Benarkah Orang Mesir Kuno Suka Menikahi Anak dan Saudara Kandung?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 14 Mei 2024 | 16:03 WIB
Kelainan fisik pada firaun Tutankhamun diyakini terjadi karena perkawinan sedarah orang tuanya. Benarkan orang Mesir kuno suka menikahi saudara atau anak kandung sendiri? (Ali Eminov/Flickr)

Pernikahan kakak-adik kandung seperti Osiris dan Isis

Banyak bangsawan Mesir mengadakan pernikahan kakak-adik kandung di kerajaan untuk meniru praktik Osiris dan Isis, dua dewa Mesir yang merupakan saudara kandung yang menikah satu sama lain.

“Osiris adalah salah satu dewa terpenting dalam agama Mesir. Istrinya, Isis, juga merupakan saudara perempuannya menurut beberapa kosmogoni Mesir kuno,” jelas Leire Olabarria, dosen Egyptology di University of Birmingham di Inggris.

Oleh karena itu, para bangsawan melakukan pernikahan kerabat dekat untuk meniru Osiris dan Isis. Para bangsawan tersebut hendak melestarikan citra mereka sebagai dewa di bumi.

Campagno setuju bahwa pernikahan Osiris-Isis membantu menjelaskan mengapa pernikahan kakak-adik dipraktikkan oleh keluarga kerajaan Mesir.

Di kalangan non-kerajaan, pernikahan saudara laki-laki dan perempuan tampaknya belum meluas hingga masa pemerintahan Romawi, ketika catatan menunjukkan ada sejumlah besar pernikahan saudara kandung, kata para ahli.

Olabarria memperingatkan bahwa mungkin sulit untuk mendeteksi pernikahan saudara kandung setelah dimulainya Kerajaan Baru (sekitar tahun 1550 SM hingga 1070 SM) karena adanya perubahan dalam penggunaan kata-kata Mesir.

Misalnya, “Istilah 'snt' biasanya diterjemahkan sebagai 'saudara perempuan' tetapi di Kerajaan Baru istilah itu mulai digunakan untuk istri atau kekasih juga,” jelas Olabarria.

Orang-orang Mesir kuno - baik bangsawan maupun non-kerajaan – memang menikah dengan kerabat mereka. Namun rinciannya berbeda-beda menurut periode waktu dan kelas. ( Jan van der Crabben)

Era pemerintahan Romawi di Mesir

Mengapa jumlah pernikahan antara kakak dan adik kandung melonjak selama pemerintahan Romawi masih menjadi sumber perdebatan. Dalam buku berjudul The Family in Roman Egypt: A Comparative Approach to Intergenerational Solidarity and Conflict (Cambridge University Press, 2013), Sabine Huebner, seorang profesor peradaban kuno di University of Basel di Swiss, menulis bahwa banyak dari perkawinan sedarah atau pernikahan antarsaudara sebenarnya mungkin terjadi pada seorang laki-laki yang diadopsi ke dalam keluarga istrinya tidak lama sebelum pernikahan.

Orang tua yang tidak mempunyai anak laki-laki mungkin menginginkan sistem adopsi ini, karena ini berarti sang suami akan pindah ke rumah mereka dan bukannya meninggalkan anak perempuan mereka. Hal ini penting bagi stabilitas keuangan orang tua seiring bertambahnya usia, tulis Huebner. Praktik mengadopsi menantu secara resmi ini terjadi di masyarakat kuno lainnya, termasuk Yunani.

Pengangkatan calon menantu laki-laki adalah penjelasan terbaik mengapa pernikahan saudara laki-laki dan perempuan begitu sering terjadi di Mesir Romawi, kata Huebner. “Bagi saya, ini merupakan kasus yang lebih jelas ketimbang menyatakan masyarakat Mesir Romawi sebagai satu-satunya kasus dalam sejarah manusia di mana pernikahan saudara kandung dirayakan di kalangan masyarakat umum secara luas dan teratur,” tulisnya.

Beberapa pakar tidak yakin bahwa adopsi dapat menjelaskan mengapa pernikahan kakak-adik kandung sering terjadi di Mesir Romawi. “Kata-kata dalam kontrak pernikahan Mesir – ‘anak laki-laki dan perempuan dari ibu yang sama dan ayah yang sama’ – cukup mengesampingkan adopsi dalam semua kasus tersebut,” ujar Brent Shaw, seorang profesor emeritus klasik di Princeton University.

Ada kemungkinan penjelasan lain mengapa pernikahan kakak-adik kandung sering terjadi di Mesir Romawi. Salah satu kemungkinannya, kata Olabarria, adalah dorongan dari orang tua agar harta dan kekayaan tidak terpecah belah saat mereka meninggal.

Campagno mencatat bahwa praktik tersebut tampaknya mayoritas terjadi di sebagian besar populasi keturunan Yunani. Olabarria mengatakan pernikahan kakak-adik kandung mungkin telah digunakan sebagai semacam penanda identitas bagi warga Mesir keturunan Yunani.