Namun, kebahagiaannya bersama Mamia tidak bertahan lama. Ketika mereka mencoba menaiki kapal yang lebih besar yang berlabuh di tengah ombak dengan bantuan perahu kecil, kapal tersebut terbalik.
Baca Juga: Perjanjian Giyanti dan Terbelahnya Mataram dalam Sejarah VOC
Mereka melompat ke laut bersama-sama. Mamia menyelamatkan Haafner, yang ditarik ke bawah air oleh seorang wanita yang berpegangan di kakinya. Namun, Mamia sendiri tertimpa sepotong kayu besar dan meninggal dunia beberapa saat kemudian.
Sebelum wafat, Mamia bertanya pada Haafner, "maukah kau menyalakan sendiri tumpukan kayu untuk kremasinya sebagai bentuk cinta?"
Maka setelahnya, Haafner melakukannya sebagai penghormatan terakhir kepada pujaan hatinya itu. Pantang pisang berbuah dua kali. Ia sangat menyesali apa yang terjadi karena tak bisa lebih lama beradu kasih dengan Mamia.
Jika saja ia tak pernah menolak Mamia sejak awal, mungkin Haafner akan hidup mesra lebih lama dari yang terjadi. Kisah kasih mereka diranggas kenyataan pahit. Sebuah romantika-tragedi yang menghias petualangan cinta seorang pegawai VOC.
Setelah kematian Mamia, Haafner semakin terpuruk. Ia akhirnya memutuskan kembali ke Belanda pada tahun 1787, dalam usia 33 tahun. Dalam hidup, cintanya terasa semakin miskin dan kekecewaan bertahta semakin kaya.
Meski setelahnya menikah dengan Anna Maria Kreunink pada tahun 1791 dan memiliki tiga anak, romantika-tragedinya bersama Mamia ia tuliskan dalam roman berjudul "Reize in eenen Palanquin" yang diterbitkannya pada 1808.
Nahas, ia tidak bisa merasakan kegemilangan buku tentang kisah cintanya dengan Mamia karena setahun berselang, ia terkena serangan jantung dan wafat pada tahun 1809 di usia 55. Romantikanya menarik banyak pembaca, di saat empunya telah tiada.
Satu kutipan dari buku yang berkisah tentang romantika-tragedi Haafner dan Mamia, menggambarkan kesenduannya setelah kehilangan Mamia:
"…tidak ada yang tersisa dari kota terkenal ini... Dimana sekarang dengan dua puluh gerbang dan seratus istananya? Di manakah kejayaan dan kemegahannya yang dulu, di manakah penghuninya yang tak terhitung jumlahnya?"
Hanya kesenduan yang dialaminya sebab kehilangan warna-warni kehidupan setelah perpisahan pahit itu. Dan sejarah jadi saksinya, akan kisah romantika-tragedi yang terkenang dari Haafner dan Mamia.