Nationalgeographic.co.id - Kolonialisme atau penjajahan, identik dengan upaya monopoli di tanah jajahan, yaitu praktik penguasaan yang hanya terpusat pada satu atau sedikit pihak pada kekuasaan atau komoditas dagang tertentu.
Dalam sejarah Indonesia, penjajahan Belanda sejak era VOC sudah menerapkan sistem monopoli. Dengan monopoli, pihak yang berkuasa tidak memiliki pesaing dan membawa keuntungan dari perdagangan, menguasai politik lokal di tanah jajahan, dan kemudahan distribusi komoditas barang.
Keuntungan Monopoli: Memberi Keuntungan Besar dan Cepat
Dalam pengertian ekonomi, ada banyak manfaat monopoli. Satu di antaranya keuntungan maksimal. Dengan memonopoli komoditas tertentu di pasar, perusahaan seperti VOC atau penguasa seperti Belanda dapat mengontrol harga dan produk yang dijual.
Cara ini memungkinkan penguasa tunggal komoditas menentukan harga yang tinggi dan memaksimalkan keuntungan.
Pada masa awal Belanda menancapkan kekuasaan di kepulauan Indonesia lewat VOC, berdagang dengan kerajaan dan penguasa lokal. Namun, hubungan bilateral yang dilanggar ini menciptakan konflik dengan kerajaan atau penguasa lokal yang seharusnya menjadi mitra.
Pelanggaran perjanjian dan pecahnya konflik ini didorong hasrat monopoli pasar. Sistem monopoli pasar oleh Belanda memiliki manfaat berupa efisiensi dalam skala produksi. Pasalnya, mereka dapat mengontrol penuh atas pasar.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan keuntungan dari efisiensi, penguasa produksi harus disingkirkan. Setelah menyingkirkan mereka, baik pada era VOC maupun era Hindia Belanda, Belanda dapat menerapkan kebijakan dan kontrol terhadap perkebunan, distribusi, dan pasar.
Misalnya, setelah VOC membangun kantornya di Batavia pada 1620. Awalnya, kongsi perusahaan dagang ini bermitra dengan Kesultanan Banten.
Akan tetapi, permasalahan politik Kesultanan Banten mengalami kekacauan yang juga melibatkan VOC. Setelah konflik diredakan, VOC menguasai perkebunan lada di Banten, dan membuka lebih banyak perkebunan serta menerapkan kebijakan yang menguntungkan VOC sendiri. Komoditas lada pada akhirnya dengan mudah diproduksi secara efisien untuk diperdagangkan.
Begitu pula ketika era Hindia Belanda. Ketika Kerajaan Belanda mengalami krisis keuangan pada dekade 1830-an akibat Perang Jawa, Perang Imam Bonjol, dan Kemerdekaan Belgia. Mereka harus mendapatkan sumber keuangan yang cepat dari perdagangan.
Baca Juga: Akhir dari Dominasi Monopoli Kejam VOC atas Rempah di Pasar Dunia
Perdagangan dari sektor perkebunan digalakkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil keuntungan. Mereka menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Peraturan mengharuskan masyarakat jajahan untuk menyerahkan hasil bumi ke pemerintah Hindia Belanda.
Dengan demikian, Hindia Belanda memonopoli sektor perkebunan. Tidak boleh ada pihak lain yang menjadi tujuan hasil bumi selain pemerintah kolonial.
Stabilitas Politik dengan Adu Domba
Keuntungan monopoli politik kekuasaan bagi Hindia Belanda adalah dapat dengan mudahnya menerapkan peraturan.
Setelah Belanda menguasai kerajaan dan penguasa lokal di Indonesia, pemerintah jajahan dapat dengan mudah memobilisasi sistem pertahanannya. Pemerintah Hindia Belanda dapat menertibkan negeri jajahannya jika terjadi perlawanan dari masyarakat jajahan.
Masyarakat jajahan juga tidak memiliki kekuatan politik yang seimbang dengan pemerintah Hindia Belanda, karena penguasa atau raja mereka telah tiada atau berada di bawah kekuasaan penjajah.
Contoh monopoli politik ini bisa dilihat pada posisi kerajaan di Jawa selatan setelah Perjanjian Giyanti (1755). Posisi sultan sangat bergantung pada penguasa kolonial.
Ketika Perang Jawa (1825–1830) yang dikobarkan Pangeran Dipanagara usai, politik Jawa khas kesultanan Yogyakarta berangsur-angsur lumpuh, digantikan dengan kekuasaan Hindia Belanda.
Periode ini disebut Pax Nederlandica (Kedamaian di Bawah Belanda), di mana hukum dan tatanan politik terpusat oleh kepemimpinan pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Penguasa lokal tidak punya lagi punya kekuasaan sebebas masa sebelumnya.
Demi mendapat penguasaan tunggal ini juga harus melibatkan politik adu domba (devide et impera) terhadap penguasa-penguasa lokal.
Baca Juga: Kenapa VOC Membangun Banyak Benteng di Maluku dalam Sejarah Dunia?
Dengan demikian, pada abad ke-19, Hindia Belanda yang melanjutkan VOC, berkuasa penuh atas tanah jajahan di wilayah yang kini disebut Indonesia. Tidak ada lagi kerajaan-kerajaan atau penguasa lokal yang punya kekuatan politik mengalahkan mereka.
Kemudahan Distribusi Perdagangan
Selain dengan kerajaan atau penguasa lokal, Belanda juga bersaing dengan imperium Barat lainnya. Imperium bangsa Barat seperti Inggris, Spanyol, dan Portugis adalah rival perdagangan rempah internasional bagi Belanda.
Semuanya berlomba-lomba membangun benteng dan persekutuan dengan penguasa lokal, supaya perdagangannya tetap efisien.
Agar lebih efisien baik dari segi produksi dan distribusi, lawan bisnis harus ditiadakan. Inilah manfaat monopoli perdagangan. Dengan demikian, Belanda harus bermain politik, termasuk perang, perebutan basis perdagangan atau militer, dan sistem perdagangan.
Salah satu contohnya adalah bagaimana berbagai benteng dan kekuasaan Portugis yang lebih dulu ada di Malaka dan Maluku sejak pertengahan abad ke-16. Ketika VOC dari Belanda hadir, perang dengan Portugis di Malaka dan Maluku terjadi. Keduanya memiliki sekutu lokal masing-masing.
Perang antara Portugis dan Belanda berlangsung dari 1598 hingga 1663 di pelbagai jajahan mereka. Di kepulauan Asia Tenggara sendiri Belanda, melalui VOC, berhasil menguasai pelbagai benteng milik Portugis. Belanda juga menguasai basis dagang Portugis di Malaka dan Srilanka, yang membuat untaian jalur perdagangan rempah-rempah dikuasai oleh satu pihak.