pal Putih, dan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Program wisata malam yang digagas Rosyid bersambut dengan program pemerintah kota yang menjadikan Maliboro sebagai kawasan pedestrian. Entah kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, tempat-tempat itu berada di Sumbu Filosofis Kota Yogyakarta.

Museum ini memiliki cita-cita untuk menggelar acara bertajuk Wisata Malam Vredeburg dengan menggunakan perpaduan seni dan teknologi, yang kelak memulai pentas perdananya pada Juni 2024.

Demi mendukung cita-cita itu museum akan menempatkan kafe, pertunjukan air mancur menari di sepanjang sisa parit benteng, dan video mapping yang menggunakan tembok benteng sebagai media. Selain itu anjungan di bastion barat daya yang didesain untuk pengunjung yang ingin menyaksikan bentang keindahan gemerlap dan gelumat Titik Nol Kilometer Kota.

Pusat keramaian itu berlatar arsitektur gedung-gedung bersejarah: NILLMIJ dan Kantor Pos Besar yang bercorak Art-Deco, serta Javasche Bank yang bercorak Neoklasik.

Beberapa pekerja sedang merancang besi-besi untuk beton bertulang di kawasan Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, yang berada di pekarangan luar Museum Benteng Vredeburg. Di sinilah setiap bulan para pegiat komunitas dan duta budaya berpentas dalam acara Selasa Wagen. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Gelegar visual dalam video mapping yang bernuansa pendidikan dan hiburan akan menjadi pusat perhatian para pejalan di Titik Nol Kilometer.

Kita memang tidak banyak berharap bahwa pemirsa tayangan itu akan mendapatkan pengetahuan utuh tentang histori kota, namun setidaknya tayangan video mapping mampu memberikan pengalaman yang memikat. Kelak, pengalaman itu bersemayam dalam memori mereka yang menjadi sebuah media untuk pewarisan betapa pentingnya keberadaan museum bagi kehidupan manusia.

"Kami melihat potensi keberadaan benteng memang sangat strategis sekali, berada di kawasan Nol Kilometer Yogya," kata Rosyid. "Dan, nol kilometer yogya itu dapat dikatakan kawasan yang tanpa ada tidurnya." Revitalisasi ini juga merancang Museum Benteng Vredeburg menjadi tengara atau penanda kota, yang selama ini kerap terlewat sebagai spot terbaik untuk berfoto bagi para pelancong.   

Pekerjaan revitalisasi di depan pintu gerbang utama Fort Vredeburg, benteng yang menyisakan jejak permukiman Eropa pada awal berdirinya Kota Yogyakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurut tim Museum Benteng Vredeburg yang menghimpun survei dari warga, umumnya mereka mengunjungi museum dalam dua kesempatan: saat masih bersekolah dan saat mengantar anaknya. "Tetapi kita ingin membuat perubahan terkait dengan budaya itu," kata Rosyid. "Nantinya mereka ke museum karena mereka benar-benar membutuhkan." 

Ia menambahkan, "Kita saling memberikan masukan ke masyarakat karena lembaga pendidikan itu tidak hanya sekolah, tetapi museum juga sebagai lembaga pendidikan." Apabila masyarakat berkunjung ke mal bisa sebanyak dua atau tiga kali dalam sebulan, setidaknya mereka bisa berkunjung ke museum empat sampai lima kali dalam sebulan. Peningkatan kunjungan ke museum bisa tercapai apabila museum merespons mereka dengan dinamika museum.

Atas dasar itulah museum ini senantiasan mendekatkan dinamikanya bersama komunitas. Sejak 2012 museum ini mendirikan lembaga nonformal Forum Komunitas Museum Benteng. Tujuannya, membuka jaringan dan memberi ruang kepada komunitas-komunitas untuk berkegiatan dan menyemarakkan museum sekaligus tampil sebagai agen museum.

Setiap peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, Museum Benteng Vredeburg turut mendukung komunitas reka ulang sejarah Djokjakarta 1945. Komunitas ini menghimpun pegiat reka ulang sejarah dari berbagai kota di Indonesia untuk tampil pada aksi teatrikal di sepanjang Maliboro, termasuk di lingkungan museum.

Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan

Sejatinya gagasan museum sebagai pusat kegiatan komunitas telah digulirkan oleh salah satu sesepuh Kota Yogyakarta, yang juga tokoh pendidikan nasional kita. Ki Hajar Dewantara (1889-1959) pernah bercita-cita menjadikan benteng ini sebagai pusat kebudayaan Nusantara.

Apakah cita-cita itu terwujud? Rosyid dengan bangga mengatakan bahwa saat ini Museum Benteng Vredeburg telah menjadi bagian dari pusat kebudayaan Nusantara. Sebuah program yang didukung Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dana Keistimewaan bertajuk "Selasa Wagen" digelar secara berkala setiap hari pasaran Selasa Wage di sudut pekarangan luar Fort Vredeburg. 

Ajang ekspresi budaya itu persisnya berada di Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, salah satu spot terbaik untuk aktivitas komunitas dan kebudayaan di kawasan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Berbagai mahasiswa dari penjuru Nusantara—yang sedang menyelesaikan studi di Kota Pelajar ini—secara bergiliran berpentas sebagai duta-duta budaya yang didukung oleh pemerintah daerah masing-masing. 

M. Rosyid Ridlo, Kepala Unit Museum Benteng Vredeburg, di depan bangunan bergaya arsitektur abad ke-18, yang kelak digunakan sebagai gerai yang menyajikan suvenir khas Museum Benteng Vredeburg. Dia berharap bahwa setelah melalui revitalisasi, pengunjung museum tidak hanya 30 menit atau satu jam, tetapi bisa mencapai dua sampai empat jam. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Bersama Warga Menemukan Kembali Jiwa Kota

Jiwa kota bersemayam di bangunan-bangunan tua dan makam-makam leluhur kota. Kita bisa mengenali karakter sebuah kota melalui gaya arsitektur dan tata ruangnya. Keduanya menjadi bagian tengara tentang jejak peradaban dan semangat yang pernah membangun sebuah kota.

Fort Vredeburg dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan historis. Sisi utaranya adalah pasar dan pecinan, sisi selatannya adalah perkantoran tua, sisi baratnya adalah Loji Kebon yang kini Istana Kepresidenan, dan sisi timurnya adalah permukiman Eropa yang pernah dijuluki Loji Kecil.    

Dari benteng ini setidaknya terdapat dua peristiwa penting yang mengubah sejarah Yogyakarta sekaligus menahbiskannya sebagai kota perjuangan. Pertama, peristiwa penyerbuan Inggris ke Yogyakarta pada Juni 1812—yang dikenang sebagai Geger Sepehi. Sebuah peristiwa sejarah yang memalukan karena untuk pertama kalinya kolonialisme menaklukkan keraton di Jawa, sekaligus menjarah harta dan pustakanya. Kedua, periode Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik sampai peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kini diperingati sebagai Hari Penegakan Kedaulatan. Tanpa Yogyakarta boleh jadi Republik ini tak pernah ada.

Kita bisa mengenali perkembangan sebuah kota dari perwajahan bangunannya—permukiman, perkantoran, dan fasilitas publik. Setiap zaman memiliki cirinya sendiri. Kita pun bisa memunculkan kembali jiwa kota yang kita huni melalui pencarian histori dan jejak budaya dalam perbincangan-perbincangan antarkomunitas warganya. 

 

Salah satu aspek revitalisasi Museum benteng Vredeburg adalah mempercantik ruang-ruang dioramanya. Museum ini memiliki 55 diorama adikarya pematung Edi Sunarso. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Museum sebagai pusat kebudayaan bisa turut berperan memberi ruang kepada komunitas-komunitas untuk terlibat dalam menemukan kembali jiwa atau jati diri sebuah kota. Keberadaan museum membentuk pemahaan sadar budaya dan sadar sejarah. 

Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang kerap disebut-sebut sebagai pujangga terakhir di Jawa, pernah bersyair "Wong nemoni wolak-walik ing jaman" sebagai pertanda suatu masa yang terbalik-balik. Demikian juga imaji untuk benteng ini berubah seiring pergantian zaman. Dahulu, sang arsitek Frans Haak merancang benteng ini dengan tujuan pertahanan militer dan menempatkannya berjarak bagi lingkungan luarnya. Hari ini Rosyid berupaya memberi narasi histori dan mendekatkan benteng ini dengan lingkungan luar—sedekat-dekatnya, semesra-mesranya.

"Keberadaan museum itu bukan hanya untuk kebutuhan sekarang, tetapi museum ada sebagai modal untuk generasi muda untuk menatap masa depan," kata Rosyid. "Jadi konteks museum jangan dianggap konteks masa lalu, sejatinya konteks museum itu konteksnya masa depan."

Apakah revitalisasi dan transformasi Fort Vredeburg akan mengembalikan pamornya, atau justru menyurutkannya? Kita menantikan kabar pengalaman para pengunjungnya pada pertengahan tahun ini.