Taklukkan Dinasti Ming, Suku Manchu Menguasai Kekaisaran Tiongkok

By Sysilia Tanhati, Senin, 27 Mei 2024 | 18:00 WIB
Suku Manchu pernah berjaya di Kekaisaran Tiongkok dengan mendirikan Dinasti Qing. Setelah menyingkirkan Dinasti Ming, bagaimana pemerintahan suku Manchu tersebut? (Lai Afong)

Nationalgeographic.co.id—Suku Manchu pernah berjaya di Kekaisaran Tiongkok dengan mendirikan Dinasti Qing. Pemerintahan Dinasti Qing, dinasti terakhir di Kekaisaran Tiongkok, berlangsung pada tahun 1644 hingga 1911.

Di bawah pemerintahan Dinasti Qing, wilayah Kekaisaran Tiongkok tumbuh tiga kali lipat. Selain itu, populasi meningkat dari sekitar 150 juta menjadi 450 juta dan perekonomian nasional yang terpadu telah terjalin.

Setelah menyingkirkan Dinasti Ming, bagaimana pemerintahan suku Manchu di Kekaisaran Tiongkok?

Sejarah pemerintahan suku Manchu di Kekaisaran Tiongkok

Dinasti Qing pertama kali didirikan pada 1636 oleh suku Manchu. Awalnya, dinasti ini dibentuk untuk menandakan rezim suku ini di Manchuria (sekarang wilayah Timur Laut Tiongkok).

“Pada tahun 1644 ibu kota Tiongkok di Beijing direbut oleh pemimpin pemberontak Li Zicheng,” tulis Adam Augustyn di laman Britannica. Pejabat Dinasti Ming yang putus asa meminta bantuan suku Manchu untuk mengatasi pemberontakan itu. Suku Manchu memanfaatkan kesempatan ini untuk merebut ibu kota dan mendirikan dinasti mereka sendiri di Kekaisaran Tiongkok.

Dengan mengadopsi bentuk pemerintahan Dinasti Ming dan terus mempekerjakan pejabat Ming, Manchu menenangkan hati penduduk Tiongkok.

Namun, untuk menjamin kendali Manchu atas Kekaisaran Tiongkok, Dinasti Qing memastikan bahwa separuh pejabat tingkat tinggi adalah orang Manchu. Para pemimpin militer Tiongkok yang menyerah diberi pangkat bangsawan.

Pasukan diorganisasikan ke dalam Luying atau Tentara Standar Hijau. Pasukan itu ditempatkan di seluruh negeri untuk menjaga dari pemberontakan lokal. Pasukan reguler Sistem Panji Manchu (Qibing atau Baqi) ditempatkan di ibu kota dan di beberapa tempat strategis terpilih di seluruh negeri.

Di bawah pemerintahan Kaisar Kangxi (memerintah 1661–1722), suku Manchu memaksa Rusia meninggalkan benteng mereka di Albazin. Albazin terletak di sepanjang perbatasan Manchuria di Sungai Amur.

Pada tahun 1689, sebuah perjanjian dibuat dengan Rusia di Nerchinsk yang membatasi batas utara perbatasan Manchuria di Sungai Argun. Selama 40 tahun berikutnya bangsa Mongol Dzungaria dikalahkan. Wilayah Kekaisaran Tiongkok pun diperluas hingga mencakup Mongolia Luar, Tibet, Dzungaria, Turkistan, dan Nepal.

Di bawah dua kaisar berikutnya, Yongzheng (memerintah 1722–1735) dan Qianlong (memerintah 1735–96), perdagangan terus berkembang. Di era ini, industri kerajinan tangan makin tumbuh dan berkembang. Selain itu, misionaris Katolik Roma ditoleransi dan dipekerjakan sebagai astronom dan seniman.

Baca Juga: Manchu, Suku Minoritas yang Sukses Singkirkan Dinasti Ming di Kekaisaran Tiongkok

Seni lukis, seni grafis, dan pembuatan porselen berkembang pesat. Metode ilmiah filologi pun dikembangkan.

Namun, penguasa berikutnya setelah Yongzheng dan Qianlong tidak mampu mengatasi beberapa masalah. Permasalah disebabkan oleh meningkatnya tekanan penduduk dan konsentrasi kepemilikan tanah. Pasukan Manchu makin menurun kualitasnya. Kerusuhan rakyat, yang diperburuk oleh banjir besar dan kelaparan, merupakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pemberontakan Taiping (1850–64) dan Nian (1853–68) di selatan dan utara.

Upaya modernisasi dan westernisasi mendapat tentangan dari pejabat konservatif terutama melalui upaya ibu suri Cixi. “Inefisiensi birokrasi dan korupsi merajalela,” tambah Augustyn. Salah satu contohnya adalah pengalihan dana yang dimaksudkan untuk membangun angkatan laut Tiongkok untuk membangun kapal perang marmer hias di Istana Musim Panas kekaisaran di luar Beijing.

Beberapa perang yang merugikan Kekaisaran Tiongkok pun berlangsung. Seperti Perang Candu pertama (1839–42), Perang Inggris-Prancis (1856–58), Perang Tiongkok-Jepang (1894–95), dan Pemberontakan Boxer (1900). Perang-perang tersebut membuat pihak asing mulai menduduki Kekaisaran Tiongkok.

Teh dibawa dari Tiongkok ke Inggris dan tradisi minum teh berkembang. Konon, teh menjadi penyebab pecahnya Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris. (Thomas Allom)

Pada tahun 1900 kelompok-kelompok revolusioner mulai terbentuk di seluruh negeri. Revolusi Republik pada 10 Oktober 1911 menyebabkan turunnya kaisar muda Xuantong (lebih dikenal sebagai Puyi). Saat itu juga terjadi pengalihan kekuasaan kepada pemerintahan republik sementara di bawah Yuan Shikai.

Prestasi budaya suku Manchu di Kekaisaran Tiongkok selama era Dinasti Qing

Suku Manchu berusaha berasimilasi dengan budaya Tiongkok. Upaya ini melahirkan sikap politik dan budaya Konfusianisme yang sangat konservatif dalam masyarakat resmi. Tradisi masa lalu pun mulai dipertanyakan dan dibanding-bandingkan.

Kerajinan dekoratif menurun menjadi desain yang semakin berulang. Namun tekniknya, terutama ukiran batu giok, mencapai tingkat yang tinggi. Dua bentuk seni visual utama pada masa itu adalah lukisan dan porselen.

Banyak arsitektur dari Dinasti Ming yang bertahan. Tapi istana sering kali dirancang secara megah, cenderung bersifat masif dengan ornamen yang berlebihan.

Terlepas dari sikap konservatisme yang berlaku, banyak seniman Dinasti Qing yang individualistis dan inovatif.

Porselen Qing menampilkan penguasaan teknis yang tinggi bahkan sampai hampir seluruh tanda tangan pembuat tembikar hilang. Di antara inovasi-inovasi pada periode tersebut adalah pengembangan glasir berwarna seperti merah tembaga, yang disebut “merah tiup” (jihong) oleh orang Cina dan “darah sapi” (sang-de-boeuf) oleh orang Perancis.

Sastra Dinasti Qing mirip dengan periode Dinasti Ming karena sebagian besar berfokus pada bentuk-bentuk klasik. Suku Manchu melakukan inkuisisi sastra pada abad ke-18 untuk membasmi tulisan-tulisan subversif. Banyak karya yang dicurigai dihancurkan dan penulisnya dipenjara, diasingkan, atau dibunuh. Novel dalam bahasa sehari-hari—kisah romansa dan petualangan—berkembang pesat.

Pelabuhan Tiongkok dibuka untuk perdagangan luar negeri pada pertengahan abad ke-19. Setelah itu, penerjemahan karya asing ke dalam bahasa Mandarin meningkat secara dramatis.

Dalam musik, perkembangan dinasti yang paling menonjol mungkin adalah perkembangan jingxi atau opera Peking. Gaya ini merupakan campuran dari beberapa tradisi teater musikal daerah yang menggunakan pengiring instrumental yang ditingkatkan secara signifikan. Mereka menambahkan seruling, kecapi yang dipetik, dan genta, beberapa drum, alat musik tiup buluh ganda, simbal, dan gong.

Kekuasaan suku Manchu pun harus berakhir dan disusul dengan berdirinya republik.