Romantika-Tragedi: Ketika Pegawai VOC Mencintai Penari Kuil India

By Galih Pranata, Rabu, 29 Mei 2024 | 09:10 WIB
Dalam perjalanan Haafner ke India, pegawai VOC itu bertemu dengan Mamia, seorang penari kuil dari India yang kemudian membuatnya jatuh hati hingga kisahnya berakhir sebagai romantika-tragedi. (Wikimedia Commons/Galih Pranata)

Nationalgeographic.co.id—Pantang pohon pisang berbuah dua kali. Barangkali kata-kata tersebut dapat disematkan pada kisah cinta yang terpisahkan tragedi, antara pegawai VOC dengan penari kuil dari India.

Jacob Gotfried Haafner atau Jacob Haafner jadi tokoh utama dalam perjalanan romantika-tragedi ini. Dilahirkan di Jerman pada 13 Mei 1754 dari ayah Perancis dan ibu Jerman. Selanjutnya ia menjadi pengajar bagi anak-anak dari para pegawai VOC.

Sepanjang jalan, guru yang pandai ini juga dikenang dalam catatan sejarah sebagai "pengamat yang jeli, penulis berbakat, pengelana, pengusaha, pelukis dan antropolog," tulis Lex Veldhoen.

Ia menulisnya kepada Historiek dalam artikelnya berjudul Jacob Haafner – De VOC-medewerker die zich ontpopte tot antikoloniaal yang diterbitkan pada 20 Mei 2024. Lex mengimbuh, "Haafner telah melalui banyak rintang sejak usia muda."

Diketahui, pada usia dua belas tahun, ia melakukan perjalanan ke Timur bersama ayahnya, yang mendaftar sebagai ahli bedah kapal di kapal VOC Luxemburg. Ayahnya tidak selamat dalam perjalanan karena penyakit menular, sedangkan Jacob selamat.

Dalam kondisi tersengat tifus di Tanjung Harapan, bala bantuan kapal Belanda menyelamatkannya dari penyakit menular yang membunuh ayahnya. Dibawanya ia hingga ke Batavia.

Di Hindia Belanda, ia dipekerjakan sebagai tutor oleh sebuah keluarga Belanda, namun memutuskan untuk meninggalkan Batavia kemudian. Hal tersebut ditengarai karena melihat sang wanita pemilik rumah tersebut menganiaya budaknya.

Sejak awal, Haafner bisa dibilang sebagai anti-kolonialis, sehingga tidak pernah menghendaki bentuk perbudakan jenis apa pun. Sampai pada tahun 1770 ia kembali ke Belanda melalui Cape Town, bergabung dengan seorang pelukis dan belajar perdagangan darinya.

Pada bulan Juni 1771, Haafner mendaftar sebagai abdi VOC dan berangkat ke Nagapattinam, ibu kota Koromandel Belanda dari tahun 1660 hingga 1781. Sebuah kesempatan besarnya untuk beravontur sebagai pegawai VOC hingga ke India.

Sampai di tahun 1778, ia telah diketahui mempelajari hingga menguasai bahasa Tamil dan melakukan perdagangan swasta sebagai sampingan. Pada tahun 1779, ia diangkat sebagai sekretaris-pemegang buku di kantor cabang di Sadraspatnam.

Dengan kemampuan bilingualnya, ia dapat menguasai bahasa Inggris, Prancis, Tamil, dan pada tingkat lebih rendah bahasa Latin dan Sanskerta. Haafner menjalani kehidupan yang penuh petualangan, romansa, dan dinamika politik.

Baca Juga: Marga Han, Kisah Kesohoran Tionghoa Peranakan yang Berawal dari Lasem

Dalam kemampuan yang luar biasa, bahkan seorang Jerman yang bekerja untuk perusahaan Belanda itu berhasil menerjemahkan Ramayana, sebuah epik kepahlawanan India, dan menulis lima catatan perjalanan (total 1.100 halaman).

"Ramayana yang luar biasa itu mencakup penjelasan rinci tentang alam India dan adat istiadat masyarakatnya," imbuh Lex. 

Di India, Haafner melakukan banyak kegiatan sosial, di mana kemudian melakukan perjalanan pada tahun 1780 ke pemukiman Belanda di Sadras (tepat di bawah Madras, sekarang Chennai).

Sampul buku gubahan Haafner berjudul 'Lotgevallen op eene reize van Madras over Tranquebar naar het eiland Ceylon' (1826), menggambarkan perjalanannya mencapai India. (Wikimedia Commons)

Namun, setelah satu tahun kota Sadras direbut oleh Inggris, Haafner dijadikan tawanan perang dan dibawa ke Kota Madras yang dikuasai Inggris. Namun tak berselang lama, ia berhasil melarikan diri.

Haafner melakukan perjalanan ke Kalkuta, di mana dari tahun 1783 ia bekerja sebagai pelayan mantan gubernur Bengal yang murah hati, John Fowke, yang memperlakukannya sebagai teman.

Dia kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Madras kembali dengan tandu, bersama dua kelompok yang terdiri dari empat kuli, yang bergantian. Dia menempuh jarak lebih dari seribu kilometer dalam delapan bulan.

Pengalaman pertamanya ditandu oleh para kuli tandu yang luar biasa. Haafner tak bisa sembunyikan kekagumannya pada mereka. Ia menulis tentang para kuli angkut bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur ​​dan ramah.

Dalam perjalanannya ke Madras, ia terjerembap di jurang yang dalam dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya. "Mereka hanya makan dari daging kerbau yang sudah membusuk di sekitar jurang," lanjutnya.

Dia bermalam di chauderi (rumah peristirahatan gratis bagi para pelancong), di mana dia bertemu dengan seorang devadasi yang bermalam di sana bersama kelompok penari dan musisi kelilingnya.

Devadasi sebagian adalah perempuan yang berbakti kepada dewa, sering merawat berhala di kuil dan juga sering hidup sebagai selir seorang pendeta atau brahmana lainnya. Ini adalah bagian dari devadasi yang dianggap suci.

Sedangkan devadasi lainnya tinggal dalam kelompok keliling yang lebih kelam, terkadang suram, dan diketahui juga menyediakan jasa pelacur. Salah seorang di antara devadasi itu bernama Mamia.

Baca Juga: Kenapa VOC Membangun Banyak Benteng di Maluku dalam Sejarah Dunia?

Dia adalah gadis jelita yang baru berusia lima belas tahun. Menurut ketua dari kelompok musik dan penari itu, Mamia dapat membantu Haafner untuk menemukan jalan keluarnya. Tapi, Haafner lebih memilih menolaknya.

Ia beralasan bahwa status devadasi dianggap meragukan. Lebih jauh, barangkali Haafner memandang Mamia sebagai penari rendahan atau pelacur. Namun, harapan baik tak kunjung menghampiri Haafner.

Ia tetap tak mampu menemukan jalan keluarnya membuat Haafner menjadi semakin frustasi. Setelah lebih jauh lagi mengetahui kenyataan, ia menemukan bahwa Mamia adalah gadis suci, penari kuil bagi orang-orang India.

Maka setelahnya, Haafner hanya bisa menyesali keputusannya karena telah menolak Mamia. Saat ia meminta kembali kepada pemimpin kelompok musik itu, Mamia sudah pergi jauh.

Di perjalanan pulang, ia kecewa dan kegalauan datang berpilin-pilin. Di saat itu tangan Haafner digigit ular berbisa. Ia terinfeksi dan membengkak berwarna biru kehitaman. Menurut dokter bedah, tangannya harus diamputasi.

Haafner menolak saran dokter bedah itu. "Ia bahkan masih berharap bisa bertemu Mamia lagi dalam perjalanan ke Madras," terus Lex. Barangkali, ia meyakini bahwa Mamia bisa menolongnya dari kesusahan. Terlebih, atas penyesalannya.

Dalam memoar gubahannya, Haafner menuliskan jika ia telah yakin jatuh hati pada Mamia. Dan ketika ia menemukan Mamia di perjalanan menuju Madras, ia tuliskan dalam memoarnya:

"Mamia," aku berteriak keras, “Mamia sayang! Aku akhirnya bertemu denganmu lagi; Oh! Seberapa sering aku memikirkanmu!' – Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, air mataku mengalir deras, dan aku berdiri tak bergerak di hadapannya.

Bersama dengan Mamia, ia berhasil menemukan jalan keluar menuju Madras. Sesampainya di Madras, Haafner menemui dokter kenalannya, Beisser, yang menyembuhkannya dengan mengamputasi hanya ujung jari tengahnya.

Saat Mamia dan Haafner bertemu lagi di Madras, Haafner tidak percaya akan keberuntungannya. Dia menghabiskan banyak waktu bersama Mamia. Mereka melakukan perjalanan dan Mamia selalu berada mendampinginya.

Gambar penari kuil dari Jacob Haafner, berjudul 'Reize in eenen Palanquin,' (1808) yang salah satunya mengisahkan tentang Mamia. (Wikimedia Commons)

Namun, kebahagiaannya bersama Mamia tidak bertahan lama. Ketika mereka mencoba menaiki kapal yang lebih besar yang berlabuh di tengah ombak dengan bantuan perahu kecil, kapal tersebut terbalik.

Baca Juga: Perjanjian Giyanti dan Terbelahnya Mataram dalam Sejarah VOC

Mereka melompat ke laut bersama-sama. Mamia menyelamatkan Haafner, yang ditarik ke bawah air oleh seorang wanita yang berpegangan di kakinya. Namun, Mamia sendiri tertimpa sepotong kayu besar dan meninggal dunia beberapa saat kemudian.

Sebelum wafat, Mamia bertanya pada Haafner, "maukah kau menyalakan sendiri tumpukan kayu untuk kremasinya sebagai bentuk cinta?"

Maka setelahnya, Haafner melakukannya sebagai penghormatan terakhir kepada pujaan hatinya itu. Pantang pisang berbuah dua kali. Ia sangat menyesali apa yang terjadi karena tak bisa lebih lama beradu kasih dengan Mamia.

Jika saja ia tak pernah menolak Mamia sejak awal, mungkin Haafner akan hidup mesra lebih lama dari yang terjadi. Kisah kasih mereka diranggas kenyataan pahit. Sebuah romantika-tragedi yang menghias petualangan cinta seorang pegawai VOC.

Setelah kematian Mamia, Haafner semakin terpuruk. Ia akhirnya memutuskan kembali ke Belanda pada tahun 1787, dalam usia 33 tahun. Dalam hidup, cintanya terasa semakin miskin dan kekecewaan bertahta semakin kaya.

Meski setelahnya menikah dengan Anna Maria Kreunink pada tahun 1791 dan memiliki tiga anak, romantika-tragedinya bersama Mamia ia tuliskan dalam roman berjudul "Reize in eenen Palanquin" yang diterbitkannya pada 1808.

Nahas, ia tidak bisa merasakan kegemilangan buku tentang kisah cintanya dengan Mamia karena setahun berselang, ia terkena serangan jantung dan wafat pada tahun 1809 di usia 55. Romantikanya menarik banyak pembaca, di saat empunya telah tiada.

Satu kutipan dari buku yang berkisah tentang romantika-tragedi Haafner dan Mamia, menggambarkan kesenduannya setelah kehilangan Mamia:

"…tidak ada yang tersisa dari kota terkenal ini... Dimana sekarang dengan dua puluh gerbang dan seratus istananya? Di manakah kejayaan dan kemegahannya yang dulu, di manakah penghuninya yang tak terhitung jumlahnya?"

Hanya kesenduan yang dialaminya sebab kehilangan warna-warni kehidupan setelah perpisahan pahit itu. Dan sejarah jadi saksinya, akan kisah romantika-tragedi yang terkenang dari Haafner dan Mamia.