Imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok selama Era Dinasti Qing

By Sysilia Tanhati, Selasa, 28 Mei 2024 | 18:00 WIB
Kekuatan asing menunjukkan minat untuk menguasai Kekaisaran Tiongkok sejak abad ke-13. Tapi imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok dimulai pada abad ke-19. Bagaimana imperialisme Inggris di Kekaisaran Tiongkok selama pemerintahan Dinasti Qing? (James Gillray)

Teh dibawa dari Tiongkok ke Inggris dan tradisi minum teh berkembang. Konon, teh menjadi penyebab pecahnya Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris. (Thomas Allom)

Pemerintah Qing mengirim Komisaris Lin Zexu ke Guangzhou pada tahun 1839 untuk mengatasi masalah ini. “Ia juga ditugaskan untuk mengakhiri perdagangan gelap opium,” imbuh Shvangiradze.

Secara total, komisaris menghancurkan lebih dari 20.000 peti opium dengan berat sekitar 1.300 ton. Karena ingin melindungi perdagangan teh-opium yang menguntungkan, Kerajaan Inggris memandang tindakan tersebut sebagai pengambilalihan propertinya dengan kekerasan. Oleh karena itu, Inggris menyatakan perang pada bulan April 1840.

Konflik bersenjata ini dikenal dengan nama Perang Candu Pertama. Hal ini berlangsung selama dua tahun dan menghasilkan penandatanganan Perjanjian Nanking pada tahun 1842. Berdasarkan perjanjian tersebut, Inggris mengakuisisi pulau Hong Kong dan menuntut imbalan atas opium yang dimusnahkan. Yang terpenting, pelabuhan Tiongkok, termasuk Shanghai dan Guangzhou, kini terbuka untuk perdagangan Inggris.

Selain itu, hak ekstrateritorialitas diberikan kepada warga negara Inggris. Hak itu berkontribusi pada pembentukan permukiman internasional dengan sistem hukum dan yurisdiksi mereka sendiri di kota-kota besar Tiongkok. Hong Kong berubah menjadi ilustrasi nyata imperialisme Inggris, yang mencerminkan pemerintahan, institusi, dan yurisdiksi gaya Barat.

Pada tahun 1856, Perang Candu Kedua terjadi. Inggris menuntut hubungan diplomatik yang setara dan juga legalisasi perdagangan candu. Perang ini juga menarik perhatian internasional yang lebih luas. Didorong oleh motif ekonomi, politik, dan agama, Perancis bergabung dengan Inggris dan memainkan peran penting dalam operasi militer. Dinasti Qing kembali dikalahkan.

Hasil dari perang kedua adalah Perjanjian Tientsin, yang ditandatangani pada tahun 1858. Perjanjian itu tidak hanya memiliki dimensi ekonomi tetapi juga memperkuat kehadiran Kerajaan Inggris di Kekaisaran Tiongkok Tiongkok.

Perjanjian-perjanjian ini juga disebut sebagai “perjanjian yang tidak setara”. Pasalnya, perjanjian tersebut membatasi kedaulatan pemerintah Kekaisaran Tiongkok dan meningkatkan dominasi Inggris atas pilar-pilar utama kenegaraan: ekonomi, yurisdiksi, agama, dan budaya.

Pemberontakan Boxer

Akselerasi imperialisme Inggris setelah “perjanjian yang tidak setara” berkontribusi pada meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap Dinasti Qing. Akibatnya, nasionalisme pun bangkit di Kekaisaran Tiongkok. Rakyat memandang Dinasti Qing lemah dan rentan dalam melawan imperialisme Inggris yang semakin meningkat.

Rasa frustrasi terhadap pengaruh dan campur tangan asing memuncak pada pemberontakan yang penuh kekerasan pada tahun 1899. Para petani di Tiongkok utara mengorganisir pemberontakan massal melawan orang asing.

Baca Juga: Seperti Apa Kehidupan di Harem Dinasti Qing Kekaisaran Tiongkok?