Nationalgeographic.co.id—Ada banyak lukisan cadas figuratif di kawasan karst Sulawesi Selatan. Leang Tedongnge adalah salah satunya dengan lukisan cadas figuratif hewan babi berusia 45.000 tahun, dan menjadikannya yang tertua di dunia. Beritanya sempat menggemparkan dunia arkeologi ketika dipublikasikan pada 2021.
Lewat lukisan cadas, kita bisa mengetahui sejarah migrasi manusia. Selasa, 14 Mei 2024, tim penelitian kolaborasi Griffith University, Puslit Arkenas yang kini bergabung dengan BRIN, Universitas Hasanuddin, Institut Teknologi Bogor, dan Kemendikbudristek memperkirakan bahwa semua lukisan cadas punya keterikatan dengan arah migrasi.
Pendapat mereka berdasarkan analisis pada gaya menggambar cadas oleh leluhur manusia di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Australia Barat dan Wilayah Utara Australia. Hasil penelitian mereka dipublikasikan dalam jurnal Deep-Time Images in the Age of Globalization bertajuk "Some Implications of Pleistocene Figurative Rock Art in Indonesia and Australia" yang dipimpin oleh Adam Brumm dari Griffith University.
Rekan peneliti Adhi Agus Oktaviana dari BRIN Arkeologi, Bahasa dan Sastra, Pusat Riset Arkeometri memberikan petunjuknya dalam sebuah wawancara pada Sabtu, 18 Mei 2024. Dia menunjukkan, kemiripan ini tidak hanya dari segi figuratif yang menggambarkan hewan yang kental dengan lingkungan sekitarnya, namun juga pola melukisnya.
"[Lukisan cadas] di Kalimantan, Sulawesi, dan Australia ini ada pattern yang sama. Mungkin ada dari kelompok manusia yang sama, secara teknik," terang Adhi. "Lihat itu di Sulawesi dengan anoa dan babi, banteng di Kalimantan, dan kalau di Australia itu kangguru."
Dia merujuk pada gambar hewan yang memiliki garis tepi yang rapi dan bagian dalam objek berwarna berupa arsiran. Gaya gambar ini disebut oleh para peneliti sebagai naturalistic animal with stroke-infill (NASI). Arsiran warna lukisan cadas ini diartikan sebagai bulu atau detail terhadap hewan yang digambar leluhur manusia.
Berdasarkan penanggalan uranium (U-series), lukisan cadas di Lubang Jeriji Saleh, Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur berusia sekitar 37.200 hingga 40.000 tahun. Lukisannya terdiri dari banteng kalimantan (Bos javanicus lowi), stensil tangan dengan oker jingga, dan sosok hewan buruan.
Di Sulawesi Selatan, ada banyak gambar lukisan cadas. Selain Leang Tedongnge, gua yang disorot dalam penelitian ini adalah Leang Bulu' Sipong 4 dengan figur anoa berusia sekitar 41.000 tahun, Leang Barugayya dengan figur hewan berusia 35.700 tahun, babi berkutil di Leang Timpuseng dan Leang Balangajia berusia sekitar 35.500 tahun.
Sementara yang dicocokkan dari lukisan cadas di Australia terletak di Arnhem Land, Wilayah Utara Australia dan Kimberley di Australia Barat. Lukisan cadas di sana berupa kangguru dan babi. Situs tersebut dianggap sakral oleh penduduk asli Australia dan dijaga dengan baik dengan peraturan adat.
Rentang usia lukisan cadas di kedua situs Australia ini berkisar 13.000 hingga 17.000 tahun berdasarkan penanggalan karbon. "Angka usia ini berdasarkan carbon dating. Angkanya bisa jadi lebih tua kalau penanggalannya menggunakan uranium series. Cuma, karena faktor struktur guanya itu sandstone, sulit untuk ambil sampel untuk disurvei uranium," jelas Adhi.
Baca Juga: Limpahan Jejak Peradaban Purbakala dari Karst Bukit Bulan Jambi
Rute Migrasi Manusia Baru?
Dengan kemiripan gaya melukis berupa arsiran di garis, Brumm dan rekan-rekan berpendapat bahwa kesenian ini dibawa seiring dengan migrasi manusia.
"Kita dapat membayangkan sebuah skenario di mana penggambaran seni figuratif hewan gaya arsiran berasal dari Dataran Sunda (timur laut Kalimantan) dan menyebar melintasi Garis Wallace dengan pergerakan awal koloni manusia modern ke arah timur ke Sulawesi," terang para peneliti.
Adhi sendiri telah mengeksplorasi berbagai lukisan cadas yang ada di Sulawesi. Dia mengemukakan pendapat yang berbeda dari sebelumnya mengenai arah migrasi manusia.
Sebelumnya, diperkirakan manusia bergerak melalui Pulau Selayar sampai akhirnya tiba di Flores Nusa Tenggara Timur. Pandangan ini diperkuat dengan adanya temuan arkeologis berupa kerangka manusia berusia 9.300 sampai 8.600 tahun silam. Tulisan mengenai teori ini pernah dipublikasikan di National Geographic bertajuk "Manusia Bermigrasi dari Sulawesi Selatan ke Flores lewat Selayar" 2022 silam.
Penjelajahan Adhi ke Buton Tengah dan Buton Selatan, Sulawesi Tenggara justru menemukan berbagai gua dengan lukisan cadas geometris. Dengan demikian, dia menduga bahwa pergerakan migrasi manusia tidak melalui Selayar, melainkan melalui Sulawesi Tenggara, terus ke timur dan menduduki kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur bagian timur, termasuk Timor Leste.
"Dari sana menyebar bersama koloni yang berlayar di laut ke seluruh penjuru yang disebut 'Jalur Utara' menuju Sahul yang sebelumnya tidak berpenghuni, menyebabkan daratan di Papua Barat atau Kepulauan Aru," terang para peneliti.
Adhi menerangkan, pendapat pergerakan ini merujuk pada temuan arkeologis di Pulau Kisar, Maluku, dan Timor Leste. Hanya saja, belum ada gambar cadas arsiran garis di kawasan ini.
Koloni manusia kemudian bergerak ke arah barat daya di sepanjang pinggiran pesisir paparan Sahul kuno yang kini tenggelam. Dengan demikian, koloni manusia mencapai Arnhem Land sekitar 65.000 tahun yang lalu, para peneliti berpendapat.
"Apa jangan-jangan di Australia bisa duluan?" Adhi membuka kemungkinan lainnya. "Hanya karena sandstone, jadi tidak bisa diketahui umurnya yang sebenarnya yang mungkin lebih tua."
Adhi menawarkan hipotesis baru yang perlu dibuktikan dengan penanggalan uranium di Australia. Di Arnhem Land sendiri, situsnya memiliki jejak peninggalan manusia berupa tempat perlindungan batu Madjedbebe yang diperkirakan umur sekitar 50.000 tahun.
Baca Juga: Lukisan Cadas Aborigin Ternyata Menggambarkan Kapal Perang Maluku
Jawaban ini akan terungkap segera oleh para arkeolog Australia di masa mendatang. Adhi sendiri tengah menggarap berbagai penelitian yang akan melanjutkan temuan lukisan cadas di berbagai tempat di Sulawesi Tenggara.