Peran Perempuan Kepulauan Banda dalam Menjaga Ekologi Pesisir

By National Geographic Indonesia, Senin, 10 Juni 2024 | 20:06 WIB
Foto karya Sumita, guru berusia 23 tahun, berjudul 'Makanan Sehari-hari'. Inilah hasil tangkapan nelayan, yaitu ikan waulang atau ikan mata besar, salah satu ikan batu-batu. Ikan ini adalah lauk sehari-hari bagi warga di Negeri Lonthoir. Ikan ini dipancing menggunakan tasi (tali pancing). Selain dimakan, warga juga menjualnya ke pasar. (Sumita/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Kajian kolaborasi riset itu dilakukan di tiga desa, yakni di Lonthoir, Run, dan Ay. Metodenya secara kualitatif dan menggunakan peranti riset diskusi kelompok terpumpun (FGD).

Studi  ini melibatkan 51 orang, terdiri atas 26 perempuan dan 25 laki-laki. Mereka merupakan perwakilan dari pemerintah desa, organisasi adat, dan komunitas remaja, nelayan, pendidikan, dan kelompok perempuan.

Hesti Widodo, Senior Program Manager Coral Triangle Center, mengungkapkan, "CTC dan PVI mendiseminasikan hasil studi GESI (Gender Equity and Social Inclusion) di Kepulauan Banda untuk menjelaskan pengaruh pandangan tradisional terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan serta bagaimana meningkatkan partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam praktik sasi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut di Banda."

Foto berjudul 'Pala untuk Dijual dan Dikonsumsi' karya Masni, ibu rumah tangga berusia 55 tahun. 'Foto ini diambil di depan rumah saya,' ungkapnya. 'Ini adalah foto pala yang sudah dibelah.' Setelahnya, biji akan dikupas dan dibelah. Setelah dikeringkan dua sampai tiga hari bisa dijual atau dipakai untuk konsumsi sehari-hari. Daging pala yang putih-putih bisa dikonsumsi, misalnya untuk sop pala. Puli (yang merah/bunga) bisa digunakan untuk bahan kue juga masakan. Cangkang bisa dibakar untuk tambahan kayu bakar, sedangkan biji bisa dipakai dalam masakan. (Masni/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

'Salah Satu Kekhasan Negeri Lonthoir' demikian judul foto karya Rosida La Usu, ibu rumah tangga berusia 47 tahun. Pohon pala menghasilkan daging, puli, dan biji pala. Semuanya sangat bermanfaat bagi warga Lonthoir karena bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sini juga ada manisan yang dihasilkan dari daging pala, sehingga daging pala tidak dibuang percuma. Manisan ini sangat perlu untuk cemilan oleh-oleh yang dibeli oleh pendatang dari luat. Inilah salah satu kekhasan Negeri Lonthoir, selain bakasang dan ikan kering. Puli dijual seharga Rp200 ribu per kilogram. Bijinya, biji super dijual seharga Rp100 ribu per kilogram. (Ros Hasan/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Ia menjelaskan, hasil kajian memperlihatkan perbedaan persepsi tentang peranan laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan mata pencaharian.

Misalnya, imbuh Hesti, di Lonthoir, kaum laki-laki beranggapan bahwa kegiatan pengumpulan kenari adalah kegiatan perempuan, sementara kaum perempuan beranggapan hal ini adalah pekerjaan laki-laki maupun perempuan.

Bagi perempuan Lonthoir, pekerjaan laki-laki adalah menangkap gurita, sementara kaum laki-laki beranggapan ini adalah aktivitas keduanya. Pun halnya di Rhun dan Ay, kaum perempuan mengatakan bahwa mereka memancing ikan di zona perairan pasang surut, sementara kaum laki-laki beranggapan bahwa memancing adalah pekerjaan mereka dan zona pasang surut adalah zona laki-laki.

'Kecil karena Kering' demikian judul foto karya Un Haris, ibu rumah tangga berusia 45 tahun. Pohon pala ini berada di kebun warga dekat kuburan. Karena panas, pohon pala ini tumbuh kecil dan buahnya mengerut, ungkapnya. (Un Haris/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Foto karya Un Sarfan, 26 tahun, berjudul 'Puluhan Tahun Baru Menghasilkan'. Pohon kenari yang kering, mati, dan suatu saat akan tumbang. Pohon kenari ini adalah salah satu mata pencaharian penting bagi warga Lonthoir, yang hasilnya bisa diambil sepanjang tahun. Banyak pohon kenari yang sudah tumbang, ungkapnya, sedangkan pohon kenari butuh waktu puluhan tahun untuk bisa tumbuh sampai menghasilkan. (Un Sarfan/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Adanya perbedaan pandangan ini disebabkan, utamanya, karena tradisi yang berlaku di desa, yang bisa berbeda-beda di setiap desa.

“Perbedaan persepsi juga terlihat terhadap partisipasi perempuan di ranah publik. Perempuan dianggap hanya terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan, sedangkan laki-laki terlibat dalam organisasi berbasis kegiatan ekonomi, meski perempuan juga berperan dalam kegiatan ekonomi,” jelas Ria Fitriana, Senior Konsultan Coral Triangle Center.