Henry VIII, Suami Anne Boleyn yang Suka Otak-atik Aturan Demi Nafsunya

By Ade S, Minggu, 2 Juni 2024 | 14:03 WIB
Lukisan "Rekonsiliasi Henry dengan Anne Boleyn", oleh George Cruikshank. Kisah Henry VIII, yang mengubah sejarah demi Anne Boleyn dan nafsu takhta, mengguncang fondasi Inggris. (George Cruikshank)

Nationalgeographic.co.id—Anne Boleyn dan Henry VIII, dua sosok yang tak bisa dipisahkan dari narasi sejarah Inggris.

Kisah asmara mereka yang sarat dengan konflik dan intrik politik merupakan salah satu bab terpenting dalam sejarah dinasti Tudor.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami kisah Henry VIII yang berani menggoyahkan pondasi Gereja Inggris hanya untuk bersatu dengan Anne Boleyn.

Bagaimana mungkin Henry VIII, sang raja yang dikenal taat, tega menantang kekuasaan Paus dan menjadi katalisator bagi Reformasi Protestan?

Dan apa yang terjadi pada Anne Boleyn, ratu yang penuh ambisi, yang akhirnya harus menghadapi kematian tragis di bawah bilah algojo?

Ikuti narasi lengkap mereka dalam artikel berikut ini!

Awal yang Nyaris Sempurna

Henry VIII, lahir di Greenwich pada 28 Juni 1491, menjadi pewaris takhta setelah kematian saudaranya Arthur pada tahun 1502 dan naik takhta pada tahun 1509.

Dikenal cerdas dan atletis, seperti dilansir dari Royal.uk, ia fasih dalam beberapa bahasa dan sangat religius, sering menghabiskan waktu berburu sambil mendengarkan misa.

Henry juga memiliki minat yang kuat dalam seni, terutama musik dan sastra, meskipun lagu Greensleeves yang populer tidak dikonfirmasi sebagai karyanya.

Sebagai penulis, ia mencapai ketenaran dengan buku yang menyerang Martin Luther dan mendukung Katolik Roma, yang menghasilkan gelar 'Pembela Iman' dari Paus pada tahun 1521.

Baca Juga: Termasuk Anne Boleyn, Ini 10 Skandal Perselingkuhan Paling Mengguncang Sejarah

Henry VIII mengawali pemerintahannya dengan kekayaan dan stabilitas yang diwariskan oleh ayahnya. Tanpa perlu meminta dana dari parlemen selama lima tahun, ia memiliki kebebasan finansial yang signifikan.

Namun, minatnya yang beragam dan kurangnya perhatian terhadap urusan negara memungkinkan Thomas Wolsey, putra seorang tukang daging, untuk menduduki posisi penting sebagai Lord Chancellor.

Wolsey, yang kekuasaannya mencapai puncak dengan pembangunan Istana Hampton Court, memanfaatkan wewenang yudisialnya di pengadilan Chancery dan Dewan Star Chamber.

Setelah diangkat menjadi Kardinal, ia juga diberi kekuasaan legatus kepausan, yang memungkinkannya untuk mengesampingkan Uskup Agung Canterbury dan memimpin Gereja Inggris.

Kebijakan luar negeri Henry terutama berfokus pada Eropa Barat, dengan aliansi yang sering berubah antara monarki Spanyol, Prancis, dan Kaisar Romawi Suci.

Salah satu upaya Henry yang terkenal adalah kampanye militer Anglo-Spanyol yang gagal melawan Prancis, yang berakhir dengan perjanjian damai dan pemborosan dana di Lapangan Kain Emas.

Henry juga meningkatkan armada laut Inggris dari lima menjadi 53 kapal, termasuk Mary Rose yang terkenal, yang sekarang merupakan bagian dari koleksi Museum Angkatan Laut Portsmouth.

Nafsu Suksesi yang Mengarah pada Pembentukan Gereja Inggris

Masa pemerintahan Henry VIII diwarnai oleh dua isu penting yang mengubah jalannya sejarah Inggris: pertarungan suksesi dan Reformasi Protestan yang berujung pada lahirnya Gereja Inggris.

Krisis suksesi Henry VIII dimulai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan pewaris laki-laki, meninggalkan hanya putri Mary sebagai calon penerus.

Henry, yang tidak pernah mengakui kegagalannya, semakin teralienasi dari Catherine dan terpesona oleh Anne Boleyn, yang bukan hanya akan menjadi selir.

Baca Juga: Sejarah Dunia: Siapa Itu Anne Boleyn dan Mengapa Ia Dieksekusi?

Anne yang, seperti dilansir History, cerdas dan berpengalaman dalam politik istana, menjadi fokus obsesi Henry.

Upaya enam tahun Henry untuk menikahi Anne, yang dianggap sebagai solusi untuk masalah suksesi, secara tidak sengaja memicu revolusi besar dalam sejarah Inggris.

Bermula pada 1527, ketika Henry VIII berusaha untuk menceraikan Catherine dari Aragon, yang ia anggap melanggar hukum ilahi karena pernikahannya dengan janda saudaranya. Kematian anak-anak mereka juga dilihatnya sebagai tanda kutukan ilahi.

Dengan keyakinan bahwa ia hidup dalam dosa, Henry berusaha mendapatkan pembatalan dari Paus Clement VII.

Namun, Paus, yang terikat oleh Kaisar Charles V, menolak permintaan Henry, yang bertentangan dengan kehormatan keluarga kaisar dan menantang otoritas kepausan sebelumnya yang telah mengizinkan pernikahan tersebut.

Hingga kemudian Thomas Cromwell hadir untuk menjalankan proses yang sangat revolusioner: Memisahkan Inggris dari kekuasaan Vatikan.

Pada April 1532, ia mengambil alih kendali dan memimpin transformasi Gereja Inggris menjadi lembaga spiritual yang mandiri di bawah Henry VIII.

Hasilnya, Henry menikahi Anne Boleyn pada Januari 1533, dan putri mereka Elizabeth lahir pada September.

Meskipun Paus mengucilkannya, Henry tidak terganggu dan terus memperkuat posisinya sebagai kepala Gereja Inggris.

Kepemimpinan Henry VIII atas Gereja Inggris, yang tidak direncanakan, menjadi tonggak sejarah.

Ini mengukuhkan pandangannya sebagai raja yang tak tertandingi di bumi, namun menimbulkan dilema karena bertentangan dengan komitmennya sebelumnya terhadap Katolik Roma.

Baca Juga: Apakah Anne Boleyn Benar-Benar Seorang Pezina dan Pengkhianat?

Meski demikian, Henry tetap berdedikasi menentukan doktrin agama Inggris, mempertahankan banyak ajaran Katolik sambil menolak supremasi Paus dan menekankan otoritas gereja serta keselamatan individu.

Berulang Kali Alami Kegagalan Pernikahan

Pernikahan dengan Anne sendiri pada akhirnya berakhir dengan tragis. Sang Ratu dihukum mati dengan cara dipenggal.

Semuanya berawal pada awal tahun 1536, saat Henry VIII mengalami kecelakaan saat berkuda yang menyebabkan luka serius.

Berita ini mencapai Anne Boleyn yang sedang hamil, dan tekanan emosionalnya berujung pada keguguran tragis.

Henry, yang hatinya telah beralih, meninggalkan Anne untuk Jane Seymour, wanita lain di istananya.

Tak lama setelah itu, tuduhan pengkhianatan dan inses mengarah pada eksekusi Anne. Dia dihukum mati dengan cara dipenggal.

Henry segera menikahi Jane, yang memberinya putra yang diidamkan, Edward VI, namun nasib tragis menimpa Jane yang meninggal tak lama setelah melahirkan.

Pernikahan keempat Henry dengan Anne dari Cleves, yang dirancang sebagai manuver politik, berakhir dengan cepat ketika Henry membatalkannya.

Tak lama kemudian, dia menikahi Catherine Howard, yang nasibnya berakhir di tiang gantungan karena tuduhan pengkhianatan dan perzinahan. Mirip seperti yang dialami Anne Boleyn.

Di akhir masa pemerintahannya, Henry menjadi semakin murung dan paranoid, diperparah oleh kesehatan yang menurun dan luka kaki yang tidak kunjung sembuh.

Baca Juga: Eksekusi Tragis Anne Boleyn, Istri Henry VIII Sejarah Abad Pertengahan

Beruntung, pernikahannya dengan Catherine Parr pada tahun 1543 membawa kedamaian, memungkinkan rekonsiliasi dengan putrinya, Mary dan Elizabeth, yang kembali ke garis suksesi.

Fisik dan Mental yang Hancur di Akhir Pemerintahan

Selanjutnya, melansir Britannica, Henry VIII mengalami kemunduran fisik dan mental yang signifikan di akhir pemerintahannya. 

Meski berpengalaman dan kompeten, Henry kehilangan visi dan semangat yang diperlukan untuk menjadi pemimpin hebat. Kesehatannya yang memburuk dan berat badannya yang bertambah membuatnya mudah tersinggung dan tidak terduga.

Dia berusaha menjaga kerajaan tetap bersatu di tengah pertikaian agama dan mempertahankan citranya sebagai monarki yang agung.

Namun, ambisinya terhadap perang dan penaklukan sering kali tidak berhasil, menyebabkan kerugian finansial dan konflik yang tidak perlu.

Di akhir hayatnya, Henry tetap tidak menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Dia terus mengelola negara dengan cara yang sama, meratapi perpecahan agama dan menghancurkan mereka yang dia curigai akan mengendalikan penggantinya.

Henry meninggal pada 28 Januari 1547, meninggalkan kerajaan yang dalam kondisi sangat terpuruk.

Dalam pusaran ambisi dan kekuasaan, Henry VIII menorehkan sejarah dengan tindakan yang tak terlupakan.

Kisah Anne Boleyn, yang menjadi simbol dari perubahan besar di Inggris, akan selalu mengingatkan kita pada kekuatan cinta, politik, dan keinginan yang dapat mengubah nasib sebuah bangsa.