Imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok selama Era Dinasti Qing

By Sysilia Tanhati, Selasa, 28 Mei 2024 | 18:00 WIB
Kekuatan asing menunjukkan minat untuk menguasai Kekaisaran Tiongkok sejak abad ke-13. Tapi imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok dimulai pada abad ke-19. Bagaimana imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok selama pemerintahan Dinasti Qing? (James Gillray)

Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Tiongkok menarik minat asing dengan barang dan sumber daya eksklusifnya, seperti teh, porselen, dan sutra. Pada saat yang sama, Eropa memasuki era eksplorasi. Mereka untuk menjelajahi wilayah-wilayah baru yang mampu menghasilkan kekayaan untuk memperluas kerajaannya.

Namun yang terpenting, negara-negara Eropa sedang mencari jalur perdagangan baru. Tujuannya adalah untuk mengakomodasi produk dan teknologi yang dihasilkan selama industrialisasi Eropa pada abad ke-18 dan ke-19.

Kekuatan asing menunjukkan minat untuk menguasai Kekaisaran Tiongkok sejak abad ke-13. Tapi imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok dimulai pada abad ke-19. Bagaimana imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok selama pemerintahan Dinasti Qing?

Dinasti Qing dan awal imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok

Dinasti Qing menggantikan Dinasti Ming pada akhir abad ke-17. Seorang jenderal militer Dinasti Ming merekrut suku Manchu, komunitas militer semi-nomaden di Manchuria yang terletak di timur laut Tembok Besar Tiongkok. Manchu memperoleh pengaruh yang besar dari waktu ke waktu dan berhasil mengambil alih Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1644. Suku ini membentuk pemerintahan Dinasti Qing. Dinasti Qing memerintah selama hampir 300 tahun, menjadi saksi imperialisme Inggris dan konsekuensinya.

Sebelum dominasi Kerajaan Inggris, Dinasti Qing di bawah pemerintahan Kaisar Qian Long memperluas kekaisarannya secara teritorial. Ekonominya pun mengalami pertumbuhan. Periode pemerintahan Qian Long ini tampak menjanjikan. Dinasti Qing juga berhasil menjaga jarak dengan kekuatan asing dengan menetapkan kebijakan yang membatasi pihak asing.

Preferensi Dinasti Qing terhadap isolasionisme berarti membatasi akses pihak asing terhadap perdagangan di Kekaisaran Tiongkok. “Pembatasan ini dikenal dengan sebutan Canton System,” tulis Tsira Shvangiradze di laman The Collector.

Satu-satunya titik perdagangan adalah pelabuhan Kanton (di wilayah kota Guangzhou saat ini) di Tiongkok selatan. Sistem ini dirancang untuk menyederhanakan pengawasan aktivitas asing di Kekaisaran Tiongkok dan pengumpulan pajak.

Permintaan produk Kekaisaran Tiongkok meningkat di pasar Eropa

Permintaan produk Tiongkok seperti teh, sutra, dan porselen meningkat di pasar Eropa dan khususnya Inggris. Pada abad ke-17, teh telah menjadi minuman pilihan baik bagi bangsawan Inggris maupun masyarakat umum. Terkait dengan impor teh, British East India Company mencari cara untuk mengakses teh Tiongkok secara langsung. Dan bukan melalui perusahaan importir lain, seperti The Dutch East India Company.

Selain itu, tingginya tarif teh Tiongkok berkontribusi terhadap penyelundupan dan aktivitas ilegal. Pada tahun 1784, Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Pergantian, yang menghapuskan sistem tarif tinggi sebagai respons terhadap peningkatan tajam permintaan teh. Perdagangan teh Inggris-Tiongkok meningkat secara dramatis. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan budaya sehingga Dinasti Qing menolak membuka pelabuhannya untuk perdagangan Inggris.

Baca Juga: Taklukkan Dinasti Ming, Suku Manchu Menguasai Kekaisaran Tiongkok