Peran Perempuan Kepulauan Banda dalam Menjaga Ekologi Pesisir

By National Geographic Indonesia, Senin, 10 Juni 2024 | 20:06 WIB
Foto karya Sumita, guru berusia 23 tahun, berjudul 'Makanan Sehari-hari'. Inilah hasil tangkapan nelayan, yaitu ikan waulang atau ikan mata besar, salah satu ikan batu-batu. Ikan ini adalah lauk sehari-hari bagi warga di Negeri Lonthoir. Ikan ini dipancing menggunakan tasi (tali pancing). Selain dimakan, warga juga menjualnya ke pasar. (Sumita/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Nationalgeographic.co.id—“Menurut kepercayaan tradisi masyarakat Banda, Laut Banda adalah perempuan, ikan adalah keturunan Banda, pala adalah buah dari surga, dan tanah adalah awal kehidupan," ujar Muhamad Farid, Rektor Universitas Banda Neira.

"Budaya," imbuhnya, "menjadi core bagi kehidupan masyarakat Banda dan perempuan di Banda memainkan peranan penting dalam melestarikan budaya, yang sekaligus berdampak kuat pada pelestarian hutan dan laut.”

Farid mengungkapannya dalam webinar bertajuk “Tradisi Sasi dan Peran Perempuan Banda Mengelola Sumber Daya Laut”, pada 7 Juni 2024. Diskusi yang digelar dalam webinar ini menyoroti hasil studi gender dan kultural dalam mengelola sumber daya kelautan di Kepulauan Banda, Maluku.  

Program ini merupakan kolaborasi Coral Triangle Center (CTC) dan Photovoices International (PVI) untuk memeringati Hari Laut Sedunia pada 8 Juni dan Hari Terumbu Segitiga Karang Dunia pada 9 Juni.

Foto karya Un Sarfan, perempuan berusia 26 tahun, berjudul 'Sarwaki yang Susah Didapat'. Sarwaki atau lahar, penting bagi warga Lonthoir karena bisa disantap sebagai makanan sehari-hari. Apabila dijual, harganya Rp50 ribu per botol. Sarwaki bisa dianggap makanan mewah karena susah didapat dan harus diambil saat meti atau surut di malam hari. (Un Sarfan/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Foto 'Mencari Gurita' karya Alyandari Mardjud, operator desa berusia 23 tahun. Ia memotret orang yang sedang mencari gurita. Mencari gurita adalah salah satu aktivitas masyarakat di Negeri Lonthoir saat meti (air surut). Orang ini memakai alat yang tidak merusak lingkungan untuk mencari gurita. Yang merusak adalah kalau ada warga yang memakai linggis untuk merusak karang agar gurita keluar. Lebih baik menggunakan alat tusuk seperti ini yang tidak merusak lingkungan, ungkapnya. (Alya/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Coral Triangle Center (CTC) adalah sebuah yayasan yang berpusat di Indonesia dengan cakupan regional dan berdampak global. Didirikan pada tahun 2010, CTC bekerja sama dengan masyarakat lokal, sektor swasta, pemerintah, dan mitra untuk memperkuat pengelolaan sumber daya laut di Segitiga Terumbu Karang untuk melindungi ekosistem terumbu karang, memastikan penghidupan berkelanjutan dan ketahanan pangan.

Sementara itu, Photovoices International (PVI) merupakan organisasi nirlaba Indonesia yang berkomitmen memberdayakan masyarakat terpinggirkan dan kurang terwakili untuk meningkatkan kehidupan. Berlandaskan pada kekuatan perspektif, masyarakat menyuarakannya melalui foto dan cerita.

Tema yang diangkat dalam peringatan Hari Segitiga Terumbu Karang dunia tahun ini, yakni “Menyeimbangkan Konservasi Laut dan Ekonomi Biru”.

Foto berjudul 'Menambang Pasir untuk Rumah' karya Soraya, 24 tahun. Orang ini sedang mengambil pasir untuk membangun rumah sendiri. Pasir ditambang untuk dijual atau untuk membangun rumah. Penambangan pasir sangat berdampak pada daerah pesisir. Dulu, air sangat banyak dan air jernih. Sekarang sudah semakin banyak yang mengambil pasir dan air semakin keruh. Hal ini juga mengganggu kehidupan ikan-ikan. Misalnya, kalau mereka ingin menetas atau bertelur, mereka akan mencari daerah pasir atau daerah lamun. Kalau pasirnya tidak ada, mereka tidak bisa berteduh atau bertelur di situ. Ini adalah salah satu ancaman terhadap biota laut., ungkapnya. (Soraya/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Tema ini juga menyoroti pentingnya praktik konservasi tradisional dalam pengelolaan sumber daya laut, seperti sasi, yang menjadi instrumen penting di wilayah Segitiga Terumbu Karang. Kawasan ini memiliki kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Di Indonesia, salah satunya adalah Kepulauan Banda.

Baca Juga: Menguatkan Peran Perempuan dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Kajian kolaborasi riset itu dilakukan di tiga desa, yakni di Lonthoir, Run, dan Ay. Metodenya secara kualitatif dan menggunakan peranti riset diskusi kelompok terpumpun (FGD).

Studi  ini melibatkan 51 orang, terdiri atas 26 perempuan dan 25 laki-laki. Mereka merupakan perwakilan dari pemerintah desa, organisasi adat, dan komunitas remaja, nelayan, pendidikan, dan kelompok perempuan.

Hesti Widodo, Senior Program Manager Coral Triangle Center, mengungkapkan, "CTC dan PVI mendiseminasikan hasil studi GESI (Gender Equity and Social Inclusion) di Kepulauan Banda untuk menjelaskan pengaruh pandangan tradisional terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan serta bagaimana meningkatkan partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam praktik sasi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut di Banda."

Foto berjudul 'Pala untuk Dijual dan Dikonsumsi' karya Masni, ibu rumah tangga berusia 55 tahun. 'Foto ini diambil di depan rumah saya,' ungkapnya. 'Ini adalah foto pala yang sudah dibelah.' Setelahnya, biji akan dikupas dan dibelah. Setelah dikeringkan dua sampai tiga hari bisa dijual atau dipakai untuk konsumsi sehari-hari. Daging pala yang putih-putih bisa dikonsumsi, misalnya untuk sop pala. Puli (yang merah/bunga) bisa digunakan untuk bahan kue juga masakan. Cangkang bisa dibakar untuk tambahan kayu bakar, sedangkan biji bisa dipakai dalam masakan. (Masni/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

'Salah Satu Kekhasan Negeri Lonthoir' demikian judul foto karya Rosida La Usu, ibu rumah tangga berusia 47 tahun. Pohon pala menghasilkan daging, puli, dan biji pala. Semuanya sangat bermanfaat bagi warga Lonthoir karena bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sini juga ada manisan yang dihasilkan dari daging pala, sehingga daging pala tidak dibuang percuma. Manisan ini sangat perlu untuk cemilan oleh-oleh yang dibeli oleh pendatang dari luat. Inilah salah satu kekhasan Negeri Lonthoir, selain bakasang dan ikan kering. Puli dijual seharga Rp200 ribu per kilogram. Bijinya, biji super dijual seharga Rp100 ribu per kilogram. (Ros Hasan/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Ia menjelaskan, hasil kajian memperlihatkan perbedaan persepsi tentang peranan laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan mata pencaharian.

Misalnya, imbuh Hesti, di Lonthoir, kaum laki-laki beranggapan bahwa kegiatan pengumpulan kenari adalah kegiatan perempuan, sementara kaum perempuan beranggapan hal ini adalah pekerjaan laki-laki maupun perempuan.

Bagi perempuan Lonthoir, pekerjaan laki-laki adalah menangkap gurita, sementara kaum laki-laki beranggapan ini adalah aktivitas keduanya. Pun halnya di Rhun dan Ay, kaum perempuan mengatakan bahwa mereka memancing ikan di zona perairan pasang surut, sementara kaum laki-laki beranggapan bahwa memancing adalah pekerjaan mereka dan zona pasang surut adalah zona laki-laki.

'Kecil karena Kering' demikian judul foto karya Un Haris, ibu rumah tangga berusia 45 tahun. Pohon pala ini berada di kebun warga dekat kuburan. Karena panas, pohon pala ini tumbuh kecil dan buahnya mengerut, ungkapnya. (Un Haris/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Foto karya Un Sarfan, 26 tahun, berjudul 'Puluhan Tahun Baru Menghasilkan'. Pohon kenari yang kering, mati, dan suatu saat akan tumbang. Pohon kenari ini adalah salah satu mata pencaharian penting bagi warga Lonthoir, yang hasilnya bisa diambil sepanjang tahun. Banyak pohon kenari yang sudah tumbang, ungkapnya, sedangkan pohon kenari butuh waktu puluhan tahun untuk bisa tumbuh sampai menghasilkan. (Un Sarfan/PVI-CTC Negeri Lonthoir/2023)

Adanya perbedaan pandangan ini disebabkan, utamanya, karena tradisi yang berlaku di desa, yang bisa berbeda-beda di setiap desa.

“Perbedaan persepsi juga terlihat terhadap partisipasi perempuan di ranah publik. Perempuan dianggap hanya terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan, sedangkan laki-laki terlibat dalam organisasi berbasis kegiatan ekonomi, meski perempuan juga berperan dalam kegiatan ekonomi,” jelas Ria Fitriana, Senior Konsultan Coral Triangle Center.

Ria menambahkan, terkait dengan sasi, tradisi yang telah jamak ditemukan di wilayah Maluku dan Papua ini justru masih terbilang baru di Banda. Masyarakat masih berproses untuk mengadopsi sasi sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam laut dan baru dideklarasikan oleh pemerintah desa.

Melalui pendekatan fotografi partisipatif, PVI melakukan kajian cepat tentang peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan 8 perempuan di Lonthoir dan menghasilkan 28 foto yang mengungkap isu dari hasil pemetaan masalah dan menjadi isu yang didorong oleh para peserta.

Setelah mengikuti program Photovoices, peserta menjadi lebih menyadari adanya ancaman terhadap sumber daya alam laut dan darat, serta menyatakan ingin terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Para perserta sendirilah yang melakukan presentasi, menjelaskan isi foto ke hadapan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah desa, pemimpin desa dan adat, serta warga," kata Tri Soekirman, Direktur Eksekutif Photovoices International. "Ini menjadi kali pertama bagi para perempuan untuk dapat mengekspresikan di ranah publik dan bahkan dilibatkan untuk membicarakan isu-isu yang dianggap penting.”

Kolaborasi riset 

Pada Oktober 2023, CTC dan PVI melakukan riset bersama dengan tujuan memahami peran gender dalam pengelolaan sumber daya kelautan di Banda. CTC menggunkan pendekatan studi kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI), sedangkan PVI menggunakan pendekatan Photovoices untuk melakukan kajian cepat tentang peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya laut di Pulau Lonthoir, Kepulauan Banda.

Hasil kajian yang dilakukan CTC dan PVI secara keseluruhan bertujuan menjelaskan pandangan yang terikat pada tradisi mengenai perbedaan peran laki-laki dan perempuan dan bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan dalam sasi sebagai sistem pengelolaan sumber daya laut di Banda.

Kajian gender mengenai cara meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia masih terbilang minim.

Ria Fitriani, Konsultan Senior Coral Triangle Center, dalam kegiatan diskusi dengan kelompok perempuan yang berkaitan dengan studi gender di Lonthoir, Kepulauan Banda, Maluku. (Saharudin/PVI-CTC Banda/2023)

Studi kasus di Kepulauan Banda ini pun tidak hanya untuk tujuan alasan praktis di wilayah sasaran, tetapi juga untuk mendukung efektivitas sumber daya kelautan yang berkelanjutan sejalan dengan Konvensi tentang Pulau Banda.  

“CTC telah bekerja di Kepulauan Banda sejak tahun 2012 untuk melindungi keanekaragaman hayati laut yang kaya di kawasan tersebut," ujar Rili Djohani, Direktur Eksekutif Coral Triangle Center. "Kami bekerja sama dengan komunitas lokal untuk membantu membentuk kawasan konservasi laut, memperkuat sistem pengelolaan laut tradisional seperti sasi, dan memastikan bahwa konservasi laut bersifat inklusif, serta memberikan manfaat bagi komunitas yang bergantung pada sumber daya tersebut sebagai mata pencaharian mereka."

Rili menambahkan, "Agar konservasi laut berjalan efektif, kita harus bersifat inklusif dalam pendekatan kita, dan memberdayakan baik perempuan maupun laki-laki, sehingga mereka dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam pengelolaan sumber daya laut mereka."