Nationalgeographic.co.id—Jejak arkeologis manusia modern di Nusantara ditemukan lewat cadas tertua mereka di situs Leang-leang dan kerangka yang ditemukan Taman Nasional Bantimurung, Sulawesi Selatan. Diperkirakan, mereka sudah tiba di pulau Sulawesi lebih dari 45.000 tahun yang lalu dan menyebar ke penjuru Indonesia modern.
Para arkeolog yakin, perpindahan manusia modern di garis Wallacea muncul dari Sulawesi dan beberapa di antaranya menyeberangi Kepulauan Selayar untuk sampai di Pulau Flores.
"Kepulauan Selayar merupakan bagian lanskap penting yang memiliki kemudahan akses yang bisa disinggahi para pedagang," ujar Bernadeta AKW, peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan pada webinar Recent Evidence Of Their Origin and Cultures In South Sulawesi, November 2021. "Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa Kepulauan Selayar merupakan kepulauan terbuka dan berperan besar bagi keberalnsungan kontak dagang dan budaya."
Bernadeta dan tim melakukan penelitian lapangan pertengahan 2021, dan berencana segera mempublikasikannya dalam jurnal. Mereka mendapati, Pulau Selayar bagian barat memiliki banyak gua yang di dalamnya ada sisa-sisa prasejarah daripada di sebelah timur.
Ada beberapa gua yang menjadi sorotannya, seperti Liang Batu Genra, Liang Kelelawar, dan Liang Bone Sialla. Mereka menemukan banyak artefak seperti manik-manik, mata kail, batu pengasah, penyerut, batu lancip bergerigi yang diperkirakan menjadi tombak atau panah.
Di Liang Batu Genra, tim juga menemukan 28 artefak tulang yang digunakan sebagai perkakas, dan gigi bersama dua tulang jari manusia yang diperkirakan milik dua individu manusia sekitar 8.600 hingga 9.300 tahun silam.
Sementara di Liang Kelelawar, ada tulang panjang, mandibula, dan gigi manusia yang kemungkinan berusia dewasa jenis laki-laki Mongoloid. Jejak kebudayaannya bisa diidentifikasi dari lubang-lubang di sekitar yang diperkirakan untuk pembuatan kompos. Usia dari analisis pertanggalan di sini memperkirakan mereka telah tinggal di Selayar sejak 6.300 hingga 3.900 tahun yang lalu.
Bernadeta menyimpulkan, liang-liang ini sangat dekat dengan garis pantai dan kawasannya berada di barat Pulau Selayar yang mana lebih landai daripada sisi timur. Aspek geografis tampaknya menjadi pertimbangan manusia modern awal yang tiba di pulau ini untuk keberlangsungan hidupnya.
"Sementara di sisi timur," ujar Hasanuddin, anggota tim peneliti ketika dihubungi, Rabu (16/02/2022), "lebih banyak kawasan pemakaman daripada tempat tinggal." Karena sisi timur lebih curam, kawasan ini tidak sebanyak di barat untuk memiliki peninggalan hunian dan aktivitas manusia awal-awal."
Mongoloid adalah rumpun ras yang berada di Asia dan Amerika. Masyarakat Nusantara dengan ciri kulit sawo matang (Austronesia) maupun kuning langsat adalah bagiannya, menurut antropolog Inggris Thomas Henry Huxley. Sementara masyarakat di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Australia, adalah bagian dari Australomelanesoid dengan ciri berkulit lebih hitam.
Gua Harimau di Sumatra memberikan gambaran bagaimana manusia modern bisa hidup berdampingan antar-ras, baik Mongoloid maupun Australomelanosoid, berdasarkan belulang yang ditemukan.
Ciri ini tidak ditemukan dalam ekskavasi di Selayar, terang Hasanuddin, tetapi dua liang memiliki tipe dari bangsa yang berbeda, Austromelanesia di Liang Batu Genra dan Mongoloid di Liang Kelelawar.
Baca Juga: 15 Temuan Memukau tahun 2021, Cadas Sulawesi Selatan Salah Satunya
Baca Juga: Proses Kristenisasi dan Islamisasi Sulawesi Selatan yang Beriringan
"Jejak Australomelanesia di Selayar itu kita peroleh dari tipikal budaya yang ditemukan, seperti bentuk lancipan bergerigi dan masa okupasi manusia yang pernah menghuninya," paparnya.
"Sebagaimana yang kita ketahui tipe alat litik Maros Point berkembang pada masa antara 8.000 hingga 7.000 tahun yang lalu, merupakan inovasi lokal yang memerlukan tingkat keterampilan khusus dalam pembuatannya."
"Namun, lancipan bergerigi ini tidak memiliki sebuah pangkal bersayap seperti halnya tipe Maros Point klasik (classic Maros Point). Oleh karena itu, teknologinya memperlihatkan karakter yang berbeda dibanding teknologi Maros Point," tambahnya.
Temuan ini sesuai dengan usia lebih tua oleh arkeolog Australia Sue O'Connor tahun 2017 di Alor, Nusa Tenggara Timur. Tapi yang jelas, sebelum Austronesia tiba di Nusantara sudah ada peradaban yang menempati Kepulauan Selayar terlebih dahulu dan belum dapat disimpulkan lugas dalam arkeologi jika mereka hidup berdampingan.
Meskipun peninggalan manusia modern awal di Alor lebih tua dari Selayar, para arkeolog berteori bahwa migrasi terjadi dari Sulawesi dengan menyeberangi kepulauan.
"Terkait jalur migrasi dari Sulawesi ke Flores, memang Sulawesi bagian selatan merupakan jalur utama," kata Adhi Agus Oktaviana dari Arkenas saat dihubungi, Senin (14/02/2022). "Cuma kita 'kan harusnya buktikan kalau ada tinggalan arkeologinya termasuk gambar cadasnya."
Baru-baru ini ia sedang menyurvei temuan cadas di beberapa kawasan di Sulawesi, seperti Bantaeng, untuk menyimpulkan rute migrasi manusia. Rencananya, temuan itu akan dipublikasikannya dalam makalah penelitian.
Baca Juga: Islam di Ammatoa, Peleburan Paham Agama dan Adat di Sulawesi Selatan
Baca Juga: Selidik Fosil Rahang Manusia Modern Tertua di Sulawesi Selatan
Hasanuddin menambahkan, rute migrasi manusia masuk ke Selayar kemungkinan dari Bulukumba yang lokasinya sangat dekat. Kemudian bermukim di sisi barat Selayar dalam beberapa waktu lamanya, dan melanjutkan migrasinya ke selatan dengan menyeberangi Laut Flores untuk tiba di Nusa Tenggara Timur.
"Saya kira untuk penelitian kebudayaan kemaritiman bagus sekali untuk diteliti. Menariklah itu Selayar," lanjutnya.
Melihat dari inovasi manusia modern awal di Selayar seperti pembuatan kail dari kerang, membuatnya menarik untuk dipahami lebih lanjut bagaimana kebudayaannya berkembang. Dia berharap, akan ada penelitian untuk penelusuran gua-gua yang bisa menjelaskan adaptasi manusia dengan mempertimbangkan aspek geografis huniannya.
"Apalagi Selayar ini strategis lokasinya untuk diketahui hubungannya dengan pulau-pulau lainnya yang menghubungkan dengan Jawa, Sulawesi, dan lainnya," Hasanuddin menyarankan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR